Rabu 23 May 2012 20:24 WIB

Mengapa Tuhan Menciptakan Aku Jadi Batu

Batu berserakan usai tawuran antar warga pasar Rumput dan warga Menteng Tenggulun di Jakarta Selatan, Minggu (3/7).
Foto: Antara
Batu berserakan usai tawuran antar warga pasar Rumput dan warga Menteng Tenggulun di Jakarta Selatan, Minggu (3/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Budi Sabarudin

Kepada Orang-orang yang Tak Pernah Mengerti

Mengapa Jadi Batu

Mengapa Tuhan menciptakan aku jadi batu, bukan jadi hewan

Buah-buahan atau sayur-mayur yang bergizi dan bervitamin

Ribuan tahun aku menjaga laut dan pantainya.

Juga gunung-gunung, tebing-tebing, sungai-sungai,

sawah-sawah, goa-goa, pohon-pohon, binatang-binatang,

hamparn tanah, termasuk segala jenis angin, dan bahkan manusia

Kekasihku, Pemilik Segala Kelembutan,

Kepadamu sepanjang waktu

Aku merunduk, aku bertasbih

Aku bersujud, aku menatap wajahmu dalam diam

dalam keteguhan, dalam kesunyian, dalam keabadian

Tapi kau lemparkan aku dalam tawuran anak-anak sekolah

antar mahasiswa, genk-genk motor

Perkelahian antar kampung, suporter sepakbola

antar ormas yang katanya sih bercita-cita

ingin menjaga dan membela keutuhan negara….

Aku juga dilemparkan dalam perang antar suku,

Antar partai politik dengan alasan membela kekuasaan

Keributan antar orang-orang yang mengaku paling suci

dan paling benar dengan alasan membela agama,

tapi entah agama apa, entah agama yang mana juga

“Bagiku saat ini, sudah terlalu banyak yang dijadikan agama.

Uang, jabatan, dan kekuasaan misalnya. Pertandingan Liga Inggris,

Perancis, Itali, Spanyol, Belanda, Jerman juga sudah jadi agama.

Termasuk Piala Eropa dan Piala Dunia itu.

Ronaldo dan Messi atau Ibrahimovic dijadikan nabi baru.

Juga pelatih Jose Mourinho dan Di Mattio atau Sir Alex Ferguson.

Ah, PNS pun dijadikan agama juga. Olala,

punya hanphone saja bisa jadi agama. Ikut partai juga jadi agama

Bagaimana jadi artis macam Lady Gaga? Ah, ditiru dan dijadikan agama juga.”

Dan atas nama demokrasi serta hak azasi manusia,

Dengan darah mendidih, dengan wajah hitam bagai hotmix jalanan

Dengan jiwa yang membentuk kawah gunung merapi

yang mengalirkan bara dan lahar panas. Dengan ribuan ketepel

seperti mainan yang berada di tangan anak-anak kecil :

kau lesakkan aku ke seluruh lembaga pendidikan,

dan ke rumah guru-guru.

Di sekolah-sekolah itu, di pesantren-pesantren itu,

dan di kampus-kampus itu, batu-batu masuk dalam kurikulum

dan menjadi pelajaran paling utama, menjadi pelajaran

favourit, menjadi pelajaran unggulan

Setelah lulus mereka mendapat ijzah dari batu

Dan segera berlomba-lomba mengumpulkan batu-batu,

bukan untuk membangun pondasi rumah, bukan juga

untuk membangun pondasi masjid-masjid,

Atau membuat kolam-kolam ikan dan tandon-tandon air,

Yang disisinya ditanami beragam pohon langka

Dan dibangun surau-surai kecil beratapkan daun kelapa kering.

O, dengan bangga mereka menjadi pedagang segala jenis batu

Ya, atas nama ekonomi mereka juga mengimport batu-batu

Dari negara-negera barat, Amerika misalnya

Lalu mereka membangun monumen-monumen batu

Tempat-tempat pemujaan batu-batu. Lalu mereka

tak mengerti mengapa bercita-cita ingin menjadi batu-batu juga

Akhirnya hatimu dan pikiranmu bukan melahirkan buah-buahan

Sepeti kedondong, kelapa, jambu air, salak, rambutan, jeruk, dan lengkeng

Tapi menjadi mesin pabrik yang terus menerus memproduksi batu

Maka, lihatlah sekarang, orang-orang yang duduk di kursi parlemen itu

Pekerjaannya melahirkan peraturan batu-batu, argumentasinya

Pun dari batu-batu yang bertebangan dari mulut dan

otaknya yang sudah jadi batu. Di meja pengadilan para hakim pun

menjatuhkan vonis dengan batu yang terbuat dari hati batu.

Demikian pula dengan polisi yang selalu menilang degan batu.

Jaksa pun begitu memainkan pasal-pasal batu untuk para terdakwa

Kadang ada tentara juga yang membawa batu-batu,

Dalam dadanya, tapi entah untuk apa

Aku tidak heran, di negeri ini, kutemukan batu di mana-mana

Di kepala para laki-laki, di kepala majikan-majikan, pendidik,

politisi, polisi dan tentara, pedagang, wartawan,

Seniman, dokter-dokter di rumah sakit, tentara, para kepala daerah

LSM-LSM, pedagang dan petani, birokrat-birokrat, tokoh-tokoh

Masyarakat dan agama, pengacara-pengacara, keluarga-keluarga,

preman-preman, bahkan di kepala kaum perempuan.

Mereka berdandan dengan baju yang dihiasi batu-batu.

Batu-batu itu juga mereka jadikan aksesoris : anting dan kalung

atau lipstick dan gelang yang dipasang di tangan dan kaki,

mereka juga mentato alis dan payudaranya dengan batu

Batu-batu juga kutemukan di meja-meja pendaftaran haji

Meja-meja kerja para Ketua RT hingga Camat

Meja-meja gubernur, walikota, bupati hingga menteri-menteri

Juga meja-meja kerja presiden. Betapa banyak batu di kantor pemerintahan,

Di kantor para penegak hukum, sekretariat partai politik,

sekretariat organisasi pemuda, toko-toko,

pabrik-pabrik, kantor-kantor buruh, dan gedung apa saja,

ada saja batu yang tergeletak dan bahkan menumpuk di gudang-gudang

O, wajahku buah belimbing yang pucat. Mataku buah tomat

yang terus menua. Hatiku buah semangka yang memerah

Ketika melihat segalanya hancur dan menjadi rusak

Karena batu-batu yang dilemparkan itu

Aku pun sama seperti engkau yang bisa merasakan kesedihan

Karena aku sesungguhnya dihidupkan. Tapi engkau

Tak kan bisa melihat air mataku mengalir seperti aliran sungai

dan juga tak mungkin bisa menyentuh denyut nafas dan nadiku

Lihat, lumut-lumut hidup di dinding tubuhku

Kau tak kan percaya pohon-pohon juga tumbuh, aku ikhlas akarnya

Membelah badanku lalu menembus hingga ke tanah,

kerang-kerang pun damai di tubuhku,

batu-batu juga dijadikan persemunyian keluarga kepiting

Betapa cantiknya batu-batu berlayar di lautan itu

Juga batu-batu stalagnit yang disepuh air dari waktu ke waktu

Tebing-tebing batu yang dijadikan kuburan, yang disucikan

Orang-orang tradisi, atau batu-batu bergerak dan berjalan

Ada pula-pula batu-batu menjernihkan sungai,

air terjun, dan batu-batu menahan banjir

Belajarah padaku,

sepanjang waktu mengabdi pada kekasihku :

Pemilik Segala Kelembutan itu.

Tak perduli aku hancur menjadi pasir, menjadi kerikil-kerikil

Atau menjadi abu sekalipun

O, batu-batu dari mana yang kau jilat dengan lidahmu,

Yang kau setubuhi, kau cium dengan bibirmu,

lalu kau telan ke dalam mulutmu dan masuk ke dalam perutmu

kau kunyah habis dengan gigimu, kau susupkan ke daun-daun telingamu

Matamu, kedua hidungmu, kepalamu, lubang anusmu hingga tak bisa kentut

Batu-batu dari mana pula kau masukan ke dalam saku bajumu,

Celanamu, balik jaketmu, tas-tasmu, dompetmu, dan juga celana dalammu?

Ibrahim…. Ibrahim…. Ibrahiiiim..... Aku ingin bertanya kepadamu :

“Ke mana dan kepada siapa batu-batu seperti aku ini harus dilemparkan?”

Tangerang 15 Mei 2012

BUDI SABARUDIN, lahir di Desa Wanayasa, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Senang menulis cerpen dan puisi serta naskah drama anak-anak. Karya-karya cerpen dan puisi pernah dimuat di koran lokal dan nasional serta media online. Mengelola Sanggar Kancil yang menggarap “Teater Halaman Rumah” untuk anak-anak di lingkungn sekitar rumah. Salah satu cerpennya “Gadis Pemetik Kangkung” terangkum dalam antologi cerpenis Mataram-NTB (1998). Kini tinggal di Taman Royal 3, Jalan Akasia 3 AX1 No 8, Cipondoh, Kota Tangerang. Email : [email protected] ***

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement