REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Budi Sabarudin
Kepada Orang-orang yang Tak Pernah Mengerti
Mengapa Jadi Batu
Mengapa Tuhan menciptakan aku jadi batu, bukan jadi hewan
Buah-buahan atau sayur-mayur yang bergizi dan bervitamin
Ribuan tahun aku menjaga laut dan pantainya.
Juga gunung-gunung, tebing-tebing, sungai-sungai,
sawah-sawah, goa-goa, pohon-pohon, binatang-binatang,
hamparn tanah, termasuk segala jenis angin, dan bahkan manusia
Kekasihku, Pemilik Segala Kelembutan,
Kepadamu sepanjang waktu
Aku merunduk, aku bertasbih
Aku bersujud, aku menatap wajahmu dalam diam
dalam keteguhan, dalam kesunyian, dalam keabadian
Tapi kau lemparkan aku dalam tawuran anak-anak sekolah
antar mahasiswa, genk-genk motor
Perkelahian antar kampung, suporter sepakbola
antar ormas yang katanya sih bercita-cita
ingin menjaga dan membela keutuhan negara….
Aku juga dilemparkan dalam perang antar suku,
Antar partai politik dengan alasan membela kekuasaan
Keributan antar orang-orang yang mengaku paling suci
dan paling benar dengan alasan membela agama,
tapi entah agama apa, entah agama yang mana juga
“Bagiku saat ini, sudah terlalu banyak yang dijadikan agama.
Uang, jabatan, dan kekuasaan misalnya. Pertandingan Liga Inggris,
Perancis, Itali, Spanyol, Belanda, Jerman juga sudah jadi agama.
Termasuk Piala Eropa dan Piala Dunia itu.
Ronaldo dan Messi atau Ibrahimovic dijadikan nabi baru.
Juga pelatih Jose Mourinho dan Di Mattio atau Sir Alex Ferguson.
Ah, PNS pun dijadikan agama juga. Olala,
punya hanphone saja bisa jadi agama. Ikut partai juga jadi agama
Bagaimana jadi artis macam Lady Gaga? Ah, ditiru dan dijadikan agama juga.”
Dan atas nama demokrasi serta hak azasi manusia,
Dengan darah mendidih, dengan wajah hitam bagai hotmix jalanan
Dengan jiwa yang membentuk kawah gunung merapi
yang mengalirkan bara dan lahar panas. Dengan ribuan ketepel
seperti mainan yang berada di tangan anak-anak kecil :
kau lesakkan aku ke seluruh lembaga pendidikan,
dan ke rumah guru-guru.
Di sekolah-sekolah itu, di pesantren-pesantren itu,
dan di kampus-kampus itu, batu-batu masuk dalam kurikulum
dan menjadi pelajaran paling utama, menjadi pelajaran
favourit, menjadi pelajaran unggulan
Setelah lulus mereka mendapat ijzah dari batu
Dan segera berlomba-lomba mengumpulkan batu-batu,
bukan untuk membangun pondasi rumah, bukan juga
untuk membangun pondasi masjid-masjid,
Atau membuat kolam-kolam ikan dan tandon-tandon air,
Yang disisinya ditanami beragam pohon langka
Dan dibangun surau-surai kecil beratapkan daun kelapa kering.
O, dengan bangga mereka menjadi pedagang segala jenis batu
Ya, atas nama ekonomi mereka juga mengimport batu-batu
Dari negara-negera barat, Amerika misalnya
Lalu mereka membangun monumen-monumen batu
Tempat-tempat pemujaan batu-batu. Lalu mereka
tak mengerti mengapa bercita-cita ingin menjadi batu-batu juga
Akhirnya hatimu dan pikiranmu bukan melahirkan buah-buahan
Sepeti kedondong, kelapa, jambu air, salak, rambutan, jeruk, dan lengkeng
Tapi menjadi mesin pabrik yang terus menerus memproduksi batu
Maka, lihatlah sekarang, orang-orang yang duduk di kursi parlemen itu
Pekerjaannya melahirkan peraturan batu-batu, argumentasinya
Pun dari batu-batu yang bertebangan dari mulut dan
otaknya yang sudah jadi batu. Di meja pengadilan para hakim pun
menjatuhkan vonis dengan batu yang terbuat dari hati batu.
Demikian pula dengan polisi yang selalu menilang degan batu.
Jaksa pun begitu memainkan pasal-pasal batu untuk para terdakwa
Kadang ada tentara juga yang membawa batu-batu,
Dalam dadanya, tapi entah untuk apa
Aku tidak heran, di negeri ini, kutemukan batu di mana-mana
Di kepala para laki-laki, di kepala majikan-majikan, pendidik,
politisi, polisi dan tentara, pedagang, wartawan,
Seniman, dokter-dokter di rumah sakit, tentara, para kepala daerah
LSM-LSM, pedagang dan petani, birokrat-birokrat, tokoh-tokoh
Masyarakat dan agama, pengacara-pengacara, keluarga-keluarga,
preman-preman, bahkan di kepala kaum perempuan.
Mereka berdandan dengan baju yang dihiasi batu-batu.
Batu-batu itu juga mereka jadikan aksesoris : anting dan kalung
atau lipstick dan gelang yang dipasang di tangan dan kaki,
mereka juga mentato alis dan payudaranya dengan batu
Batu-batu juga kutemukan di meja-meja pendaftaran haji
Meja-meja kerja para Ketua RT hingga Camat
Meja-meja gubernur, walikota, bupati hingga menteri-menteri
Juga meja-meja kerja presiden. Betapa banyak batu di kantor pemerintahan,
Di kantor para penegak hukum, sekretariat partai politik,
sekretariat organisasi pemuda, toko-toko,
pabrik-pabrik, kantor-kantor buruh, dan gedung apa saja,
ada saja batu yang tergeletak dan bahkan menumpuk di gudang-gudang
O, wajahku buah belimbing yang pucat. Mataku buah tomat
yang terus menua. Hatiku buah semangka yang memerah
Ketika melihat segalanya hancur dan menjadi rusak
Karena batu-batu yang dilemparkan itu
Aku pun sama seperti engkau yang bisa merasakan kesedihan
Karena aku sesungguhnya dihidupkan. Tapi engkau
Tak kan bisa melihat air mataku mengalir seperti aliran sungai
dan juga tak mungkin bisa menyentuh denyut nafas dan nadiku
Lihat, lumut-lumut hidup di dinding tubuhku
Kau tak kan percaya pohon-pohon juga tumbuh, aku ikhlas akarnya
Membelah badanku lalu menembus hingga ke tanah,
kerang-kerang pun damai di tubuhku,
batu-batu juga dijadikan persemunyian keluarga kepiting
Betapa cantiknya batu-batu berlayar di lautan itu
Juga batu-batu stalagnit yang disepuh air dari waktu ke waktu
Tebing-tebing batu yang dijadikan kuburan, yang disucikan
Orang-orang tradisi, atau batu-batu bergerak dan berjalan
Ada pula-pula batu-batu menjernihkan sungai,
air terjun, dan batu-batu menahan banjir
Belajarah padaku,
sepanjang waktu mengabdi pada kekasihku :
Pemilik Segala Kelembutan itu.
Tak perduli aku hancur menjadi pasir, menjadi kerikil-kerikil
Atau menjadi abu sekalipun
O, batu-batu dari mana yang kau jilat dengan lidahmu,
Yang kau setubuhi, kau cium dengan bibirmu,
lalu kau telan ke dalam mulutmu dan masuk ke dalam perutmu
kau kunyah habis dengan gigimu, kau susupkan ke daun-daun telingamu
Matamu, kedua hidungmu, kepalamu, lubang anusmu hingga tak bisa kentut
Batu-batu dari mana pula kau masukan ke dalam saku bajumu,
Celanamu, balik jaketmu, tas-tasmu, dompetmu, dan juga celana dalammu?
Ibrahim…. Ibrahim…. Ibrahiiiim..... Aku ingin bertanya kepadamu :
“Ke mana dan kepada siapa batu-batu seperti aku ini harus dilemparkan?”
Tangerang 15 Mei 2012
BUDI SABARUDIN, lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya-karya cerpen dan puisi pernah dimuat di koran lokal dan nasional serta media online. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap “Teater Halaman Rumah” untuk anak-anak di lingkungn sekitar rumah. Salah satu cerpennya “Gadis Pemetik Kangkung” terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang. Email : [email protected] ***