Jumat 24 Oct 2014 21:30 WIB

Telur Dadar Ibu

Kasih ibu (ilustrasi)
Foto: Blogspot.com
Kasih ibu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Budi Solihin

Ketika bus malam itu perlahan masuk terminal Kebonkalapa, perhatianku secepatnya hanya tertuju pada dua hal yaitu kamar mandiumum dan bus jurusan Bandung-Cianjur.

"Gebyurrrr...gebyurrrr" alangkah segernya mandi pagi kali ini setelah kutempuh perjalanan Surabaya-Bandung kurang lebih 14 jam, bau badan amis dekil dan keringat dalam Bus non-AC pun segera lenyap diguyur air bak kamar mandi umum terminal yang pengap.Baju bersih yangberada di ransel segera membalut badan yang telah selesai  digojlogselama 1,5 bulan di Pusdik Brimob Watukosek-Porong Mojokerto.

"Assalamualaikum warahmatullah"

"Assalamualaikum warahmatullah” kuakhiri sholat subuh pertamaku dalam status bukan sebagai pengangguran lagi karena sehari yang lalu aku telah resmi diterima sebagai sebagai pegawai di sebuah perusahaan Negara, tanpa dzikir sedikitpun segera kucari bus jurusan Bandung-Cianjur.

"Cianjur.., Cianjur….., masih kosong"

"Cianjur….., Cianjur….., ayo masuk pak..., bus pertama-bus pertama".

Kursi kosong dekat jendela segera  menjadi sasaranku supayabisa cepat tidur nyenyak untuk menghilangkan rasa cape dan  lapar yang belum juga terpenuhi. Benar saja seperempat jam lepas terminal kebonkalapa tubuh inipun langsung blassss tertidur nyenyak tak ingat apapun yang terjadi selama perjalanan.

"Cianjur…, Cianjur….., persiapan-persiapan…….."

"Nol-dua, nol-dua Joglo, Cikaret, es-em-pe dua"

Terbangunlah tidurku  begitu mendengar dua kalimat terakhir itu ; nol-dua dan es em-pe dua. Itu adalah  nomor angkot yang menuju rumah dan nama sebuah kampung yang letaknya persis di belakang sekolah SMP 2 tempat dulu aku menuntut ilmu. Akupun segera bergegas turun sambil menenteng ransel yang berisi baju kotor dan sedikit kue-kue murah khas surabaya. Angkot 02 warna merah ini pun langsung tancap gas walau penumpangnya baru terisi empat penumpang.

Seribu perasaan berkecamuk, seribu asa dan lamunan bergejolak dalam hati ini, ingin segerabertemu sang ibu yang telah lama ditinggalkan. Hati ini terus berkata bahwa anak ibu yang paling kecil ini kini telah punya pekerjaan tetap,  ibu tidak perlu khawatir lagi karena semua anaknya sudah punya pekerjaan.

Terbayanglah ibu mungkin sekarang akan tambah lega karena tugasnya semenjak ditinggal Bapak lima tahun silamsatu tahap purna sudah, semua anak bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dan semua anak kini sudah bekerja. Teringatlah janjiku ketika melepas jenazah Bapak ke liang lahat bahwa aku harus cepat lulus kuliah supaya segera bisa membalas kebaikannya. Kini........, pintu itu telah berhasil kubuka dengan penuh perjuangan dan tentunya doayang terus mengalir dari sang ibu.

"Es-em-pe dua cep," tiba-tiba kalimat sopir membangunkan semua lamunan . Akupun langsung turun dari angkot bergegas berjalan menuju rumah ibu yang letaknya tak jauh dari mulut gang. Dari jauh sudah kelihatan rumah itu, aku tak sabar ingin segera berlari secepatnya tapi badan ini memang terasa lemah karena cape dan rasa lapar yang semakin terasa. Supaya lebih cepat akupun memilih masuk lewat pintu belakang.

"Praakkkk......" pintu besi itu aku dorong agak keras dan mulutpun segera berucap salam.

"Assalamualaikum...." sapaku

"Waalaikumsalam" jawab ibu dari dalam rumah.

"Bu, akusudah datang, pendidikannya sudah selesai" jawabku lagi.

"Ohhhh kamu ternyata....., Alhamdulillah, Subhanalloh...., dikira siapa...., kok masuk dari belakang nak?"

Kucium tangan ibu yang sudah keriput, kupeluk mukanya dan kurangkul kuat badannya. Tangis bahagiapun tak bisa kupertahankan. Aku tak bisa berkata-kata, hanya hati kecil yang terus bicara, mengungkap rasa syukur pada Allah Swt. Mulut ini tiba-tiba terkunci hanya hati dan perasaan yang tiba-tiba bergejolak antara bahagia dan asa lain yang tidak bisa dicurahkan. Setelah sekian detik berangkulan aku baru sadar kenapa ibu sendiri? Karena biasanya ada bibi pembantu yang menemani.

"Bu, bi pipih kemana? Kok ibu sendiri?," tanyaku

"Udah dua hari dia pulang nengok ibunya, katanya ibunya sakit. Kamu udah makan belum? Kebetulan ini ibu belum masak, tadi pagi ibu banyak urusan sawah," lanjut ibu.

"Udahlah Bu, aku bisa masak sendiri kok" jawabku sambil mengeluarkan baju kotor dari ransel  yang hampir seminggu numpuk.

"Istirahat dulu saja, jangan langsung mencuci pakaian. Sambil kamu istirahat ibu mau nanak nasi dan buatkan dadar telor kesukaanmu," jawab ibu.

Ibu langsung beranjak ke dapur, tangan-tangan  keriputnya pun langsung mengiris bumbu masak sambil menyuci beras. Ibu tahu apa makanan kesukaanku yaitu telor dadar dan ibu paham betul cara memasaknya; tiga butir telor dan putih telornya agak dikurangi sedikit serta irisan bawang daun yang agak banyak.

Rasa kantukpun lenyap tatkala aroma tumis bumbu dadar telor terasa menusuk hidung. Aku segera bangkit dan bergabung dengan ibu di dapur. Kuambil cabe rawit, bawang merah, tomat, sedikit gula merah dan garam, tak enak rasanya makan tanpa dibarengi sambal.

"Itu di rak ada tomat hijau mentah bisa jadi lalapannya, " seru ibu melihat aku sibuk membuat sambal.

Kami pun terlibat obrolan kecil sambil menunggu nasinya masak. Ibu cerita tentang panen sawah yang tahun itu agak kurang bagus akibat serangan hama, cerita tentang keponakan ibu yang masih datang ngerepotin dan yang lainnya. Aku sesekali menimpalinya sambil menahan lapar yang hebat.

"Yu ahhh sudah siap, makan seadanya saja. Kalau masak banyak juga nanti siapa yang makan?" kata ibu sambil membawa piring berisi telur dadar dan bakul nasi ke dipan yang ada di teras belakang rumah.

Goreng telor dadar berteman lalaban tomat hijau dan sambel cabe rawit tanpa terasi, sebuah menu spesial yang terasa sangat istimewa. Ditengah kesenyapan rumahkamipun makan siang berdua, terasa nikmat sekali setiap asupan yang masuk ke mulut ini.Ibu membiarkan aku mengambil bagian lebih besar pada setiap jenis makanan yang dihidangkan. Kehadiran ibu dengan keringkihannya dan hangatnya pembicaraan menjawab keasaan lain ketika tadi  pertama kali kucium tangannya;  terasa betul bahwa Tuhan turut hadir dalam makan kali ini.

Ridlo Allah adalah ridlonya orangtua itu terutama datangnya dari sang ibu. Rumah tua dan dipan kayu rasamala seakan ikut hanyut makan bersama kami,  setidaknya menjadi saksi kelulusan aku diterima bekerja. Selama makan,  sedikitpun ibu tidak menyinggung dan menyanjung tentang keberhasilanku dalam mencari pekerjaan, itulah gaya ibu. Dulu waktu kami anak-anaknya di sekolahdapat ranking baguspun ibu tidak pernah menyanjung berlebihan. Tapi dibalik itu beliau sangat bangga jika anaknya menggapai prestasi. Sering aku intip dan coba simak dari setiap doa shalat dan tahajudnya,  yang disebut adalah ungkapan permohonan doa dan harapan akan keberhasilan anak-anak dalam kehidupannya.

Kini tubuh tua ringkih  itu telah terbujur kaku dihadapanku. Dalam usia 81 tahun ibuku telah dipanggil menghadapNya setelah 3 bulan berjuang melawan sakit.

Lantunan surah Yasiin yang berulang kali dilantunkan para pelayat kali ini terdengar sangat syahdu tapi  menusuk hati. Aku masih tak percaya bahwa ibu telah dipanggil untuk menghadapNya. Bahkan perasaanku sesaat merasa belum rela ketika keranda jenazah diangkat menuju ke pemakaman.

Aku terkenang akan makan siang bersamanya…..

Aku terkenang akan kehangatan dan ketulusan ibu……

Aku terkenang akan keteladanan dan prinsip hidupnya…..

Aku terkenang akan kehadiran Tuhan saat itu…….

Tak akanada lagi telor dadar yang rasanya senikmat seperti itu

Tak akan ada lagi doa dan harapan yang disanjungkan kepada sang Khalik untuk keselamatan putera puterinya.

Padahal………

Aku masih ingin memeluknya,

Aku masih ingin menciumnya,

Aku masih ingin mendengar doa dan harapannya,

Aku masih belum bisa membalas jasa kebaikanmu, dan 

Aku masih ingin makan bersama dengannya bermenu telor dadar buatan ibu.

Ibu, tugasmu telah selesai dan sempurna.  Allah telah memanggilmu dan kami yakin ibu akan ditempatkan di tempat yang mulia disisiNya. Aaamiiiinnnn.

Inna lillahi wa inna ilaihi roojiuun. Allohumaghfirlahaa warhamhaa Wa’a fihi wa’fu anha

 

Bandung 27 September 2014

Menjelang peringatan 1 tahun meninggalnya Ibu.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement