Senin 13 Jan 2014 10:23 WIB

Kamus De Wilde

Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Hawé Setiawan ((Budayawan dan pemerhati sosial)

Mereka yang menelusuri sejarah kamus bahasa di Indonesia, terutama bahasa Sunda dan Melayu, tentu mengenal nama Andries de Wilde (1781-1865). Lagi-lagi, Belanda.

Namanya tersebut dalam disertasi Tom van den Berge, Van Kennis tot Kunst: Soendanese Poëzie in de Koloniale Tijd “Dari Pengetahuan menjadi Seni: Puisi Sunda pada Zaman Kolonial” (1993). De Wilde disebut sebagai “penyusun kamus bahasa Sunda yang pertama” (samesteller van het eerste Soendanese woordenboek). Karyanya tersinggung-singgung dalam buku Moriyama Mikihiro,Sundanese Print Culture and Modernity in 19th Century West Java (2005). Dengan terbitnya kamus De Wilde, menurut Moriyama, barulah orang Eropa mengakui secara resmi keberadaan bahasa Sunda.

Riwayat sang penyusun kamus pernah ditulis oleh Atép Kurnia dalam, “Sunda cék Andries de Wilde” (Sunda menurut Andries de Wilde) dalam majalah Manglé. Sebelumnya, Haryoto Kunto menulis tentang De Wilde dalam salah satu bukunya mengenai Bandung. Meneer De Wilde pernah bermukim di Priangan pada dasawarsa 1800-an. Pekerjaannya yang utama berkaitan dengan urusan perkebunan, terutama perkebunan kopi. Selain mengadakan inspéksi ke wilayah-wilayah jajahannya, dia suka mengadakan ékskursi, terutama ke tempat-tempat yang keadaan alamnya menarik. Hasilnya sering dia tuliskan. Dia suka melukis pula.

Kamus De Wilde adalah Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek: benevens Twee Stukken Tot Oefening in Het Soendasch “Kamus Belanda-Melayu dan Sunda: beserta Dua Contoh Pemakaian Bahasa Sunda”, pertama kali terbit di Amsterdam pada 1841. Dari judulnya terlihat cirinya: kamus tiga bahasa. Bahasa Sunda bersanding dengan bahasa Melayu dan Belanda. Aksaranya dua: Latin dan Jawa. Ada lampirannya pula: dua karangan. Singkatnya, itulah kamus tiga bahasa dengan dua aksara dan dua lampiran. 

Kamus ini diberi pengantar oleh Taco Roorda (1801-1874), gurubesar bahasa dan sastra oriéntal di Amsterdam. Dialah orangnya yang turut membantu menerbitkan kamus De Wilde. Catatan Roorda antara lain menggambarkan kreativitas De Wilde dalam penyusunan senarai kata dalam bahasa Sunda.

Orang Eropa di Indonesia dulu, terutama para pegawai yang memiliki tugas dalam kehidupan masyarakat, suka memperhatikan bahasa dan budaya setempat. Lazimnya demikian, baik karena kepentingannya maupun karena minat pribadina. Sebagai pendatang, yang membawa keperluan menjalankan tugas atau membuka usaha, mereka merasa perlu mengenal seluk-beluk kehidupan pribumi. De Wilde pun begitu. Jelas terlihat minatnya terhadap bahasa, étnografi, dan alam Priangan.

Pada 1830-an, misalnya, secara teratur De Wilde mengirimkan tulisan mengenai Priangan ke De Nederlandsche Hermes, majalah terbitan Amsterdam yang mulai terbit pada 1826. Itulah majalah yang memusatkan sajiannya pada perdagangan (koophandel), pelayaran (zeevaart) dan industri (nijverheid). Tulisannya kemudian dibukukan. Judulnya, De Preanger Regentschappen op Java Gelegen “Keresidenan Priangan yang Terhampar di Jawa” (Westerman, Amsterdam, 1830). Isinya dilengkapi ilustrasi, bisa jadi karyanya sendiri. Dalam pandangannya, Priangan adalah “wilayah yang paling indah dan paling subur di seantero pulau Jawa” (der schoonste en vruchtbaarste gedeelten van het eiland Java).

Pada 1808, menurut catatan Roorda, De Wilde diangkat menjadi pengawas budidaya kopi di Priangan. Dia merasa perlu mengenal bahasa dan aksara orang Priangan, juga adat-istiadatnya. Belajarlah dia kepada pribumi yang mahir hingga dia pun mahir. Kemudian dia menghimpun sejumlah anak muda, di antaranya anak bupati Bandung kala itu. Dia membimbing mereka terutama dalam kegiatan belajar menulis dalam bahasa Sunda dan Melayu dengan memakai aksara Latin dan Jawa. Jika dia mengadakan inspéksi, murid-muridnya suka diajak sambil dididik dalam hal seluk-beluk urusan kopi serta tanaman lainnya. Pada gilirannya mereka mampu mewakili De Wilde dalam kegiatan mengawasi budidaya tanaman industri. Untuk menyampaikan laporan, mereka terbiasa melakukan korespondensi.

“Dengan demikian, dalam tempo beberapa tahun De Wilde dapat menghasilkan kaum muda yang giat, di antaranya yang terbilang paling menonjol adalah éta Radén Adipati Natakusuma yang kemudian menjadi bupati Bandung. Murid-muridnya diminta berlatih dari hari ke hari menuliskan kata-kata dalam bahasa yang berlainan dengan aksa yang juga berbeda-beda. Namun, karena membuat daftar istilah dan waktunya terbilang sulit, dia kemudian menyusun sendiri daftar istilah, yang kemudian diterangkan oleh murid-muridnya, satu bagian tiap hari,” begitu lebih kurang catatan Roorda.

De Wilde terpikir untuk menerbitkan daftar kata dalam bahasa Sunda setelah dia kembali ke Eropa. Adapun orang yang mendorongnya untuk itu adalah J. F. C. Gericke, utusan Lembaga Alkitab Belanda di Jawa, yang selama sebelas tahun mempelajari hasil-hasil kreativitas dalam bahasa dan sastra Jawa. Menurut pertimbangan Gericke, karya De Wilde itu sangat penting bagi perkembangan pengetahuan (orang Eropa) mengenai Bahasa Sunda dan Melayu. Gericke kemudian menghubungi Roorda yang kala itu terbilang ahli bahasa dan sastra oriental yang paling terkemuka di Belanda.

“Tuan De Wilde menyerahkan karyanya kepada saya, agar saya turut membantu memeriksadua contoh tulisan dalam bahasa Sunda, juga supaya jelas cara bahasa Sunda diterapkan dalam pembicaraan yang dapat dimengerti; adapun contoh dimaksud terdiri atas sebuah karangan mengenai kopi dan cara menanam kopi, dan karangan lainnya mengenai upacara, yang bertalian dengan pertunangan di Tatar Sunda; keduanya ditulis dalam gaya dan bentuk yang dikenal oleh pribumi,” tulis Roorda.   

Kedua teks dalam lampiran kamus itu dilengkapi dengan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Buat mereka yang meneliti sejarah dan antropologi, keduanya sangat penting, dalam arti dapat dijadikan bahan untuk menggambarkan seluk-beluk kehidupan di Tatar Sunda dahulu kala.

Ketebalan kamus De Wilde adalah 240 halaman, termasuk lampirannya. Lebih-kurang 220 halaman di antaranya disediakan untuk daftar lema. Buat ukuran kamus memang tipis. Namun, jika kita membayangkan keadaan pada abad ka-19, tatkala orang Eropa baru membuka matanya terhadap bahasa Sunda, kamus terasa menonjol.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement