Oleh: Kang Hawe (Budayawan dan pemerhati sosial di Bandung)
REPUBLIKA.CO.ID, Saya tidak pergi ke IKIP Bandung. Tempat belajarku pada akhir tahun 1980-an adalah Unpad, waktu itu di sekitar Dipatiukur. Saya tidak seberuntung rekan-rekan segenerasi yang pernah belajar di Kampus Bumi Siliwangi dan mendapat pengajaran antara lain dari dosen Karna Yudibrata. Meski begitu, karena saya tinggal di Negla, tak jauh dari kampus IKIP, tidak jarang saya melihat sosok Pak Karna di sekitar rumahnya. Waktu itu, selain Pak Karna, di dalam dan sekitar kampus IKIP tinggal sejumlah orang hebat: Yus Rusyana, Wahyu Wibisana, R.S. Hardjapamekas, dll. Walau ketika itu saya belum kenal secara pribadi dengan tokoh-tokoh itu, saya senang berdekatan secara fisik dengan mereka, seperti tertarik oleh medan magnet yang aneh, seperti mendapat ruang belajar tersendiri. Sebagai mahasiswa jurnalistik, saya secara tidak langsung mendapat gambaran mengenai sosok penulis dari tokoh-tokoh itu.
Sekali pernah saya berkunjung ke rumah Pak Karna di lingkungan kampus IKIP. Kalau tidak salah, saya datang ke sana diajak oleh Hikmat Gumelar, mahasiswa paling abadi dari Jurusan Sastra Sunda Unpad juga aktivis paling sengit dari Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film Unpad. Hikmat bilang, di rumah Pak Karna sedang ada penyair Sapardi Djoko Damono. Ayo, kita temui dia buat wawancara, Bung! Itu memang kiat Hikmat buat menemui orang-orang menarik. Kini saya lupa, urusan apa yang menyebabkan Sapardi menginap di IKIP. Yang pasti, sore itulah saya pertama kali bertemu dengan Pak Karna. Pada kesan saya, orangnya ramah sekali, suaranya pelan, dan sosoknya memperlihatkan wibawa guru, kepala sekolah, atau semacam itu. Sebagai mahasiswa dengan penampilan sembarangan, saya sendiri merasa agak sungkan di hadapan tokoh ini.
Saya baru kenal secara pribadi dengan Pak Karna setelah dia pensiun. Belakangan tempat tinggalnya pindah ke Sariwangi, Parongpong. Sering pula saya dengar cerita tentang Pak Karna dari mendiang Nano S. Beberapa kali saya ikut menyimak ceramahnya, terutama di kampus UPI (nama baru IKIP Bandung). Saya juga pernah membantu Pak Karna dan rekan-rekan dari jajaran Dewan Juri Hadiah Hardjapamekas, penghargaan buat guru bahasa Sunda dari Yayasan Kebudayaan Rancagé. Pak Karnalah yang mengetuai para jurinya. Tulisan terakhir yang pernah saya terima langsung darinya adalah sekelumit kenangan pribadi mengenai Pak Sobri Hardjamekas, yang pernah dia bacakan di depan forum Rancagé di Bandung.
Setahu saya, Pak Karna menulis puisi, cerita pendek, dan novel dalam bahasa Sunda. Kumpulan cerpennya berjudul “Kanyaah Kolot” (Kasih Sayang Orang Tua, 1985). Dari koleksi itu ada satu cerita yang kemudian diangkat ke panggung teater oleh Asep Supriatna, yaitu “Buah Limus Murag ku Angin” (Buah Limus Jatuh Tertiup Angin). Buku pengajarannya, “Bagbagan Makéna Basa Sunda” (Panduan Pemakaian Bahasa Sunda) masih alayak dibaca hingga kini. Dia juga menyutradarai teater “Lutung Kasarung”. Di lingkungan kampus dia pernah menjadi Pembantu Rektor IKIP Bandung juga ikut merintis dan menjadi direktur Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Di luar kampus, dia turut mengelola Lembaga Basa jeung Sastra Sunda (LBSS) dan Paguyuban Pangarang Sastra Sunda (PP-SS).
Kemarin pagi, sewaktu saya sekeluarga sedang berwisata di Sumedang, saya mendapat pesan singkat dari pengarang Chyé Rétty Isnéndés: “Kang, Pak Karna parantos ngantunkeun dinten ieu kinten tabuh genep (Kang, Pak Karna telah wafat hari ini sekitar jam enam).” Saya menyesal. Beberapa hari sebelumnya, istri saya sudah mengingatkan saya bahwa Pak Karna sedang sakit keras. Saya tidak sempat menjenguk. Di Museum Prabu Geusan Ulun, jauh dari Sariwangi, apa yang dapat saya lakukan hanyalah turut berdoa: Tuhan Yang Maha Baik, terimalah guru yang baik di tempat yang baik. Wilujeng angkat, Pa. Neda sih hapuntenna réhing abdi sakulawarga teu kabujeng ngiring jajap ka kalanggengan.