Oleh: Yusuf Maulana, Kurator buku lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta; penulis buku "Mufakat Firasat", dan "Nuun, Berjibaku Mencandu Buku".
Saban musim memilih calon pemimpin maupun wakil rakyat, perhelatan atas nama daulat demokrasi sering kali memopulerkan sikutan bengis dengan label “Wahabi”. Tak terkecuali dalam pesta memilih kepala daerah sepekan lampau. Sesiapa yang disangkutkan dengan sebutan Wahabi, ditandai untuk tidak didekati pemilih atau rakyat setempat. Ia harus dijauhi karena terbilang barisan pengganas yang akan mengancam daerah tersebut.
Jadilah, tudingan dan fitnahan pada lawan politik belakangan ini menghadirkan kosakata “Wahabi”. Dari selebaran gelap hingga tudingan di mimbar debat kandidat tanpa tedeng aling-aling menghamburkan kata ini. Wahabi sinonim, atau atau benda, dari pelaku yang beringas dan jauh dari kata ramah. Dari individu hingga partai politik (biasanya kalangan islamis) sering jadi tertuding. Si awam pun tak sedikit yang termakan. Tapi, tak jarang malah ujungnya simpati.
Wacana meriuhkan “pewahabian” rupanya fenomena yang sudah lama terjadi. Hanya saja, kali ini merambah ke pentas politik. Saat belum bernama Indonesia, maupun ketika negeri ini memerdekakan diri, soal Wahabi sering dibincang orang. Gema ketidaksukaan pada kalangan yang dianggap “melawan arus” keagamaan menjangkau hingga negeri seberang. Isu kaum-muda, yang disebut sebagai representasi Wahabi di Nusantara, diangkat para eksponen kaum-tua yang mendaku diri pemegang jalan Ahlu Sunnah.
Hamka terbilang yang sering menangkis tudingan soal Wahabi ini. Sebagai pihak yang dimasukkan sebagai kaum-muda alias Wahabi, Hamka merasa terpanggil menjawab tudingan sesiapa pun yang tak patut melabel saudara seimannya itu.
Tercatatlah pada Juli 1958, Mufti Johor, Malaysia, Sayyid Alwi bin Tahir al-Hadad tampil garang mencela habis-habisan kaum-muda atau Wahabi ini. Guna menjawab tudingan sang Mufti Johor, Hamka pun menulis khusus risalah atas permintaan kalangan Muhammadiyah. Sebuah pembelaan yang melegakan kalangan kaum-muda setelah dirundung sedih dilabel buruk. Kelak risalah yang hanya terbit di negeri seberang itu dibukukan dengan judul Teguran Suci & Jujur terhadap Mufti Johor (kali pertama terbit pada 1958).
“Siapa kaum Wahabi? Ialah pengikut ajaran Muhammad Abdul Wahab al-Najdi yang hidup pada kurun abad ke-12 hijriah al-mustafa,” mula Hamka mengungkai.
“Dari mana dia mengambil pelajarannya? Dari karangan-karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim dan mazhab mereka ialah Hambali. Oleh sebab itu, mereka bermazhab Ahlu Sunah Wal Jamaah juga.”
“Mengapa nama Wahabi itu sangat dicela dan dibenci orang? Sebab mereka berontak melawan pemerintah pergi melawan pemerintah Turki Othmani yang beratus tahun menjajah tanah Arab, maka karena Turki amat benci kepada kaum yang telah memulai membuka mata bangsa Arab ini, belomba-lomba ulama yang berdekat kepada kuasa Turki mengarang buku-buku buat mencela kaum ini, sehingga almarhum as-Sayyid Zaini Dahlan tidak segan-segan menuduh bahwa Muhammad Abdul Wahab itu ada pertalian keturunannya dengan Musailamah al-Kazan (kitab Futuhatil Islamiyah).
Sebab-sebab yang diambil alasan buat mencela kaum Wahabi adalah karena mereka sangat menentang pemujaan kepada kubur yang telah dipandang orang sebagaimana orang musyrikin menyembah berhala. Buku-buku mencela Wahabi itu tersebarlah di negeri kita sehingga kata Wahabi dipandang sebagai kata penghinaan.”
“Bersamaan dengan penghinaan-penghinaan kepada Wahabi diperbuat pula buku-buku yang memburuk-burukkan as-Syyid Jamaluddin al-Afghani, dan as-Syeikh Muhammad Abduh dan as-Sayyid Rasyid Ridha. Yang sangat bersemangat membuat buku demikian ialah as-Syeikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani yang menjadi qadhi di mahkamah Beirut dalam kerajaan Turki. Bukunya Syawahidul Haq penuh dengan kata-kata yang penuh pula dengan fitnah dan penghinaan. Dan sebuah kitab Qasidah ar-Raiyyatush Shugra.
