MAGETANMU JANUARI, SEPERTI KOTAKU SENJA HARI
-sebelum engkau ke kampung ringgit itu, untukmu Cietmay
Magetanmu Januari, seperti kotaku senja hari
Basah oleh hatimu yang gerimis. Setiap kali
Menyusun kepingan puisi dari kristal-kristal
Nur tangis: belik lirik yang kekal menyumber
Perasaan yang tercecer di emper gedung DPR
Mengentalkan serpihan perih yang berserakan
Di diksi-diksi pedih. Menggumpalkan darah kata
Yang luka membuka jeruji pagar-pagar nurani
Di pelupuk mata dini hari alun-alun yang kuyu
Sehabis menemani warga kota wisata kuliner malam
Tergesa-gesa kau titipkan sekilat tatap sendu
Sebelum rembulan terpelanting dari pelukan palem
Tak kukenal lagi perempatan, terminal, halte, stasiun
Andong, angkot, bus, dan kereta pulang ke kota lama
Bentangan aspal jalanan menghalimun lamun
700 kilometer rel besi meleleh oleh geni tresna
Cietmay, lihatlah! Membentang sejauh mata memandang
Ladang senyummu di lapang padang dadaku. Paspor hijaumu
Merantau ke negeri rinduku yang ungu. Di sana engkau
Akan menyinggahi eloknya raya
Sedusun indonesia gemah ripah loh jinawi
Dan akan memuhibahi seronoknya jaya
Sedukuh malaysia suguh gupuh non deportasi
Magetan, 2012
Belik (Jawa): sumber mata air
Muhibah (Arab, Malaysia): perasaan persahabatan
Seronok (Malaysia): indah, cantik, bagus
suguh gupuh (Jawa): senang menyambut tamu
SEPANJANG JALAN TAFAKUR
Serpihan sunyi yang berserakan antara Setiabudhi-Maospati
Di kudus dini hari kupunguti. Dengan jemari-jemari hati
Terbakar lentik cinta yang meletupkan geni rindu
Kutaruh dalam kuncang ruh kepasrahan yang luruh
Di tenggara jantung makrifatku yang nyaris runtuh
Dengan benang-benang rerinai tipis merepih-repih
Kubikin untaian kalung tasbih. Setiap 33 butir sunyi
Kubanduli mahkota ratu seribu kunang-kunang putih
Yang terdampar di net nurani syairku. Lalu kuputar-putar
Dalam kepayang ekstase tahlil sepanjang jalan tafakur
Kusobek selembar temaram dari dinding malam
Kugelar di bantaran trotoar. Lalu khusyuk itikaf
Wiridan bersama bayu. Istighostah berjamaah debu
Munajat dengan nenek rembulan yang ziarah ke bumi
Dan sengaja menitipkan doa-doa perjalanan dari umi
Dari aspal, trotoar, zebra cross, rambu-rambu, garis marka
Nur-nur bertabur. Memancar ke gerbang perbatasan kota
Membutakan mata duo arca buto gapura. Meredupkan gemerlap
Lampu-lampu maya. Memadamkan warna-warni merkuri duniawi
Yang menghanguskan sayap-sayap cahaya kupu-kupu rabithah
Di taman suluk wukuf qalbu
Magetan, 2012
Tentang Syukur A. Mirhan
Lahir di Bogor, 8 Mei 1971. Alumnus Program Pendidikan Bahasa Jerman Fakultas Bahasa dan Seni IKIP/UPI Bandung. Kini melanjutkan Studi S-2 di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Pascasarjana IKIP PGRI Madiun. Pengasuh Komunitas LanggarALITliterA dan Aktivis Majelis Sastra Madiun (MSM). Karya-karya puisinya pernah dimuat di Tabloid Hikmah Bandung, Pikiran Rakyat, Mitra Budaya, Pikiran Rakyat Cirebon, Isola Pos, Bandung Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Republika, Swadesi, Annida, Ummi, MPA Surabaya, SuaraSantri Al-Madinah, Jurnal Bogor, Sabili, Fajar Banten, Oase Kompas Online, Horison Online, Sastra Indonesia.com, Pikiran Rakyat Online, Situseni, dan TerasBanten.com, dan antologi puisi Forum Kebun Raya (1996), Airmata yang Jatuh di Negeri Rembulan Timur (2004), dan Rembulan pun Melapuk di Reranting Perak (2012). Bisa silaturrahim ke email syukur.amirhan9@gmail.com dan HP 085233738177.