REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie
Tragedi dikenal dalam pertunjukan sandiwara atau karya sastra dengan tokoh yang menderita, sedih, bahkan mati. Tragedi yang paling masyhur adalah karya Sophokles. Sandiwara mengisahkan Oidipus, Raja Thebes, tanpa disadari telah membunuh ayahnya sendiri dan mengawini ibunya.
Drama-drama Sheakespeare mengisahkan bangsawan yang mengalami kekacauan, kebingungan, sedih, dan akhirnya membunuh atau dibunuh. Arthur Miller menulis: Death of a Salesmen, tahun 1949, yang dianggap sebagai tonggak tragedi bisa dikenakan pada orang-orang biasa.
Kini istilah tragedi sudah bertebaran, tanpa urutan kisah, semacam yang dipertunjukkan di panggung sandiwara, apapun yang menjadikan kesedihan atau kekacauan, pesawat jatuh misalnya, langsung disebut tragedi.
***
Masih ingat dengan Gayus Tambunan? Tragedi atau komedi? Ketika Gayus itu berada di Bali menonton pertandingan tenis, ia pasti menganggap pengadilan, hakim, jaksa dan penegak hukum lainnya hanyalah sandiwara. Ia menertawakan apapun yang di ucapkan penegak hukum, vonis sekalipun. Pintu penjara, sipir, tembok tinggi, kawat berduri bisa dilunakkan dengan uang lalu bersantai di Singapura.
Bagaimana dengan Akil Mochtar? Penjara seumur hidup tidak membuatnya menyesal. Masuk penjara bukan tragedi. Ataukah, di depan Akil dan Gayus, hukum hanya dagelan?
***
Alquran menyatakan, apapun yang ada di alam raya ini tidak ada yang sia-sia, bukan main-main, bukan dagelan. Islam tidak hanya merujuk kehidupan dunia yang dinyatakan dengan tragedi dan komedi. Ada alam akhirat, yang kehidupan di dunia ini hanya dirasakan sehari atau setengah hari saja.
Dalam khasanah komunis, kapitalis, sosialis (dan banyak is-is lainnya) dinyatakan tragedi bila seseorang mengalami kesedihan, terpuruk, remuk. Bisa karena bencana, kecelakaan, kehilangan kerajaan, terbunuhnya putri yang dicintai, dan semacamnya. Dalam dunia sandiwara ada istilah: Tragedi Sheakespeare.
Islam tidak mengenal tragedi, tapi musibah. Tragedi adalah ungkapan yang mengesankan bahwa sengsara itu terus melekat, entah sampai kapan.
Tidak demikian dengan musibah. Musibah memang tidak menyamankan, capek, bencana, kehilangan, sedih, duri yang menancap, sampai kematian anggota keluarga, tetapi bila bersabar, ada dosa-dosa yang berguguran.
Di Alquran terdapat pesan tentang sesuatu yang tidak disukai, musibah itu misalnya, padahal itu baik bagi manusia (QS. 2: 216).
***
Andai hari ini kita bangun tidur, segar, mandi, sarapan, melepas anak-anak berangkat sekolah dengan senyum, bukankah kita telah diberi cinta, kemesraan keluarga, harmoni kenikmatan, kebahagiaan?
Esoknya, boleh jadi kita sakit kepalasaat bangun tidur. Anak-anak gaduh karena sepatu dan pensilnya entah di mana. Apakah kita lantas marah-marah, membentak seluruh keluarga? Atau kemudian kita berjuang melawan kejengkelan, melawan marah.
Mengucapkan basmalah, dengan tersenyum berjuang menahan sakit kita membantu mencari pensil yang bergulir dikolong ranjang. Kemudian, meminta agar anak-anak menyediakan baskom dan berkata lembut kepada istri agar menjerang air untuk menyeka wajah, bukankah dari sana lebih memancar kemesraan, saling menolong saling sayang?
Dalam Islam, musibah bisa menghadirkan keindahan dan pahala. Berarti nikmat itu ada di mana-mana, itu karunia Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Tergantung, mau bersyukur meraihnya atau membiarkannya.