REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Tri Mulyani*
YOGYAKARTA -- Akhir-akhir ini mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga (Suka) Yogyakarta dihebohkan dengan adanya pemberitaan terkait surat edaran dari rektorat. Surat tersebut berisikan tentang pendataan terhadap mahasiswi yang bercadar saat beraktivitas di dalam kampus. Hal itu disebut untuk menegakkan aturan UIN yang sudah disepakati sejak awal antara pihak kampus dengan calon mahasiswa.
Pendataan mahasiswi bercadar itu diakuinya sesuai surat yang ditandatangani oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof Yudian Wahyudi, tertanggal 20 Februari 2018. Dalam surat yang ditujukan kepada direktur pascasarjana, dekan fakultas, dan kepala unit/lembaga tersebut, hasil pendataan harus sudah dilaporkan ke rektor paling lambat 28 Februari 2018.
Menurut Taufik Hidayat, salah seorang mahasiswa Jurusan Psikologi UIN Suka, peraturan yang dikeluarkan kampusnya itu kurang masuk akal. "Dari mana bisa kita tahu bahwa yang bercadar itu menganut paham radikal? Sebenarnya bercadar itu kan sunah jika kita ikut paham Imam Syafi'i bahkan imam-imam yang lainnya," katanya saat ditemui usai perkuliahan, Selasa (6/3).
Menurutnya lagi, apabila ini diberlakukan maka secara tidak langsung berarti sudah ada kecurigaan antara Islam dengan Islam itu sendiri. Di buku saku mahasiswa bagian aturan busana bahkan belum ada peraturan larangan untuk memakai cadar, hanya dilarang memakai celana sobek, memakai kaos dan memakai pakaian yang ketat.
“Lalu mengapa mahasiswi yang memakai pakaian ketat malah tidak dibina karena menimbulkan syahwat? Malah yang bercadar mau dibina, ini kan suatu tanda tanya besar kalau alasannya hanya terindikasi paham radikal,” kata Taufik yang juga merupakan ketua Senat Mahasiswa Fishum UIN itu.
Senada dengan Taufik, salah satu mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN, Yusron, juga berpendapat bahwa cadar merupakan cara orang mengekspresikan bentuk keberagamaan mereka. Oleh karena itu, ketika mereka menilai cadar adalah sebuah ibadah, mengapa kita harus memandangnya dengan hal yang berseberangan seperti ideologi radikal.
Ia berpendapat kekhawatiran itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menggeneralisasi semua mahasiswi yang bercadar. "Saya rasa perlu ada dialektika sebelum keputusan itu diketok palu. Bukan hanya alih-alih pembinaan yang menuntut mereka keluar juga dari kampus UIN. Apabila sudah ada dialektika maka akhirnya keputusan itu dirasa adil untuk semua pihak yang menerima,” katanya.
Sementara itu, Inggrid Putri Diandini yang juga mahasiswa Fakultas Sosial dan Humaniora UIN, menganggap larangan tersebut menandakan terjadinya diskriminasi pada salah satu golongan.
“Namun di sisi lain kita tidak dapat menutup mata bahwa ada hal-hal yang memang meresahkan dari budaya yang saat ini menjadi tren dalam masyarakat kita. Saya lebih setuju pembinaan bukan larangan,” kata Inggrid.
*Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta