Senin 05 Nov 2012 13:33 WIB

Jodoh di Stasiun

Penumpang menunggu kereta di Stasiun Bogor (ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA/MUSIRON
Penumpang menunggu kereta di Stasiun Bogor (ilustrasi)

Pukul lima tepat di sore hari yang mendung. Suasana kantor penerbitan di pinggir jalan raya Tebet itu mulai gaduh. Penghuninya seolah-olah hendak lari menyelamatkan diri dari gempa, terutama para perempuan di kantor itu. Mereka buru-buru mengemasi barang-barang mereka. Namun, bukan karena gempa yang membuat mereka gaduh, tapi jarum panjang jam dinding yang akhirnya menyentuh angka 12 setelah jarum pendeknya telah memasang aba-aba pada angka 5. 

Hari ini adalah hari Jum'at, semua orang bergegas hendak pulang cepat karena besok libur. Tentunya mereka telah merencanakan hari libur tersebut bersama keluarga, teman ataupun untuk memanjakan dirinya sendiri, yang istilah orang-orang desperado di tengah kesibukannya disebut sebagai "my me time".

Tak terkecuali Mita. Gadis berkerudung ini juga ikut menambah kegaduhan yang sedang berlangsung. Mas Rizal, rekan kerjanya di kantor itu tersenyum melihat tingkahnya. Bapak dua anak itu biasanya pulang selepas shalat Maghrib di kantor. 

“Mit, buru-buru amat? Emang mau ngejar apa sih?” Tanya Mas Rizal iseng.

Seketika wajah Mita berubah gundah. Pertanyaan itu serasa mencemooh dan menusuk hatinya. Tak ada salahnya jika dia bergegas pulang seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang telah berkeluarga. Apa karena dia masih lajang sehingga hal ini tampak menyedihkan baginya? Perasaan sentimental membuncah naik ke dadanya.

“Ehh... Enggak sih Mas, pengen cepet pulang aja, mau hujan tampaknya.” Jawab Mita datar.

“Oh, kirain kamu ada yang lagi nungguin hehehe...” Mas Rizal tertawa menyeringai.

Lagi-lagi jawaban itu menambah kecamuk di hati Mita. Setelah pamit pulang, dia bergegas keluar dari kantor bersama rekannya Andini. Sepanjang perjalanan Mita hanya diam malas berkata-kata. Hal itu membuat Andini tak enak hati untuk memulai pembicaraan. Andini menyetop metromini yang sudah kepenuhan penumpang. 

Jam segini memang tak ada gunanya menunggu angkutan yang kosong, karena semua orang telah menyerbu dari segala arah menghadang metromini yang lewat walau terlihat mau oleng sekalipun. Inilah kendaraan rakyat dengan harga murah meriah, hanya Rp 2000,- saja untuk rute jauh atau dekat.

Jika mau cepat, naiklah bajaj yang bisa blingsatan seperti kuda liar atau kalau mau lebih nyaman bisa naik taksi. Hanya saja seorang karyawan dengan gaji pas-pasan akan berpikir ratusan kali untuk menaikinya, mengingat argo taksi yang mahal ditambah lagi kondisi jalanan yang macet. Itu lebih menegangkan melebihi ketahuan memakai kerudung terbalik bagi perempuan. 

Mita menaiki metromini yang disetop Andini barusan. Dia mengikuti Andini masuk ke tengah kerumunan penumpang di sela-sela barisan kursi. Suasana metromini di sore hari memang sangat tidak nyaman. Mulai dari bau keringat yang menyesakkan hidung, hawa panas, sampai ulah sopir yang suka menyalip memacu kendaraan lain.

Andini yang sudah terbiasa dengan keadaan itu tak ambil pusing. Dia justru tak henti-henti memandang Mita penuh rasa ingin tahu mengapa teman sekantornya ini begitu gundah gulana dua hari belakangan ini.

Tiba-tiba dia menarik tangan Mita dengan sigap ketika metromini itu melewati area stasiun Tebet. Mita terkesiap dan buru-buru mengikuti temannya yang sudah mencapai pintu mini bis tersebut. 

“Stasiun... stasiun...! Ayo Neng buruan, macet nih!” Kondektur metromini turun menghadang kendaraan di belakang mereka dengan tangan kanannya ketika Andini, Mita dan sejumlah penumpang lain menuruni metromini tersebut.

“Mita, awas ada motor!” Teriak Andini ketika mereka melintasi jalan menuju loket stasiun.

Mita terkejut melihat motor besar sedang melesat ke arahnya seiring dengan langkah kakinya yang terburu-buru. Pengendara motor itu melotot tajam padanya. 

“Ya Allah, hampir saja! Huufff...” Mita akhirnya bersuara menenangkan dirinya. 

“Biar aku yang ambilin karcisnya!” Terlihat raut kesal di wajah Andini.

Mita hanya melongo.

Mereka akhirnya duduk di kursi besi panjang yang sudah ditempati beberapa penumpang. Peron 1 itu mulai dipenuhi penumpang yang menunggu kereta ke arah Bogor.

Mita memerhatikan orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Sebagian besar merupakan pegawai kantoran berstelan rapi, namun juga ada beberapa buruh kasar dan pedagang dengan wajah penuh peluh membanjiri hingga leher mereka. Mita memerhatikan setiap laki-laki yang melintas di depannya. 

“Ya Allah, di mana jodohku...?” Dia berbisik lirih.

Begitu banyak laki-laki yang lalu lalang di hadapannya, manakah yang diperuntukkan untuk dirinya? Pertanyaan itu begitu mengusik Mita. 

“Mita, kamu kenapa? Sehari ini aku lihat kamu seperti orang tak semangat hidup saja.” Andini memandang wajah Mita seksama. Dia khawatir dengan keadaan temannya yang semakin memburuk hari ini. 

“Oh... Nnggg... Nggak apa-apa kok...” 

“Kamu pasti ada apa-apanya. Cerita dong Mit ke aku.”

“Aku... aku cuma sedang banyak pikiran saja. Hmm... gimana ya...”

Mita memandang wajah Andini, ragu untuk bercerita. Andini tersenyum tulus membalas pandangan Mita, mengisyaratkan bahwa dia siap membantu meringankan beban yang menggelayuti pikiran Mita. 

“Din, aku sekarang berada pada fase kehidupan yang aku sendiri tak memahaminya. Sesuatu seolah menghantuiku dan membuatku merasa terasing.” Mita terdiam sebentar.

Andini meraih pergelangan tangan Mita, mengeratkan pegangannya untuk menunjukkan simpatinya. “Aku memikirkan sesuatu yang dulu tak pernah aku pikirkan dengan sedemikian rumitnya seperti saat ini. Din, masa remaja itu indah ya. Tanpa beban, dan kita bisa melakukan apa yang kita inginkan. Tak ada tekanan... Din, kamu tahu apa yang sedang aku pikirkan?”

Andini menghela napas panjang. Menunggu jawaban itu keluar dari mulut Mita. Dia menunggu bergeming hingga memaksa Mita menjawabnya sendiri.

“Aku memikirkan tentang pernikahan.”

“Mita...” Andini melihat perubahan di raut wajah Mita yang menjadi memerah. 

“Aku... aku lelah Din. Aku merasa dikejar-kejar... oleh tuntutan kedua orang tua dan keluarga besarku karena umurku yang sudah dewasa sekarang ini.” Suara Mita tercekat oleh emosinya yang meninggi.

Air mata sudah bersiap-siap menggenangi pelupuk matanya. Namun semua itu ditahannya. Andini terpaku memandang Mita sedangkan tangannya semakin menguatkan pegangannya pada kepalan tangan Andini.

“Apa mereka pikir menemukan jodoh itu segampang memungut kerang di pasir? Bahkan aku sempat berpikir dengan begitu banyaknya laki-laki yang memenuhi peron stasiun ini, tak adakah yang bisa kudapatkan dan kujadikan suami? Siapapun itu. Gampang bukan? Ahh... Memang tidak sulit. Aku saja yang mempersulit semua itu. Tapi apa aku begitu menyedihkannya...?” Kata-kata yang meluncur dari mulut Mita keluar tak beraturan, saling menghakimi satu sama lain.

“Mita, kamu harus kuat dan sabar ya. Sebelumnya, aku harus mengucapkan selamat datang di masa dewasamu. Kamu tak lagi remaja muda yang bebas ke sana ke mari tanpa beban karena kamu sekarang memiliki tanggung jawab besar. Kamu sekarang adalah perempuan dewasa yang harus menghadapi dunia nyata, kamu harus membuat pilihan untuk hidupmu dan orang-orang di sekelilingmu. Memang begitu kenyataannya. Kamu punya tanggung jawab terhadap orang tuamu, membahagiakan mereka dan menyenangkan hati mereka. Itu terlihat dari tuntutan mereka agar kamu menikah. Tak hanya orang tuamu, bahkan masyarakat pun secara tidak langsung menuntut peranmu terhadap mereka. Apa yang akan kamu berikan untuk mereka.” Ucapan Andini begitu dalam.

Mita tak sepenuhnya memahami hal tersebut. Tanggung jawab terhadap orang tua hanya itu yang dipahaminya, sedangkan tanggung jawab terhadap masyarakat tak pernah terbayang olehnya.

“Bahkan papaku sampai tidak mau menghadiri pernikahan anak teman beliau karena sedih aku belum menikah. Dan mamaku, beliau berusaha mengenalkan dan menjodohkanku pada anak temannya. Aku merasa sedang menjadi objek dan akuuu...” Kalimat Mita terputus terbawa oleh bisingnya bunyi klakson dan suara mesin Commuter Line yang menyita perhatian semua calon penumpang.

Kata-kata Mita buyar oleh kegaduhan orang-orang di peron 1 yang dengan ganasnya saling dorong di pintu kereta berupaya menaikinya. 

“Ayo Mit, di situ agak lowong!” Andini sudah menarik tangan Mita tanpa disadarinya.

Andini memang jagoannya menerobos kerumunan orang-orang yang berebut naik ke dalam kereta. Beruntunglah Mita punya teman seperti dia yang selalu sigap dan andal dalam melumpuhkan garangnya angkutan umum ibukota.

“Alhamdulillah, dapat jugah... keretanyah...” Napas Andini tersengal-sengal sesampai di gerbong kereta. 

Di dalam kereta ini mereka harus bertahan untuk berdiri hingga stasiun pemberhentian terakhir di Bogor karena sesaknya penumpang. Ada sebagian orang yang sudah tak peduli lagi dengan kenyamanan penumpang lain seperti saling dorong, bersandar, bahkan yang paling menyebalkan adalah penumpang yang masih tenang-tenang duduk di kursi lipat dan duduk di lantai gerbong kereta di tengah kepadatan penumpang yang sudah tak kenal ampun.

Memang beginilah transportasi ibukota. Semua orang belingsatan seperti akan menaklukkan tanah jajahan saja. Setiap hari seperti ini. Entah kapan akan berubah.

“Oh ya Mit, maaf ya tadi langsung kutarik. Ceritamu jadi keputus deh. Nanti abis shalat Maghrib di stasiun, kita makan dulu yuk.” 

“Iya, nggak apa-apa Din, justru nanti keburu Maghrib dan hujan kalau nggak naik kereta yang ini. Terima kasih ya.” Mita tersenyum lega pada Andini.

****

“Mita, kamu masih sedih?” Andini memandang Mita yang dari tadi sibuk menyuapkan soto ayam ke mulutnya.

“Kamu lapar banget ya?” 

“Uhuk..huk... Iya.” Mita sedikit tersedak.

“Tapi sepertinya kamu tidak menikmati makananmu. Kamu justru sibuk memikirkan sesuatu. Ok, ceritakan padaku apa yang akan kamu lakukan saat ini?”

“Menurutmu apa yang seharusnya aku lakukan?”

“Apa? Baiklah, aku akan menceritakan sebuah pengalaman pribadi seseorang padamu.”

“Tentang siapa, Din? Cerita apa?”

“Tanteku, adik ayahku.”

Mita membetulkan posisi duduknya di bangku plastik tenda angkringan di pinggir jalan stasiun Bogor. Dia begitu bersemangat menunggu cerita yang akan disampaikan Andini. Baru kali ini dia dan Andini berbagi cerita yang sangat pribadi tentang diri mereka. Tampaknya satu tahun pertemuan mereka di kantor tak memberi mereka waktu yang cukup untuk saling mengenal lebih dekat. Kedekatan mereka selama ini hanya sebatas tegur sapa, basa-basi sebagai karyawan di kantor yang sama, serta karena menaiki kendaraan umum dengan jurusan yang sama. Jika tidak karena tingkah Mita yang aneh sore ini mungkin adegan pertemanan yang dramatis ini tidak akan terjadi.

“Tanteku menikah pada usia yang tidak muda lagi, menjelang setengah abad... Ketika muda, beliau bercita-cita menjadi wanita karir yang sukses dan menikah dengan laki-laki sukses dan juga tampan. Sempurna sekali.” Andini menghela napas panjang dengan raut wajah sinis.

“Aku juga terkadang berpikiran demikian...” Mita menyambut lirih.

Tiba-tiba, pandangan Andini berubah ngeri melihatnya.

“Jangan... jangan Mita. Jangan sampai itu menjadi targetmu ketika hendak menikah.”

“Kenapa?”

“Aku takut. Aku menyesali apa yang telah dilakukan tanteku. Beliau tak pernah mencapai posisi sebagai wanita karir yang sukses dan tak pernah bertemu dengan laki-laki sukses yang tampan.”

Tiba-tiba Mita merinding mendengar perkataan Andini. Mimpi indah itu berubah menjadi mimpi buruk baginya ketika Andini menebasnya dengan kenyataan pahit tersebut. Hatinya mulai galau, pikirannya gamang. Kembali dia memperlihatkan tampang menyedihkan yang dihadapkannya pada Mita ketika di stasiun Tebet tadi. 

“Jika begitu, aku akan menikah dengan sembarang orang saja. Siapa saja yang datang melamarku, siapapun laki-laki yang dijodohkan mamaku untukku. Atau laki-laki yang kutemui di stasiun ketika menunggu kereta pulang. Jika itu tidak akan membuatku terlambat menikah.” Suara Mita meninggi terlihat mengancam.

“Mita, bahkan apa yang akan kamu lakukan adalah hal yang lebih buruk yang akan terjadi!” Andini balas mengancam.

“Din, aku nggak ngerti, apa sih maksud kamu? Kamu takut aku nggak menikah karena kriteriaku yang tinggi. Ketika semua kriteria itu aku lepaskan mengapa kamu bilang itu justru akan membuatku lebih buruk?” Mita memandang Andini dengan napas yang memburu karena emosi.

Andini bingung memandang Mita. Dia merasa salah bicara. 

“Tanteku akhirnya menikah... Dengan seorang laki-laki muda yang menarik hatinya, yang berselisih umur 19 tahun darinya. Laki-laki itu dipilihnya karena sudah putus asa, sudah tidak punya pilihan lain ketika usia memaksanya untuk menikah. Dia sadar tidak selamanya dia akan mampu berdiri dengan kakinya sendiri, dia butuh pendamping, pelindung, dan penanggung nafkah hidupnya.”

“Apa yang salah?”

“Kamu harus tahu, bahwa di masa mudanya dia telah menolak banyak laki-laki baik yang datang padanya, karena... masih menunggu yang memenuhi kriterianya. Hingga pada usia 46 tahun beliau meratapi kesendiriannya dan melepas semua kriteria yang sudah dibuat. Beliau menyerah, dan memilih sembarang orang yang datang memintanya untuk menjadikannya sebagai istri. Beliau tak memikirkan tentang kriteria lagi. Laki-laki yang menjadi suaminya itu ternyata bukanlah laki-laki yang baik. Dia tak pernah shalat, puasa atau pun menjalankan ibadah lainnya. Dia selalu berkata kasar. Mereka selalu bertengkar karena sang suami tak penah berusaha mencari nafkah. Bahkan, dia menguras isi tabungan tanteku.” Andini tercekat.

Suasana diam sesaat. Kemudian Andini menarik napas dalam, perlahan air mata menyusuri kedua pipinya. Dia ikut merasakan sakit yang dialami tantenya.

“Kamu mau tahu bagaimana pertemuan mereka dimulai? Mereka memulai hubungan berawal dari telepon nyasar yang masuk ke handphone tanteku. Laki-laki itu tiba-tiba ingin berkenalan dengan beliau. Dia mengenalkan dirinya sebagai anak orang kaya yang diusir oleh orang tuanya. Dia membanggakan kekayaan orang tuanya dan gaya hidup mewahnya ketika masih bersama orang tuanya. Dia merayu dengan senjata yang melumpuhkan akal sehat tanteku. Tahukah kamu? Ketika menikah dia tak pernah mengenalkan orang tua atau pun keluarganya pada tante dan keluargaku. Tanteku jatuh hati pada kemudaannya dan predikat mantan anak orang kaya tersebut. Laki-laki itu seperti keluar dari dunia antah berantah, tak jelas asal usulnya.” 

“Beliau menikah dengan seorang penipu! Benar begitu Din?” Mita memekik tak percaya.

“Apa seburuk itu Din?” Bola mata Mita memandang Andini dengan liar. Dia ketakutan.

“Ya, memang seburuk itu,” Andini menjawab lemah.

“Aku tak mampu berpikir lagi, kenapa tiba-tiba hatiku kosong...” Suara Mita gundah terlihat putus asa.

“Tidak. Jangan begitu. Harapan itu masih ada. Kita, kamu masih muda, 25 tahun. Jika pun kita sudah tua, kita tidak boleh putus harapan. Hanya Allah yang tahu kapan kita akan bertemu dengan pilihan-Nya. Kita harus selalu berpikir jernih dan baik. Kita hanya perlu mempersiapkan diri menjadi orang baik di mata Tuhan. Meminta kebaikan dan harapan yang tak putus-putus kepada-Nya. Dia tahu yang terbaik untuk hamba-Nya yang baik. Bukankah begitu? Hingga kita dengan ikhlas dan yakin bahwa Allah sedang melihat kita dan berkata, 'Aku telah menyiapkan seorang laki-laki spesial untukmu'.” 

“Spesial itu seperti apa Din?”

“Seseorang yang mencintai Allah dan mengikuti perintah-Nya. Seseorang itu tentu tidak akan menyakiti makhluk ciptaan Sang Khalik yang dicintainya.”

“Kita pun juga harus spesial tentunya ya Din... Kebaikan itu tak mungkin bersanding dengan keburukan.”

“Apa kamu masih berniat mencari jodoh di stasiun?” Andini menggoda Mita yang wajahnya bermimik serius.

“Aaahh... Kamu ini.” Mita meringis malu.

“Kita akan mencarinya dengan cara yang lebih baik Di,” senyum Andini mengembang.

Malam ini begitu menyejukkan baginya. Sedangkan Mita, hatinya mekar dengan mimpi indah menggelayuti pikirannya. Mungkin para malaikat pun sedang tersenyum menyaksikan mereka. []

Rusyda Fauzana

Editor dan penulis amatir

Jl. Pinang II No 17 RT 02 RW 03, Kelurahan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Depok.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement