Selasa 09 Feb 2016 06:56 WIB

Virus Sodom

Red: M Akbar
Bendera pelangi simbol kaum LGBT.
Foto: abc news
Bendera pelangi simbol kaum LGBT.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harri Ash Shiddiqie

Pada 1962 diproduksi film kolosal, Sodom and Gomorrah. Film itu dibuat berdasarkan kitab suci yang mengutuk kenistaan hubungan sesama jenis. Diproduksi dengan tujuan komersial, berharap meraih banyak penonton karena saat itu hubungan sesama jenis ditolak di peradaban manapun.

Lima puluh tahun kemudian masyarakat berubah. Beberapa negara mengesahkan perkawinan sesama jenis. Keberanian tampil merembes ke Indonesia yang memiliki banyak taman dan jalan remang-remang. Akhirnya berterang-terang, tak malu menonjolkan diri meski dia mengidap sakit, penyimpangan seksual.

Penyakit ini ditandai adanya rasa tertarik secara perasaan, ada rasa cinta terhadap sesama jenis. Ini menular. Hati-hati, mikroskop maupun teleskop tak mampu melihat virusnya. Ia berupa aroma. Di lingkungan pergaulan, ia menukik lalu menjangkiti teman-teman, saudara dan kerabat yang menghirupnya. 

***

Kapitalisasi, teknologi, dan informasi hampir seabad terakhir membuat pergeseran budaya, bahkan menjungkirkannya. Kini, dengan pembelaan disusul pembenaran. Logika dicoba untuk menetapkan bahwa kebebasan itu bermanfaat, yang bermanfaat itu yang baik. Bebas apa saja, juga bebas berhubungan dengan sesama jenis.

Itu terjadi karena seluruh dasar dan ukuran nilai kehidupan ditentukan oleh manusia. ''Beranilah berpikir,'' kara Voltaire, penggawa peradaban Prancis abad ke-18 seraya menambahkan, ''Manusia tidak memerlukan kuasa apa pun yang berada dan datang dari luar dirinya.''

Manusia tunduk pada rasio, menyembah keputusan yang telah diuji dengan logika. Lantang mereka berkata, ''Itu hak kami,'' dan diteruskan, ''Itu hak asasi.''

Kini, agama dan Tuhan hanya menjadi hiasan semata. Pelengkap main-main saat ada kelahiran dan kematian, bahan pertunjukan sekaligus olok-olok saat perkawinan.

Di negeri yang manusianya merasa hebat, nilai baik dan buruk diproduksi sekehendak hati. Tak terhitung sudah berapa banyak aliran keyakinan yang tumbuh. Ateis, agnostik, menyembah patung, teknologi sampai menyembah uang.

Perkawinan sesama jenis juga dilakukan dengan upacara. Memasukkan unsur agama, sumpah yang sakral. Mengundang teman dan kerabat yang acaranya dipimpin pemuka alirannya.

Tentu ada doa, yang tak tahu dimintakan kepada siapa. Nekat, doa itu diterima atau tidak, bukan soal. Sekadar pelengkap. Olok-olok saja.

*** 

Sodom dan Gomorah dilihat kaum gay dan lesbian hanya sebagai peristiwa alam dunia. Kita melihatnya sebagai peristiwa alam yang ditentukan berdasar kekuasaan Allah, menghukum dengan letusan vulkanis yang membuat pasir dan batu beterbangan.

Patahan lempengan bumi bergerak melonjakkan gempa, tanah pecah menganga, menyemburkan minyak, aspal, belerang. Meledak dan membakar apa saja.

Hidup dan mati, dilihat kaum gay dan lesbian hanya sebagai peristiwa dunia. Kita melihatnya sebagai gaib dan keajaiban karena kita tak tahu kapan mulai dan kapan berhenti.

Juga cinta, gay dan lesbian memilikinya hanya untuk dinikmati sebagai kesenangan dunia. Kita melihatnya sebagai gaib dan keajaiban. Anugerah yang kita tak bisa membuatnya, ada tanggung jawab yang ditanyakan kelak di akhirat, ''Umurmu untuk apa? Anugerah cinta untuk apa?"

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement