REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hawe Setiawan
Harap maklum, saya bukan Wawan. Kesamaan nama panggilan hanyalah kebetulan. Saya tidak sanggup menyuap Hakim Akil, dan tidak sudi berurusan dengan Abraham Samad. Saya hanya sanggup mengatakan bahwa kalau kita pergi ke toko buku dengan dompet cekak, salah-salah kita bisa mati mendadak.
Di Gramedia dan Gunung Agung begitu banyak judul baru, setiap minggu. Hanya orang beruang yang bisa tenang menghadapi sergapan berbagai gambar sampul, blurb, dan endorsement. Saya sendiri harus pandai memilih. Saya mesti membeli sedikit, itu pun yang benar-benar perlu.
Misalkan, saya mampu membeli 40-an mobil mewah buat mengangkut paket dari Amazon, memanjakan barisan kecantikan dari dunia hiburan untuk menemani saya membaca, dan memiliki dua pulau guna mewadahi seabreg produk industri penerbitan. Masih ada soal runyam: terlalu banyak buku, terlampau sedikit waktu.
Untuk menamatkan Don Quixote, kayaknya kita perlu waktu beberapa hari seraya melupakan internet dan mengabaikan Anas Urbaningrum, Ani Yudhoyono, Ayu Tingting, Ratu Atut, dan tokoh dongeng lainnya.
Masih sanggupkah Si Wawan yang hina dina ini membaca novel 700-an halaman? Bukankah hari ini orang selalu merasa terburu-buru dengan beragam perangkat komunikasi yang selalu membuyarkan konsentrasi? Bagaimana caranya agar tsunami publikasi tidak membuat orang hanyut dan mati di laut?
Untung ada John Sutherland. Di telingaku, namanya terdengar seperti Old Shutterhand, jagoan dalam serial petualangan Karl May. Bukunya, How to Read A Novel: A User's Guide (2006), dapat membantu pembaca buat menyiasati dinamika dunia pustaka.
Meski judul bukunya mengandung ungkapan “how to”, Sutherland bukan pengkhutbah yang menyarankan pembacanya agar menjadi orang lain besok pagi. Bagaimana menjadi taipun dalam waktu kurang dari seminggu atau menjadi ganteng dalam tempo lima menit, bukan urusannya. Sarannya tidak pula dialamatkan kepada mereka yang ingin menghidupkan mesin cuci atau merakit bom bunuh diri.
Urusan Sutherland jauh lebih mendesak dari itu semua: menawarkan “strategi non-tradisional” (non-traditional strategies) dan semacam “terobosan” (short cuts) yang tepat untuk membaca buku, terutama novel, di tengah kian pasangnya gelombang bahan bacaan (hal. 4-5).
Dalam adjektiva “non-tradisional” kiranya tersirat penglihatan bahwa hari ini kita menyaksikan pesatnya peningkatan jumlah terbitan, akses terhadap bahan bacaan, dan media baca-tulis — kenyataan yang hampir sulit dibayangkan pada zaman pradigital.
Di tengah kenyataan itu Sutherland mengingatkan pembacanya agar berupaya memelihara kemerdekaan individu. Jangan sampai orang terperangkap dalam aneka pilihan semu yang ditawarkan oleh industri buku. Sebaiknya orang berpijak pada anggapan bersahaja. Pertama, novel ditulis buat dinikmati. Kedua, kian terampil orang membaca, kian banyak manfaat yang bakal didapatkan dari bahan bacaan.
Untuk itu, kita diajak mengenali medan. Dibawanya kita beranjak dari hal umum ke hal khusus, dari amatan teleskopis ke tilikan mikroskopis. Setelah menggambarkan jagat pustaka mutakhir secara umum, tak terkecuali sejarahnya, dia kemudian membedah rincian anatomi novel. Kita jadi tahu apa itu novel, bagaimana buku itu ditulis dan diterbitkan, dan buat apa kita membaca novel —bentuk karangan yang, dalam amatan Sutherland, kelahirannya berbarengan dengan kemunculan kapitalisme.
Bibliografinya menawarkan pilihan bacaan tersendiri: mulai dari novel klasik hingga novel mutakhir, mulai dari The Pilgrim’s Progress karya John Bunyan terbitan 1678 hingga Murder in Byzantium karya Julia Kristeva terbitan 2006.
“Tiada gunanya meratapi dunia buku tempat sejarah telah membawa kita —sebuah dunia tempat jutaan buku seketika dilempar ke pasar, tempat lebih dari 10 ribu novel yang baru terbit ditawarkan tiap tahun (dan sepuluh kali lipatnya yang tersedia dalam daftar terbitan yang masih berjalan). Betapapun, kenyang buku niscaya lebih baik daripada lapar buku. Masalahnya adalah bagaimana menangani keberlimpahan itu — baik dengan sikap dingin untuk memilih dan memilahnya, maupun dengan cara-cara baru untuk menangani berjibunnya bahan bacaan. Kerakusan itu sendiri tidak lagi memadai untuk menghadapinya. Bagaimana kita bisa memanfaatkan fiksi untuk beragam maksud yang tak terhingga dan tidak sampai terpuruk dihantam iklan dan beban budaya belaka?” tulis Sutherland (hal. 11-12).
Saya sendiri, dengan menyatakan bahwa saya bukan Wawan, tidak sedang mengeluh. Saya sedang berupaya untuk pandai memilih dan memilah buku serta mengisi waktu —dan bukan membuang-buang atau membunuhnya.