Jumat 21 Mar 2014 13:00 WIB

Tadarus di Museum

Hawe Setiawan
Foto: Dok/Republika
Hawe Setiawan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Hawé Setiawan

 Saban Rabu petang sekelompok peminat buku mengadakan kegiatan membaca bersama di Museum Konferensi Asia-Afrika (MKAA), Bandung. Pemrakarsanya, Asian-African Reading Club (AARC), menamai kegiatan ini “tadarus”.

Di ruangan bersejarah itu buku dibaca satu bab tiap minggu. Tiap bab dibacakan oleh tiap peserta secara bergantian, masing-masing sekian paragraf. Manakala yang satu membacakan isi buku, yang lain mendengarkan. Begitu berlangsung dari minggu ke minggu hingga tamat satu buku.

Dalam tiap pertemuan, klub ini mengundang narasumber. Biasanya, narasumber berasal dari universitas atau lingkungan lain yang kegiatannya dianggap berkaitan dengan tema bacaan. Tugas narasumber adalah menyampaikan komentar atas bab yang sedang dibaca, kemudian berdiskusi dengan hadirin.

AARC bergiat sejak 15 Agustus 2009 semasa MKAA dipimpin oleh Isman Pasha. Kini Isman berdinas sebagai diplomat Indonesia di Amerika Serikat. Pegiatnya adalah kaum muda, antara lain pemusik Adew Habtsa yang baru-baru ini meluncurkan buku tentang perjalanan hidupnya sebagai peminat buku dan pemusik. Judulnya, Menjadi Bangsa Pembaca (2014).

Sejumlah buku telah rampung dibaca dalam forum ini, misalnya Di Bawah Bendera Revolusi karya Soekarno, The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani, Tonggak-tonggak di Perjalananku karya Ali Sastromidjojo, dan Langkah Menuju Kebebasan: Surat-surat dari Bawah Tanah karya Nelson Mandela.

Pada 2011 klub ini mengemas The Bandung Connection edisi Indonesia dalam bentuk buku audio. Rekaman bacaan itu dikemas dalam cakram kompak (compact disc) untuk kalangan tunanetra. Pernah pula klub ini menerbitkan buku berisi himpunan esai berjudul Bandung Ibu Kota Asia-Afrika (2012). Album musik juga ada. Judulnya, Merayakan Perdamaian Hidup (2011) dan Membiarkan Hidup (2012).

Kentara betapa kegiatan yang diwadahi dalam klub ini bukan hanya membaca. Dalam tiap pertemuan selalu ada pentas musik akustik dari anggota klub atau teman-teman mereka yang menggeluti seni. Ada kalanya, sebelum membaca, hadirin menonton film dokumenter.

Klub ini juga membuat kaos oblong dan stiker yang memuat pesan seputar pentingnya membaca sejarah dan mengabrabi museum. Pernah pula klub ini berkunjung ke tempat-tempat bersejarah dan menemui tokoh-tokoh yang terpaut pada peristiwa bersejarah.  

Mereka yang getol hadir dalam tiap pertemuan AARC tidak banyak. Hanya belasan orang. Namun, barangkali justru karena itu, diskusi mereka biasanya terpusat dan mendalam. Di antara hadirin ada pula satu dua orang dari generasi senior, misalnya wartawan cendekia Taufik Rashid.  

Saya sering ikut hadir di situ. Tugas saya biasanya mengomentari isi bacaan yang sedang ditadaruskan. Sungguh saya senang bisa naik sepeda dari Ledeng ke Asia-Afrika untuk berkumpul dengan teman-teman yang suka membaca. Buat saya, begitulah realisasi petuah guru: rajin-rajinlah belajar, dan jangan lupa berolah raga.

Dengan adanya kegiatan seperti itu, museum tidak seperti kuburan atau rumah hantu. Masa lalu, sebagaimana yang terwadahi dalam buku-buku karya para pendahulu bangsa itu, tidak berhenti dan melapuk di dalam lemari. Kehadiran kaum muda yang gemar membaca dan suka mengolah seni di situ turut menjamin kelangsungan sejarah, ketersambungan fikiran kebangsaan.

Kegiatan seperti itu, barangkali, dapat pula memelihara amanat Bandung yang tercetus pada pertengahan dasawarsa 1950-an: menjadi semacam ibu kota Asia-Afrika buat merawat semangat kemerdekaan dan persaudaraan. Itulah semangat yang lahir dari perih getirnya hidup sebagai bangsa yang terjajah selama puluhan bahkan ratusan tahun.

Hari ini Bandung yang genit memang sering tampak melupakan amanat itu. Ia seakan mempersempit diri jadi sekadar ibu kota buat Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat. Kalaupun orang berduyun-duyun ke kota ini, terutama warga Jakarta yang berkelimpahan uang dan tersihir jalan tol Cipularang, mereka biasanya sekadar mau belanja atau berhura-hura.

Untunglah masih ada kelompok-kelompok kecil seperti AARC yang masih sanggup membaca sejarah di tengah kota yang kian ramai ini.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement