Oleh Yusuf Maulana*
Bersama seorang kawan separtainya, Muljadi Djojomartono berkenan menerima penunjukan Presiden Sukarno sebagai anggota Kabinet Karya, atau lebih populer sebagai Kabinet Djuanda. Inilah kabinet yang menandai lahirnya demokrasi terpimpin dan kekuasaan otoriter Sukarno. Muljadi berasal dari Partai Masyumi; partai yang dikenal paling berseberangan dengan kebijakan dan pandangan politik Sukarno. Nyatanya, pada 8 April 1957 nama Muljadi diumumkan untuk duduk Kabinet Djuanda menjabat menteri kesejahteraan rakyat. Sontak saja, sikap pengurus teras Muhammadiyah yang sekaligus anggota DPRD di Jawa Tengah ini bertolak belakang dengan kawan-kawan berjuangnya di pergerakan Islam.
Meskipun anti-PKI, Muljadi tidaklah memusuhi Sukarno sebagai pribadi. Padahal, pada dekade itu, Sukarno dan partai komunis bisa dikatakan sepaket: saling mendukung dan membela. Muljadi sendiri bukan orang yang buta agama, bila melihat posisinya di Muhammadiyah, termasuk sikap beberapa pengurus yang mendukungnya ketika menerima ajakan Sukarno. Akan tetapi, bagi mayoritas pengurus dan warga Muhammadiyah, ia dinilai menempatkan organisasi “tunduk” pada penguasa.
Sikap Muhammadiyah setali dengan Masyumi, yang memang wadah penyaluran aspirasi politik mereka. Dalam pembentukan Kabinet Karya, Masyumi termasuk yang menolak keras disebabkan langkah Sukarno ini menyalahi konstitusi. Menurut Deliar Noer, alasan Presiden memandang keadaan nasional berbahaya sehingga perlu menunjuk nama-nama tertentu sebagai menteri dalam kabinet, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, mempergunakan keadaan bahaya perang untuk membentuk kabinet “secara mutlak” bertentangan dengan pasal-pasal dalam undang-undang keadaan bahaya itu sendiri (lihat: Partai Islam di Pentas Nasional, 2000: 389).
Sikap Muljadi, yang kemudian memilih mundur dari anggota Masyumi, dicela habis oleh, salah satunya, Hamka. Di harian Abadi, milik Masyumi, Hamka menuliskan kritikan tajam terhadap “golongan istana” yang ada pada Muhammadiyah. Golongan inilah yang ingin membawa Muhammadiyah ke lingkaran kekuasaan. Di antara nama yang disebut, dan memang pendukung putusan Muljadi, adalah K.H. Farid Ma’ruf. Sebenarnya tidak hanya Hamka, namun juga banyak pengurus dan warga Muhammadiyah yang mengecam langkah Muljadi dan dukungan Kiai Farid. Nama sang kiai ini disebut-sebut lantaran dialah yang mendukung putusan politik Muljadi menyeberang ke Sukarno.
Hamka, dan banyak kalangan Muhammadiyah, melihat sikap segelintir orang itu mengusik kejamaahan organisasi. Ringkas cerita, pengangkatan Muljadi sebagai menteri memunculkan keretakan dalam Muhammadiyah. Selepas keluar tulisan Hamka berjudul “Maka Pecahlah Muhammadiyah”, konflik kian meruncing. Meminjam ungkapan Djarnawi Hadikusuma, tulisan Hamka itu “ibarat minyak yang dituangkan ke atas api”. Benar saja, ketenaran Hamka sebagai penulis sekaligus dai Muhammadiyah berandil menyebarkan tulisan tajamnya itu di internal anggota Muhammadiyah. Apatah lagi di kalangan anak-anak mudanya, semua bersiap “menyikat” oknum pengurus pusat yang memilih berdekatan dengan penguasa.
Saat Sidang Tanwir 1960 dilangsungkan di Yogyakarta, Hamka diundang dan dipertemukan seforum dengan Kiai Farid. Agar dua alim ini saling adu argumen dan mempertanggungjawabkannya di hadapan para pengurus Muhammadiyah setanah air. Inilah momen yang menurut Djarnawi amat sangat dinantikan para anggota organisasi itu, khususnya lagi kalangan muda. Mereka menyerupakan kedua tokoh terpandang tersebut selayaknya duel tinju Muhammad Ali versus Joe Frazier.
Dalam sumbangsih tulisannya untuk Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka, Djarnawi Kusuma mendeskripsikan kejadian persuaan Hamka dan Kiai Farid sebagai berikut:
“Hamka dipersilakan lebih dulu naik mimbar untuk mempertanggungjawabkan serta memberikan penjelasan tentang tulisannya yang membikin runcing itu. Suasana menjadi hening. Semua menanti apa yang akan dikatakan olehnya. Hamka berdiri tenang, yang berbicara lebih dahulu adalah mata dan wajahnya. Kedua matanya seperti basah dan wajahnya berkerut-kerut. kemudian berbicaralah kedua bibirnya. Dengan tersendat-sendat diakuinya bahwa dia seorang yang emosional dan mudah tersinggung. Apabila emosinya tersentuh segera tangannya mencari pulpen lalu menulis. Namun, apa pun yang ditulisnya maksudnya baik dan didorong oleh kecintaan kepada Muhammadiyah. Maka jika ternyata tulisannya menyinggung perasaan Saudara Farid Ma’ruf, maka dia menyatakan penyesalannya dan mohon ampun dan maaf kepada Saudara Farid yang amat dicintainya. Demikianlah keringkasan pidatonya sebelum turun menuju tempat duduknya.”
“Kini giliran KH Farid Ma’ruf tampil ke mimbar. Kami tahu bahwa dia telah mempersiapkan pertahanan secukupnya dan mengharapkan dari Hamka serangan yang deras bertubi-tubi. Tetapi Farid telah siap bertahan dan memberikan serangan balasan. Dengan membawa map dia naik ke mimbar. Dia memulai pidatonya tanpa membuka map. Wajahnya tidak serius tetapi cerah dan tenang, namun pandangan matanya memancarkan rasa heran serta takjub mengalami sesuatu yang tidak diduga bahkan tidak diharapkan sama sekali. Hamka tidak menyerang bahkan meminta ampun. Lama Farid tidak dapat berbicara. Rupanya sukar baginya mencari kata-kata untuk memulai pidatonya. Namun akhirnya dia berhasil menyusun kalimat yang diucapkannya terbata-bata.”
Masih mengutip tulisan Djarnawi, dalam forum itu Kiai Farid menyebut putusan Muljadi adalah demi iktikad baik bagi Muhammadiyah. “Mudah-mudahan dia akan membantu segala amal sosial Muhammadiyah. Tidak ada maksud jahat sama sekali,” jelas Kiai Farid. Sang kiai juga mengutarakan pendapatnya bahwa pilihan yang rasional bagi Muhammadiyah adalah menjalin kerja sama dengan pemerintah, tentu saja dalam kebajikan dan bukan sebaliknya. Kiai Farid mengakui, sebagaimana Muljadi, Hamka terpanggil mengkritik keras tentu karena sebentuk kecintaan pada Muhammadiyah.
Di sisi lain, sadar akan posisi dirinya sebagai pembela Muljadi dinilai tidak jamak, Kiai Farid pun berangsur mengutarakan niatnya. “Apabila saya dalam berbuat demikian dinyatakan salah dan akan membawa Muhammadiyah ke Istana, baiklah sekarang saya katakan bahwa saya mengundurkan diri dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah….”
Belum selesai Kiai Farid melanjutkan kata-katanya, tutur Djarnawi, tiba-tiba Hamka berdiri dari kursinya.
“Pimpinan!” ujarnya mengacungkan tangan. “Janganlah Saudara Farid mundur! Saya, Hamka, yang harus mundur!”
Farid menghentikan pidatonya. Ia pun turun dari mimbar kemudian mendekati Hamka dan memeluknya. Semua hadirin bergeming, terharu menyaksikan kedua tokoh utama mereka yang berbeda pendapat tajam itu berpelukan dengan airmata bercucuran.
“Tarikan napas lega serasa terdengar dari seluruh ruangan, diikuti tepuk tangan yang riuh dan ucapan hamdalah serta ada pula yang bertakbir. Persoalan telah selesai dan Sidang Tanwir boleh berjalan terus membicarakan acara lain,” terang Djarnawi melukiskan keadaan di dalam ruangan.
Dua orang dengan nama besar dan pengaruh meluas meninggalkan satu pelajaran untuk saling merasakan posisi sang “lawan”. Memandang dalam firasat kebajikan, bukan dengan sangkaan tidak-tidak. Tanpa mengawali serangan dengan makian bangsat.
Semula, sangkaan tajam dalam buliran kata-kata pedas dihadirkan karena kecintaan pada agama. Semata tak ingin organisasi yang mereka kiprahi oleng oleh kekuasaan yang tiranik dan hanya memperkaya kalangan terbatas; bukan rakyat negeri ini. Hamka tajam mengungkit, semata karena ia meyakini satu pendapat bagaimana nantinya Muhammadiyah, bahkan dakwah Islam, akan limbung di ketiak kekuasaan Istana. Ia bergaul akrab dengan para politisi yang indra penciumannya mengendus risiko kedekatan Sukarno dengan kalangan komunis.
Akan tetapi, Kiai Farid memiliki pendapat lain. Situasi sangat berisiko untuk terus beroposisi sengit. Muhammadiyah tak ingin terus disematkan sebagai sang penurut politisi Masyumi. Dan sang kiai ini pun menggunakan indra penciuman meradar risiko ketika organisasi yang masa itu dinakhodai K.H. A Badawi sepenuhnya menentang penguasa. Akan ada bahaya di depan mata bilamana penguasa dijauhi begitu saja oleh kalangan Islam untuk dibiarkan dicengkeram anasir komunis yang kian kokoh.
Ahmad Syafii Maarif dalam tesis yang dikembangkan menjadi buku Islam dan Politik; Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), menyebutkan bahwa keberadaan Muljadi di Kabinet Djuanda “boleh jadi berdasarkan ijtihad politiknya demi kepentingan umat.” Dan menurutnya, Muljadi “cukup berjasa kepada Muhammadiyah”.
Dalam buku Makin Lama Makin Tjinta; Muhammadijah Setengah Abad 1912-1962, apa yang dituliskan Syafii Maarif terkonfirmasi. Nama Muljadi tampil di depan bersama Djuanda. Ia berjasa membawa Sukarno hadir di perhelatan Muhammadiyah, yang kemudian mendapuknya sebagai pengayom agung. Sebuah predikat yang begitu terasa nuansa menjilat penguasa, yang di kemudian hari kembali menuai kecaman dari Hamka dan para pengurus lainnya.
Perkembangan politik tahun-tahun berikutnya memang begitu memanas. Masyumi, partai awal berkiprah Muljadi dan Hamka, dibubarkan Sukarno. Muljadi juga kian merapat ke Sukarno—terlepas dari tendensi dan motif disebaliknya. Dan Sukarno semakin menyayangi Muljadi lantaran mendukung dirinya dan acap memujinya. Entah dalam misi apa, pada Agustus 1963, Muljadi membuat panas telinga umat Islam, tanpa terkecuali kalangan Muhammadiyah. Seperti dicatat Syafii Maarif dalam buku tersebut di atas, menteri Sukarno ini mengatakan bahwa sekiranya Sukarno lahir tahun 571 masehi, boleh jadi ia telah diangkat Tuhan menjadi nabi! Apa pasal? Menurut Muljadi, Sukarno merupakan model terbaik bagi Indonesia dalam segala hal, termasuk tentunya dalam model pembangunan ekonomi.
Perkataan Muljadi itu, sebesar apa pun jasanya pada Muhammadiyah sebelumnya, seakan menerabas kelapangan dada Kiai Farid yang pernah membelanya, dan Hamka yang insyaf untuk menerima putusannya. Sebuah perkataan yang berlampauan demi diplomasi politik itu mengusik marwah Muhammadiyah, bahkan umat Islam secara umum.
Memanglah Hamka itu, sebagaimana dikatakan Djarnawi Hadikusuma, “mudah marah, lekas sedih, mudah berang, dan mudah memberi maaf”. Ia tak ingin Muhammadiyah, juga umat Islam, bertekuk lutut di bawah kekuasaan otoriter. Itu sebabnya, meski telah memohon maaf dan “memahami” sikap Kiai Farid dan sejawatnya yang sejalan, Hamka sebenarnya tidak benar-benar berhenti untuk mengkritik sikap “melenceng” para sahabatnya, meski dalam bahasa yang sopan dan tetap berada dalam koridor sejalan dengan jargon revolusinya Sukarno. Ulasan dengan kalimat-kalimat menyengat baru hadir ketika kekuasaan Sukarno tumbang; sebagai medan introspeksi bagi para sahabatnya yang silap dalam berijtihad menghadapi kekuasaan Orde Lama. Menyengat tapi dalam kaidah adab seorang berilmu dan bermartabat; tanpa kata-kata merendahkan semisal bangsat, atau kesukaran meminta maaf. n
*) Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".