Rabu 07 Mar 2012 08:02 WIB

Hikmah Perjalanan: Perjuangan Istri Penjual Bakso Melawan Kanker Payudara

Hikmah perjalanan (ilustrasi)
Foto: thefreedomtraveler
Hikmah perjalanan (ilustrasi)

 

Subhanallah, sebuah perjalanan memang diperlukan oleh setiap insan untuk memperkaya hatinya. Memberi ruang bagi jiwanya akan sebuah pengalaman baru yang berbeda, yang dapat langsung ia lihat, dengar dan rasakan. Pengalaman inilah yang akan menggerakkan hatinya untuk melakukan sebuah perubahan, baik itu perubahan pribadi maupun perubahan sosial.

Tentu saja setiap bekas/atsar sebuah perjalanan ditentukan oleh jenis perjalanan itu sendiri. Sejauh mana jiwa dan hati orang yang melakukan perjalanan itu, mampu menangkap pesan-pesan yang sebenarnya tersebar dan bahkan terserak begitu banyak di sekitarnya.

Hati yang bersih dan hidup, itulah yang akan mampu menerima serta mengirim resonansi pesan-pesan positif dari alam di sekitarnya. Bagaimanapun, alam terbentang luas menjadi guru bagi siapapun yang mau belajar darinya.

Sedikit cerita dari sepotong perjalanan, yang semoga dapat menjadi pelembut hati...

Cerita ini terjadi ketika dalam perjalanan pulang ke kotaku tercinta, Jogja. Di sela padatnya agenda berlibur bersama suami dan anak-anak, aku sempatkan untuk bertandang ke rumah seorang penjual bakso. Orang tersebut kukenal secara tak sengaja, hampir tiga tahun yang lalu.

Istri penjual bakso ini merupakan seorang penderita kanker payudara. Dia membutuhkan dana besar untuk mengoperasi istri tercintanya. Bahkan, dia pun harus merelakan satu persatu apa yang mereka miliki untuk biaya pengobatan sang istri.

Penjual bakso itu sungguh orang kampung yang sangat sederhana, namun tekun dan sangat mencintai istri serta anak-anaknya. Dia harus pontang-panting mengurus sakit sang istri, hingga kerap meninggalkan pekerjaannya sebagai tukang bakso. Itulah perkenalan singkatku dengan penjual bakso itu tiga tahun yang lalu.

Adapun tujuanku ke rumah penjual bakso itu adalah untuk bersilaturrahim sekaligus menengok istrinya. Salah satunya juga untuk mengetahui apakah segala tindakan dari dokter, berupa kemoterapi dan farmakoterapi, itu membuahkan hasil. Aku kehilangan kontak dengan Bapak itu (si penjual bakso) dan juga istrinya, karena hpku hilang.

MasyaAllah, semua memang sudah dituliskan-Nya, kita tidak tahu apa yang Ia rencanakan untuk kita. Saat kuberjalan ke gang sempit menuju rumahnya, pikiranku sudah bertanya-tanya, "Apa gerangan yang terjadi dengan istri si penjual bakso, mengapa rumahnya di kejauhan nampak lengang?"

Ternyata firasatku terjawab, istri si penjual bakso itu masuk rumah sakit lagi dan besok akan kembali menjalani operasi. Disebabkan dana yang tidak mencukupi, kemoterapinya pun tertunda-tunda, sementara kanker kembali menyebar di tubuh sang istri.

Kali ini, Bapak penjual bakso itu tak terlalu merisaukan masalah dana, karena rasa solidaritas para Ibu di RT-nya telah sedikit menolongnya. Yang dilakukan oleh para Ibu tersebut seperti mencari sokongan dana Jamkesda ke Dinas Sosial setempat. Walau memerlukan waktu yang sangat lama dan belum tahu dapat berapa, yang penting si istri penjual bakso itu bisa maju ke meja operasi lagi. Selebihnya, harus ditanggung secara pribadi.

Yang membuat risau penjual bakso itu yakni masalah darah. Akhirnya, aku hubungkan dengan teman yang ada di Masjid Mardhiyah, dekat RS Sardjito, untuk dibantu mendapatkan darah segera dari para Jamaah Kajian Rutin Pagi di masjid itu. Kusampaikan pada salah seorang takmir masjid tersebut, bahwa ada seorang Ibu, dhuafa yang sangat memerlukan darah untuk operasi kanker. Alhamdulillah darah didapat. Ibu itu pun dapat masuk ke meja operasi keesokan harinya. 

Permasalahan tidak berhenti sampai di situ saja teman, terpikirkah bagaimana dengan sekolah anak-anaknya karena bapaknya seringkali tidak berjualan bakso? Bagaimana mereka harus hidup? Terbersit untuk mengumpulkan dana membantu kehidupan mereka dan bagi anaknya yang kesulitan biaya untuk sekolah.

Perjalanan kami lanjutkan ke desa bapak itu berasal, di sebuah desa nun jauh di pesolok Gunung Kidul sana. Di sana kami bertemu dengan seorang ibu renta, ibunda dari penjual bakso itu, beserta sepasang suami istri dengan dua orang anak, mereka adalah adik dari penjual bakso.

Mereka menghuni sebuah rumah kecil, sangat sederhana, berlantai tanah, dengan isi rumah ala kadarnya. Mereka menanyakan kabar saudara mereka di Jogja, istri penjual bakso. Maklumlah, mereka tidak mempunyai alat komunikasi untuk mengetahui kondisi saudaranya di kota Jogja sana.

Kulihat ibu tua renta itu sangat sedih dan prihatin dengan kondisi istri penjual bakso. Sambil menggeleng menceritakan betapa upaya mereka untuk kesembuhannya, hingga habis semuanya.

Kulihat genangan air mata di sudut-sudut mata tuanya. Kurengkuh badan tuanya. MasyaAllah, dalamnya kecintaan seorang ibu mertua kepada menantu perempuannya.

Sungguh kubelajar banyak dari perjalanan ini, teman. Sekalipun mereka "papa", tapi hati mereka bersih, jernih, tulus dan apa adanya. Mereka orang-orang bijak yang punya harga diri, mereka tidak ingin merepotkan orang lain dengan meminta atau minjam. 

Sungguh kalian telah menginspirasi kami. Keluar dari zona aman, menangkap dan memahami pesan-pesan alam, memperbanyak perjalanan. Sebuah nilai rasa yang kaya makna akan engkau dapatkan.

Kawan, seandainya satu keluarga dapat mengentaskan kemiskinan satu keluarga lain di Indonesia. Mengantarkan anak-anak mereka menyelesaikan sekolah dan mengarahkannya ke SMK, agar anak-anaknya ke depan dapat mengentas kemiskinan dan kondisi orang tuanya.

Akankah wajah bangsa ini menjadi lebih cerah? Kalian tak perlu menjawabnya kawan. Yang perlu kalian lakukan adalah.. segeralah lakukan, apa yang terdenting di hatimu.

Ribuan orang dengan nasib seperti mereka, bahkan lebih merana menanti uluran tangan kita. Mari kita bersama. InsyaAllah keberkahan harta menjadi milik Anda. 

Yogyakarta, Januari 2012

Umi Auliya

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement