Jumat 30 Aug 2013 19:33 WIB

"Kita Tidur Dimana Ki?"

Agus Santoso
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Agus Santoso

Oleh Agus Santoso (Wakil Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi dan Keuangan)

REPUBLIKA.CO.ID, Pada sore yang cerah itu, mataku sedang memandang jauh ke depan. Mencoba merekam suasana keramaian di lapangan Karebosi dari halaman depan kantorku, tempat tugasku yang baru.

“Ramai juga orang-orang yang berolahraga”, pikirku. Tiba-tiba saja terdengar sapaan lembut dari sisi kananku, “Bapak pindahan baru yang dari Jayapura itu ya?”.

Aku segera menoleh dan menatap mata lebar milik seorang ibu muda yang memandang ke arahku itu. “Eh iya ... betul bu”. Jawabku mencoba sesopan mungkin menjawab sambil mengulurkan tanganku kepadanya untuk memperkenalkan diriku.

“Ibu sudah pernah main ke Jayapura?” sambungku mencoba memecah kekakuan.  “Belum”, jawabnya. “Kepingin juga saya main ke sana..katanya, alamnya bagus sekali ya?” “Eh..ngomong-ngomong, kita tidur dimana ki ...?”, tanyanya sambung menyambung.

“Kita tidur dimana? K.i.t.a t.i.d.u.r d.i.m.a.n.a?”, pikirku sambil mengeja. “Apa aku ini nggak salah dengar?”.

“Bagaimana bu?”, pintaku padanya mencoba mencari kejelasan sekali lagi. “Eh ...e ... kita tidur di hotel mana ki?”, ulangnya menegaskan dan aku memastikan bahwa kali ini aku pasti tidak salah dengar. 

“Apa sih maunya ibu ini? Kemana sih arah pembicaraannya?”, pikirku bingung. Aku sempat Geer (gede rasa dengan cuping hidung mengembang), tapi kan nggak mungkin ibu ini berpikiran “ngeres “seperti itu.

“Maksud ibu, saya ... eh ... saya menginap dimana?”, sambungku sambil mencoba meluruskan persoalan. Ketika menyebutkan kata “saya”-pun, aku sampai sengaja menempelkan telapak tanganku ke dadaku sebagai penegasan dengan cara body-language terhadap kata “saya”, bukan “kita”. Lalu menunggu jawabannya dengan perasaan bingung.

“Iye ... iye ... kita tidur di hotel mana ki ...? di Goldeng ya ...?”, jawabnya. Dari sorot matanya terlihat ia seperti merasa sedang berbicara dengan orang yang telmi (telat mikir). “Wah, aku jadi betul-betul merasa telmi nih”, pikirku. “Oo ... eh ... iya bu, saya menginap di Hotel Makssar Golden”, jawabku menegaskan, kali ini dengan sangat hati-hati.

“Oo .. iye .. kalo pejabat memang biasanya menginap di Goldeng pi .. Bagus mi pak hotelnya, pinggir pante ... rame ...”, jawabnya dengan nada memuji Pantai Losari yang masyhur itu. “Iya .. bagus sekali, ramai dan banyak makanan ...”, kataku menimpali dan menggaris bawahi betapa hangatnya suasana malam di sepanjang Pantai Losari.

“Tapi kok Goldeng sih, bukan Golden?”, tanyaku dalam hati sambil mengerenyitkan kening memprotes pronounciation-nya. Pertanyaan ini kemudian segera terjawab ketika pada malam harinya aku berjalan-jalan mencari makan malam sambil menikmati wisata kuliner di sepanjang Pantai Losari. Paling tidak, di sana tersedia ikang bakar dan nasi rawong. Sebaliknya kata “bank” diucapkan “ban”.

Akhirnya kami berdua segera akrab dan saling bertukar cerita tentang berbagai program dan aktivitas organisasi non kedinasan. Di tengah-tengah keakraban itu, aku lalu mencoba mencari jawaban tentang penggunaan kata “kita” di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, karena menurutku “ini pasti ada yang salah”

Ketika ia menjelaskan, barulah aku memahami. Pantas ia selalu saja menggunakan kata “kita” dalam menyusun kalimat tanyanya kepadaku.

Rupanya “kita” disini artinya “kamu atau anda” dan secara spesifik ditujukan kepada orang yang dihormati oleh si pembicara, sementara bagi kita (pendatang), yang terbiasa menggunakan Bahasa Indonesia baku, “kita” ya “kita”, yaitu “aku dan kamu, bersama-sama”. 

Kalimat tanya seperti “Kita tidur dimana ki?”, masya Allah, bagi kita kan itu artinya ajakan untuk tidur bareng. Heh ...heh ... ternyata begitu toh maksudnya, untung aku sebagai orang baru menjaga agar tetap sadar diri, jadi nggak berdampak fatal.

Bagi pendatang seperti aku yang tidak terbiasa menggunakan kata “kita” dengan arti “anda” seringkali mengakibatkan situasi menjadi chaos (kacau).

  Hal ini terjadi karena pengaruh bahasa daerah pada tatakrama komunal ini “terpaksa” harus digunakan oleh para penggunanya dalam upaya menjaga hubungan interpersonal sehari-hari mereka, baik di dalam struktur hubungan sosial kemasyarakatan, maupun dalam menjalankan tugas kedinasan.

Pada masa saya bertugas di Makassar, ada kebiasaan protokoler untuk menjemput dan mengantar tamu dari luar daerah. Kegiatan ini, jujur saja, sangat banyak, karena Makassar adalah kota transit dan kota terbesar di wilayah Timur Indonesia, jadi wajar saja jika banyak kegiatan di sana dan itu artinya tentu banyak tamu untuk dijemput dan diantar.

Jumat pagi itu saya mendapat berita bahwa pada hari Minggu sore jam 15.05 WITA akan datang rombongan pejabat dari Jakarta. Artinya, mereka harus dijemput di bandara.

Seperti biasa, kabar itu segera saya teruskan kepada protokol. Ini tentu pekerjaan rutin biasa saja, tapi toh harus saya cek untuk kesiapannya, kan perlu menjaga citra. 

“Beres Pak”, lapor seorang protokol melalui pesawat telepon internal ketika saya menanyakan soal pembagian tugas diantara mereka dalam rangka penjemputan tamu di hari libur itu. “Oke ... bagus ... terimakasih," jawab saya mantap sambil menutup telepon. Beres.

Senin pagi, saya menemui rombongan tamu dari Jakarta itu, yah ... sebagai courtesy dengan sedikit basa basi tentu. Tapi wajah dan senyum saya segera berubah menjadi kaget, bingung dan terpukul, ketika mereka mengadu bahwa ketika mereka tiba pada Minggu sore kemarin, mereka tidak dijemput di bandara, sehingga mereka berinisiatif untuk menggunakan taksi guna mencapai hotel.

Wah ... wah ... wah ... bagaimana sih kerjanya teman-teman ini ... katanya boras, beres, rebes. nyatanya, payah”, aku mengomel dalam hati. “Awas ... tunggu saja ...”, umpatku dengan rasa tak sabar menunggu saat yang tepat untuk segera bisa meninggalkan tamu-tamuku ini dan memarahi cara kerja protokol yang amburadul itu.

“Mengapa hal ini sampai terjadi ... malu kan?” Saya meminta penjelasan kepada dua orang protokol yang kemarin bertugas dengan nada tinggi.

Protokol pertama melaporkan: “Begini Pak, kemarin itu saya sebenernya sudah siap nunggu dia di rumah sampai jam 15.00, tapi ternyata dia ndak datang-datang juga.

Ya ... saya ngaku salah kenapa ndak menelponnya, tetapi saya pikir kan kita sudah janjian pak, jadinya ya sudah, dia mungkin pergi sendiri menjemput tamunya. Mungkin dia lupa menjemput saya ke rumah, mosok sih tamu kok ndak dijemput. Begitu lho pak pikiran saya," katanya menjelaskan jalan pikirannya yang sepertinya sangat logis.

Saya lalu menoleh kepada protokol yang seorang lagi, menatapnya tajam dan menunggu penjelasan apa lagi yang akan dikemukakannya untuk menyanggah dan membela dirinya.

Ededede ... Bapak ini bagaimana mi ... kok mesti tungu-tunggu saya lagi, saya kan sudah bilan kemaring, kita saja mi yang pergi jemput tamunya ya ... Bapak bilang sanggup, .... iye katanya ...eee ... kenapa sekarang bapak bilan kemaring masih tunggu-tunggu saya lagi mi .... ya kalo Bapak kemaring bilan ndak sanggup jemput ... eee .. pasti saya saja sendiri yang pergi jemput airport ki ... eee ... begi tu pak ini kejadiannya mi ...”. sergahnya dengan logat daerah yang kental.

Lhoo ... lhaa .. piye (bagaimana) ... toh mas ... kita ini kan sudah janjian mau bareng ke airport-nya toh? Lha ... makane aku yo nunggoni sampeyan (menunggu anda)... gimana toh yo sampeyan iki ... Jelas kan pak, lha wong dia yang sudah janji sendiri mau pergi bareng sama saya tapi ndak nepati, ya mau bagaimana lagi ...”.

Wah ini lagi ...”, pikirku. Lagi-lagi soal “kita”. Yang satu maksudnya supaya “kamu saja yang pergi menjemput ke airport”, yang satu lagi menerimanya sebagai pesan bahwa “kita berdua bersama-sama pergi menjemput ke airport”.

Wah, bener ieu mah rujit pisan euy (Wah, ini betul-betul kacau sekali)....”, pikirku Akhirnya setelah saling menjelaskan dan memahami persoalan tentang penggunaan dan pengertian kata “kita” itu, kami bertiga jadi tertawa terbahak-bahak, lalu membuat kesepakatan bahwa apabila lain kali ada penggunaan kata “kita” dalam menjalankan tugas kedinasan, maka hal itu harus diklarifikasi dan di-reconfirm apa maksudnya, sampai betul-betul jelas.

“Selamat datang pak, baji-baji ki (baik-baikkah) ? Bagaimana penerbangan kita tadi mi ...?”, tanya protokol wanita yang menjemput saya dengan ramah ketika ia menyalami saya setibanya di Pintu Kedatangan. Sebagai tamu dari Jakarta, kali ini saya sudah mafhum betul maksud pertanyaan ibu itu, walaupun saya melakukan perjalanan dinas sendirian.

 “Baik, syukurlah hari sangat cerah ...”, jawabku. “Bagaimana anak-anak kita, sudah besar-besar tentunya ya ...?”tanyaku menimpali.

“Baik-baik ki pak, dulu waktu Bapak pindah mereka masih kecil-kecil ya pak ... ee .. sekarang dua-duanya sudah kuliah mi ...”, jawab ibu yang bangga ini. Memang ragam bahasa kita ini sangat kaya, saya berkata di dalam hati sambil menganggukkan kepala dan tersenyum padanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement