REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hafidz Muftisany (wartawan Republika)
Papan nama bertuliskan Toko Sumber Rejeki nampak lusuh. Di bagian depan toko tersusun rapi rice cooker. Lorong sebelah kiri deretan kipas angin terbungkus plastik lengkap dengan barcode terjejer dalam sepi. Tak ada pramusaji. Tak nampak karyawan. Keheningan di dalam toko terasa kontras dengan aktivitas di emperan.
Tiga laki-laki paruh baya duduk khusyuk menghadap mesin pompa setengah HP. Di depan mesin tersebut, seorang lelaki Jemmy (45) fokus dengan empat macam gerinda yang meraung-raung. Pandangan matanya tak lepas dari tangan. Entah bagaimana dengan ekspresi wajahnya yang tertutup masker itu.
Tangan Jemmy terampil memegang batu seukuran biji salak. Berkali-kali ia perhatikan bentuknya. Lantas ia kembali amplas batu dengan gerinda yang paling kasar. Jemmy menjadi pusat perhatian.
Maklum, usahanya kini sedang menjadi primadona. Tulisan menerima gosok batu akik justru ia simpan dalam kaca display di belakangnya. Tak terpajang, tak terawat. Di dinding belakang, dua poster jenis-jenis batu mulia tahun 2015 menjadi penanda. Disitulah tempat yang tepat membentuk batu menjadi akik.
“Itu batu black jade dibikin gede buat terapi penyakit,” Sumardi (52) pria dengan seragam PT Pos Indonesia menjelaskan batu yang sedang digarap Jemmy. Sumardi sedang tak banyak pekerjaan selepas Ashar sore itu. Lantas ia pun nongkrong di toko seberang Polsek Pasar Minggu bersama para lelaki di tempat penggosokan.
“Sekarang semua pada kumpul di tempat akik,” pria yang akrab disapa Bang Haji (54) lantas menimpali. Lengkap dengan peci putih dan sarung kotak-kotak, Bang Haji menunjukkan koleksi batu miliknya. “Ini topas sejak tahun 1992,” ujarnya.
Sejurus, Sukian (56) lelaki pemilik toko keluar. Pria keturunan Tionghoa ini tak mau ketinggalan dengan obrolan ngalor-ngidul. Tangan kanannya memegang rokok yang sudah setengah terbakar. Akik bacan bermotif hijau terselip gagah di jari manisnya.
Baru tiba, ia justru langsung jadi pusat perhatian. Obrolannya macam-macam. Ia merangkai teori konspirasi antara demam batu dan demo 20 Mei yang sepi. “Calo demo sekarang pada main batu,” ujarnya tiba-tiba.
Ia melihat, batu juga memiliki aspek politis. Perhatian dua lelaki yang sedari tadi ngobrol soal batu terbelah. Mereka kini menatap Sukian. Seolah meminta penjelasan lebih atau sungkan karena pemilik toko sudah bertitah. Jemmy tak peduli dengan percakapan itu. Ia memilih setia menggosok batu.
Kalimat demi kalimat meluncur tak terbendung dari empunya toko. Ia menjejalkan pandangannya jika duit di dunia batu lebih menjanjikan bagi para pengangguran yang biasa dibayar untuk demo. “Makanya yang kemarin demo, ya memang yang niat demo,” sebut Sukian.
Berturut-turut pembicaraan berlanjut ke ekonomi yang lagi sulit, batu yang jarang didapat di sungai Ciliwung, kritikan untuk Ahok soal banjir hingga analisa kenapa demam batu bisa menjalar di Indonesia. “Semua gara-gara Obama,” celetuk Sukian selepas menghisap rokoknya.
Ia yakin si presiden Amerika Serikat itu tertarik batu akik yang dipakai Susilo Bambang Yudhoyono saat mereka bertemu. Pria lain yang tadi aktif bicara kini mendadak jadi pendengar yang baik. “Semenjak itu pamor akik langsung naik,” terus ia bercerita.
Tempat pemolesan batu akik kini menjadi tempat favorit membunuh waktu. Pembicaraan tak harus melulu soal batu. Gosip-gosip di warung kopi seolah bergeser tertarik magnet batu kecubung dan kawan-kawannya.
Laiknya warung kopi, jika isi gelas sudah habis lantas semua kembali ke habitat semula. Setelah satu jam berceloteh, Sukian memilih kembali ke dalam tokonya. Sementara Sumardi sejak tadi kembali ke kantor mengurus surat-surat. Hanya menyisakan Jemmy yang sudah beralih ke gerinda keempat, yang paling halus. “Rp 30 ribu sekali gosok,” terangnya sembari menatap bentuk batu yang kini sudah mengilap.