Ide multikulturalisme yang saat ini digaungkan dalam di perguruan tinggi Islam guna menjadikan pendidikan Islam yang inklusif seolah menjadi sebuah wacana baru yang tidak terelakkan dan dihiasi dengan tujuan yang manis. Padahal di baliknya terdapat sejumlah premis-premis logis yang harus diterima pula seiring dengan diterimanya ide tersebut yang nantinya akan tergambar jelas bertentangan dengan Islam, atau bahkan merusak Islam dari akarnya yaitu Aqidah Islamiyyah. Sebelum membahas lebih dalam, kiranya perlu menyamakan sebuah definisi mengenai apa yang dimaksud dengan multikultural; termasuk membahas mengapa konsep ini muncul sebagai sebuah solusi (yang dikatakan) alternatif.
Sejarah Panjang Multikulturalisme
Multikulturalisme dimaknai sebagai paham yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikulturalisme juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Multikulturalisme berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya dalam hal ini dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa dan lain-lain. Munculnya istilah ini awalnya dikenal dengan istilah pluralisme yang mengacu pada keragaman etnis dan budaya dalam suatu daerah atau negara.
Selanjutnya, ketika memaknai pendidikan Islam multicultural, kita akan dibawa pada sebuah premis logis yang menyatakan bahwa sebelum adanya konsep multikultural ini, Islam tidak menghargai perbedaan yang ada dalam bentuk budaya, wajah, bahasa, suku dan tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Padahal sesungguhnya, Islamlah yang paling pertama menghargai perbedaan yang terjadi antar ummat manusia ini. Terlebih dalam bidang pendidikan, dimana warganegara dari negara Islam (Khilafah Islamiyyah) diberikan jaminan seluas-luasnya untuk menimba ilmu dengan biaya murah atau bebas biaya baik bagi Muslim dan non-Muslim, karena hal ini menjadi salah satu kebijakan strategis negara yang terkait dengan pendidikan. Pendidikan bagi warganegara Khilafah Islamiyyah ini tentulah dijamin oleh negara secara gratis hingga perguruan tinggi dengan fasilitas sebaik mungkin. (An-Nabhani, Ad Dawlah al-Islamiyyah; hal. 283-284).
Potret lain dalam sejarah yang menunjukkan bahwa sesungguhnya dalam Islam sangat menghargai perbedaan antar ummat manusia ini dapat dilihat ketika tranfer ilmu pengetahuan sangat pesat dari Kekhalifahan Umayyah Andalusia ke Eropa pada abad 10-13 yang ditandai dengan ilmuwan Eropa yang pertama yang mempelajari astronomi yaitu Gerbert dari Aurillac yang kemudian menjadi Paus Silvester II –dalam Transmission of Muslim Astronomy to Europe-. Jika memang Islam tidak menghargai perbedaan budaya dari Eropa (berikut agamanya), bagaimana mungkin Gerbert dari Aurillac diperbolehkan menimba ilmu di negara Islam? Melihat dari potret sejarah ini, sungguh premis logis dari multikulturalisme yang menghakimi Islam tidak memberikan penghargaan terhadap budaya lain, sangatlah tidak berdasar sama sekali.
Sebagai sebuah ide, pendidikan multikulturalisme ini dibahasakan dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik driskriminasi di tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja dan di lembaga-lembaga pendidikan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Karena saat itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka. Gerakan hak-hak sipil ini berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi.
Dalam menanggapi masalah ini, harus kita pilah-pilah terlebih dahulu bahwa ide ini muncul dari tatanan masyarakat yang diatur tidak dengan menggunakan sistem Islam, sehingga tidaklah pas jika permasalahan yang timbul di negara barat ini lantas dialamatkan serupa kepada Islam. Sebagai seorang muslim, kita tidak boleh lantas menyamaratakan bahwa ide tersebut juga sepadan jika diterapkan dalam masyarakat yang Islami (telah diatur dengan sistem Islam), karena masyarakat Islam mempunyai tata aturan tersendiri dalam mewujudkan pendidikan yang mengakomodir perbedaan budaya, bahkan agama. Belum lagi karena ide ini lahir dari ideologi yang diterapkan di Amerika dan Eropa kala itu, yaitu kapitalisme yang jelas menampakkan tanda-tanda keruntuhannya akhir ini.
Demi meramaikan dan membenarkan ide ini, Samuel P. Huntington memberikan sebuah argumen yang menyatakan bahwa sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan. Konflik tersebut sejatinya menjadi gejala kuat yang menandai runtuhnya ideologi dunia (baik komunisme dan kapitalisme). Dalam konteks negara Islam (Khilafah Islamiyyah), negara tidak akan menerapkan ideologi selain Islam sebagai ideologi negara. Jika memang argumen yang diberikan oleh Samuel P. Huntington terbukti benar mengenai konflik suku, agama, ras dan antargolongan, akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa hal ini terjadi akibat penerapan ideologi yang tidak sesuai dengan fitrah manusia yaitu ideologi komunisme dan kapitalisme, bukan pada Islam sebagai sebuah ideologi.
Sebuah Potret Pendidikan Islam
Untuk membahas permasalahan ini lebih mendalam, perlulah sebuah pendekatan pedagogik. Pendekatan ini pun dilihat dari frame berfikir Islami yang sudah tentu diderivasi dari Sistem Pendidikan Islam yang terpancar dari Aqidah Islam. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu ditekankan, yaitu masalah didaktik dan metodik. Kedua masalah ini perlu mendapat perhatian khusus terlebih lagi masalah didaktik, karena format pendidikan Islam akan menerapkan pola-pola pembelajaran yang khas dan berbeda dengan format pendidikan yang diterapkan oleh negara yang menganut ideologi kapitalis.
Didaktik dalam Islam akan membahas tentang cara membuat persiapan pembelajaran dan mengorganisir bahan pembelajaran yang harus dikaitkan dengan bahan, materi dan silabus, atau kurikulum dalam pendidikan Islam. Sesuai dengan konsep Islam inilah, proses akomodiasi (penghargaan dan toleransi) perbedaan budaya, bahkan agama dalam pendidikan Islam sebenarnya telah ada. Namun, bukan multikulturalisme yang berimplikasi pada diterimanya pula pluralisme, sekulerisme dan liberalisme.
Dalam hal ini, Islam akan memberikan kesempatan bagi pemeluk agama lain dan budaya lain untuk belajar dalam sistem Islam, namun sikap toleransi Islam ini tidak dimaknai sebagai sebuah sikap untuk menyamakan kebenaran Islam yang sama dengan kebenaran agama lain. Sehingga tidak akan muncul lagi pandangan bahwa klaim kebenaran (truth claim) agama Islam akan mengusik agama lain berikut implikasi dalam hal pendidikan yang menghasilkan diskriminasi bagi pemeluk agama lain. Hal ini dikarenakan Islam yang memaparkan sistemnya secara komprehensif (berikut Sistem Pendidikan Islam di dalamnya), bersifat Rahmatan Lil Alamin.
Konsep asing bagaimanapun mapannya, dibangun dari akar kebudayaan dan pandangan hidup yang mempunyai ciri khas dan belum tentu sejalan dengan Islam. Lahirnya ilmu dalam Islam didahului oleh kelahiran tradisi yang tidak lepas dari pandangan hidup Islam dan pandangan hidup ini juga tidak dapat terlepas dari Al-Qur’an dan penjelasan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tak perlulah berpaling dari sistem Islam yang sempurna dan paripurna ini. Sistem Pendidikan Islam-lah yang sesungguhnya telah menjawab berbagai permasalahan yang dipaparkan Huntington dalam bukunya The Clash of Civilization berikut juga permasalahan diskriminasi yang muncul di Amerika dan Eropa. Wallahu A’lam bish Shawab.
Rasyid Ichsani
Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
______________________________________
Kirimkan artikel Anda ke: [email protected]. Artikel disertai identitas jelas penulis. Redaksi berhak tidak menayangkan kiriman tulisan berdasarkan penilaian redaksi.