Kitab-kitab seperti inilah yang sampai ke tangan kaum-tua. Oleh karena mereka telah biasa taqlid tidaklah mereka mau membaca pula kitab-kitab lain yang menerangkan pokok-pokok pendirian yang sebenar daripada orang-orang yang dicela dan dihinakan itu. Syeikh Yusuf an-Nabhani menyatakan bahwa as-Sayyid Jamaluddin dan Syeikh Muhammad Abduh tatkala mati terjulur lidah! Maka lekatlah kata-kata ini pada seluruh pembaca kitabnya—Syeikh Nabhani tidak sanggup menerangkan apakah kesalahan beliau-beliau itu, melainkan membuat fitnah-fitnah yang tidak-tidak. Sampai as-Sayyid Rasyid Ridha dikatakannya sama dengan Abu Jahal! Sehingga orang yang otaknya telah beku dan fikirannya tidak jalan, telah percaya saja kepada fitnah yang dibawa oleh an-Nabhani itu.”
“Oleh karena ulama yang mula-mula melepaskan tauhid Islam yang suci daripada khurafat dan bidaah mutasauwifin ialah Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya (semisal) Ibnu Qayyim, maka beliau-beliau ini pun tidak pula lepas daripada serangan. Segala macam kata-kata yang bukan-bukan pula yang diperbuat atas diri beliau-beliau itu.”
“Memang, apabila orang yang telah kehabisan hujah dan alasan, mereka pun kembali memakai perkakas fitnah. Dan inilah yang menyebabkan berpecah-belah umat Islam, berkaum tua berkaum muda,” terang Hamka.
"Bagi kami yang dikatakan kaum-muda itu," lanjut Hamka, "tidaklah keberatan jika dituduhkan Wahabi. Kalau 20 atau 30 tahun yang lalu semasa sepengetahuan tentang agama hanya boleh dipercayai oleh mufti-mufti saja, mungkin orang takut dikatakan Wahabi. Tetapi sekarang orang telah tahu pula bahwasanya Wahabi tidak lain daripada penganut mazhab Hambali dan memang mazhab Hambali terkenal mazhab yang keras mempertahankan sunah. Dan yang berpengaruh memperbaharui faham mazhab Hambali itu ialah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Oleh sebab itu, bagi kami dituduh Wahabi bukanlah penghinaan."
“Jika dituduh pula kami pengikut Ibnu Taimiyah atau Ibnu Qayyim, maka tidaklah pula bagi kami penghinaan. Kaum-tua pun suka kepada kitab Zaadul Ma’ad karangan Ibnu Qayyim seperti kami juga. Cuma kami memakai pangkal kitab dan kaum-tua suka kepada kitab itu karena ada satu pasal di dalamnya tentang ilmu jadi dukun atau tabib.”
“Dan lagi kedua ulama besar itu sangat dicela oleh penganut mazhab Syafie yang berkuasa pada waktu itu. Ibnu Taimiyah seorang alim besar dan bebas berpikir dan tajam, maka timbullah hasad-dengki pada pihak yang berkuasa pada waktu itu. Lawannya yang paling besar ialah as-Subki ulama Syafie yang berkuasa, sehingga berkali-kali Ibnu Taimiyah masuk penjara.
Serupa dengan hal sekarang Samahah al-Mufti Negeri Johor sedang memegang kuasa jadi mufti, dan al-Ustaz Abu Bakar Asyari tidak berpangkat. Kalau kekuasaannya kerajaan Johor seperti kekuasaan raja-raja Mesir dahulu itu, tentu al-Ustaz Abu Bakar Asyaari sudah masuk penjara pula.”
“Di samping orang yang mencela dan menghinakan Ibnu Taimiyah, ada pula yang insaf dan adil menuju ketinggian ilmu pengetahuan beliau dan mengakui akan saleh dan waraknya. Seumpama Ibnu Daqiqil I’d, Abu Hibban al-Hawa, Ibnu Saidun-Nas, Kamaluddin az-Zamlakani, qadhi qudhat Abu Abdullah al-Hariri, al-Hafiz Syamsudin az-Zahabi, Ibnu Qudamah al-Maqdisi dan lain-lain, dan ketika beliau wafat beribu-ribu manusia menghantarkan jenazah. Sepakatlah ulama mengakui beliau ulama yang amat terkemuka di dalam mazhab Hambali,” pungkas Hamka.
Penerangan Hamka membantu kita tentang kaitan pelabelan Wahabi dan kekuasaan yang dimiliki pelabel. Mereka yang memiliki kekuasaan akan berpotensi menggunakan label Wahabi untuk pihak yang mengancam kedudukannya. Sebenarnya pihak yang hendak meruntuhkan satu kekuasaan juga berpotensi memakai label yang sama guna diarahkan kepada pemegang kuasa.
Singkatnya, label Wahabi diniatkan sebagai panggilan buruk agar publik terbuka matanya untuk menjauhi dan memusuhi. Ketika kontestasi politik, pelabelan itu digunakan demi menjaga kepentingan kekuasaan. Selagi kesadaran publik pada ilmu belum ditegakkan, propaganda politik dengan melabeli pihak tertentu dengan sebutan Wahabi, akan senantiasa ada. Meswahabikan hanya satu modus operandi guna menjaga kekuasaan, meski cara-cara demikian ini jauh dari pesan Islam. n