REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Hawé Setiawan
(Kolomnis lepas, mengajar di Universitas Pasundan)
Dari jendela Indonesia, kegiatan membaca tampak menandai salah satu peristiwa penting dalam sejarah pembentukan bangsa dan negara. Pemuka gerakan kebangsaan membacakan secarik tulisan yang terkenal sebagai “teks proklamasi”. Istilah proklamasi (Bld. proclamatie) berasal dari bahasa Latin, proclamare, yang berarti “mengumumkan”, “menyatakan”, atau “menyerukan”.
Apa yang diumumkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta adalah dua paragraf singkat. Isinya menyatakan tekad revolusi politik (“pemindahan kekuasaan ... dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”). Bukan kebetulan, kiranya, jika penyeru “kemerdekaan Indonesia” berasal dari kalangan terdidik. Merekalah bumiputra yang mematangkan kesanggupan menulis dan membaca entah di Indonesia (seperti Soekarno) entah di Eropa (seperti Mohammad Hatta).
Ingatan kolektif atas peristiwa itu dijunjung tinggi setahun sekali. Dalam upacara kenegaraan, setiap pemimpin Indonesia menirukan Soekarno pada pagi hari 17 Agustus 1945. Di Tugu Proklamasi sosok “proklamator” berdiri tegak menghadapi pengeras suara seraya memegang lembaran teks. Arca itu seakan menjadi metafor tentang bangsa yang membaca: kaum yang memiliki kehendak sendiri dan menyatakan kehendaknya melalui aksara yang membentuk rangkaian kata untuk diperdengarkan ke seantero dunia.
Dengan kata lain, Indonesia memiliki bahan yang cukup baik dari sejarahnya sendiri untuk membayangkan sebentuk republik literasi. Bahasa Indonesia, temuan baru yang berasal tapi menjauh dari bahasa Melayu, punya ungkapan kejam untuk menggambarkan mereka yang belum bisa menulis dan membaca: buta huruf. Adjektiva itu sepadan dengan illiterate dalam bahasa Inggris. Tersirat kegelapan total yang menghalangi jalan menuju ke informasi dan pengetahuan.
Antonimnya adalah melek huruf. Contoh terkenal dari orang Indonesia yang melek hurufadalah Kartini yang sanggup membaca dan terampil menulis. Ia dielu-elukan sebagai orang yang telah menempuh jalan pencerahan. Dalam ungkapan Belanda yang menjadi judul koleksi surat wanita ningrat dari Jepara itu, itulah transformasi door duiternis tot licht (dari kegelapan menuju cahaya; “habis gelap terbitlah terang” alias mina dulumati ila nur).
Jalan menuju nur kesadaran itu adalah membaca. Bahkan, di mata kaum pergerakan, membaca adalah bagian penting dari perjuangan politik itu sendiri. Lihatlah rincian menarik dari riwayat Tan Malaka: di situ tergambar upaya pejuang kembara yang tragis itu menyembunyikan buku-buku bacaannya sewaktu dia dikejar-kejar oleh aparat kolonial. Ada pula rincian tentang upaya sang pejuang menyerap saripati bahan-bahan bacaan yang dipelajarinya ke dalam ingatan, terutama dengan bantuan “jembatan keledai”.
Nun di Tokyo pada 1926, dalam gejolak “zaman bergerak”, Tan Malaka menulis wejangan buat “kaum muda”. “Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu di mana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah!!” kata sang guru bangsa dalam Semangat Muda (1926).
“Perigi yang tak boleh kering” dalam pengajaran Tan Malaka adalah “immortal witness” dalam uraian Steven Roger Fischer yang menulis A History of Reading (2003). Saksi yang kagak ada matinya itulah para pembaca: dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, senantiasa ada orang-orang yang sanggup menangkap tanda, memperhatikan gejala, menyerap makna.
Kata read (=membaca) dalam bahasa Inggris seakan memiliki hubungan darah dengan istilah Sanskerta rãdhnoti yang konon berarti “dia yang mencapai”, “dia yang bersiap”. Tersirat pengertian “melek”, “awas”, “siaga” — sesuatu yang lazim terdapat pada setiap “saksi” (witness). Tidakkah kata iqra dalam riwayat kenabian Islam yang termasyhur itu pun menyiratkan sebentuk pernyataan kesaksian?