Oleh: Denny JA*
(Tak biasa, hari itu Kamus Besar Bahasa Indonesia, bersidang.
Anggotanya, lebih dari 67 ribu kata,
hadir menunjukkan solidaritas,
rasa persahabatan kepada sesama kata.
Kata “Pribumi” pun curhat.)
Apa salahku?
Aku selama ini baik baik saja, hadir di dalam kamus, tak berulah.
Tapi mengapa sejak sore itu,
sejak seorang gubernur mengutip aku,
kini aku dipergunjingkan?
Aku dihujat,
dituduh langgar hukum, dizalimi.
Apa dayaku? Aku hanya kata.
(Air mata menetes menemani kesedihan kata “Pribumi)
Padahal aku lebih tua dari semua mereka,
sudah ada dalam percakapan,
sebelum negeri ini merdeka.
Mengapa kini aku dicemooh?
Seolah aku tak pernah berjasa?
(Ruang pertemuan itu hening.
Duduk di sana bergerombol kata kata,
sesuai dengan persamaannya
Ada kata yang baru lahir di era media sosial, bergerombol di pojok belakang.
Mereka adalah kata “gawai,” kata “unduh,” kata “swafoto, kata “unggah,”
kata “warganet.”
Kata “gawai” pun bicara)
Para kakak senior, para kata yang lahir terlebih dahulu,
kami haturkan maaf.
Walau kami banyak dijadikan tempat
pergunjingan kakak kami, kata “pribumi,”
sebaiknya kami menjadi pendengar dulu.
Silahkan para kakak yang lebih senior
bicara.
(Kata “ilmu,” menjelaskan suasana:)
Adikku kata “pribumi.”
Awal segalanya politik manusia.
Ibu kandungmu itu Kolonial Belanda.
Kau dilahirkan sudah dengan niat diskriminasi.
Kau disebut inlander, kasta paling rendah,
di bumimu sendiri yang sedang dijajah.
Jangan terlalu bersedih. Kau pernah
dipuja ketika Indonesia merdeka.
Dari kasta paling rendah kau berubah,
menggeliat, menjadi pelaku sejarah.
Kini sejak tahun 1998, kau memang dilarang hadir dalam rumusan kebijakan negara. Kekerasan sering menyertai
kehadiranmu dalam politik Indonesia.
Begitulah pasang surut zaman.
Kita dunia kata hanyalah lampiran, bukan pelaku.
Pasrah saja.
Manusia itu suka suka,
mengubah makna kita.
Kadang baik, kadang buruk.
Kita bisa apa?
Kita hanya kata!
(Kata “pribumi” merespon.)
Terima kasih kakak.
Jika kehadiranku mengganggu,
mengapa aku masih ada dalam kamus?
Mengapa aku tak dikubur saja,
hilang selamanya?
Sungguh menderita nasibku:
ada tapi tiada,
ada tapi dilarang dimana-mana.
(Kata “terorisme” menghibur)
Kata “pribumi.”
Kau masih beruntung, sahabat.
Lihatlah aku.
Setiap kali aku dikutip, terorisme,
selalu untuk pembunuhan yang sadis, kekerasan massal, fanatisme buta.
Aku tak pernah bahagia.
Tak ada harum bunga di sukmaku.
Tak ada wangi parfum.
Aku hadir untuk dikecam.
Dimana mana aku diludahi.
(Kata “Ateis” ikut menghibur)
Kau masih bagus sahabatku.
Aku lebih celaka hidup dalam kamus Indonesia.
Jika aku disebut, ateis, selalu disertai bayangan neraka.
Tak hanya aku hina di dunia,
bahkan dianggap celaka di akherat.
Kadang aku protes mengapa aku
harus ada dalam kamus jika
hanya untuk dicerca.
(Di pojok kiri, bergerombol pula kata kata
yang sangat jarang dipercakapkan.
Ada kata “berandang,” kata “cokol,”
kata “lasak.”
Kata “lasak,” yang berarti selalu ingin bergerak, angkat bicara.)
Temanku kata “pribumi.”
Sungguh kami ingin sepertimu, dipercakapkan dari waktu ke waktu.
Alangkah bahagia.
Lihatlah kami.
Bahkan teman teman sesama kata saja tak mengenal kami,
apalagi manusia, apalagi politisi.
Sudah lama kami hadir di kamus,
namun hanya pajangan saja.
Jangan sedih, sahabatku.
Ambil hikmah.
Ingatlah kami, yang selalu cemburu padamu.
(Pertemuan Kamus Besar Bahasa Indonesia terus berjalan.
Kadang mereka sedih bersama,
tertawa bersama.
Namun kearifan hadir pula.
Mereka sepenuhnya sadar.
Apa daya mereka hanya kata.
Manusia apalagi politisi
sekehendak hati mengubah makna kata)
Okt 2017
*Denny JA, Pendiri Lingkaran Survei Indonesia