Ide pencegahan penyebaran Infeksi Menular Seksual (IMS) dan tindakan untuk mencegah kehamilan, ternyata sudah ada sejak zaman ribuan tahun lalu. Lelaki mesir kuno telah menggunakan kulit tipis dari kandung kemih binatang sebagai pembungkus alat kelamin mereka ketika berhubungan. Belum diketahui jelas alasan penggunaan alat pelindung tersebut, apakah untuk keperluan seksual atau untuk ritual agama. Tetapi, fakta ini menunjukkan kondom merupakan alat kontrasepsi pertama yang diciptakan manusia.
Dokumentasi pertama tentang kondom ditulis oleh Gabrielle Fallopio, seorang dokter ahli anatomi Renaisans, yang namanya diabadikan dalam salah satu organ reproduksi wanita, Tuba Fallopi. Dalam tulisan-tulisannya pada tahun 1564, Fallopio diceritakan menciptakan sebuah sarung untuk alat kelamin lelaki yang terbuat dari bahan linen. Dia mengatakan bahwa alat tersebut mampu mencegah penyebaran penyakit menular seksual.
Rupanya, selubung yang dirancang oleh Fallopio tersebut menjadi sangat terkenal beberapa tahun kemudian. Raja Inggris Charles II disebut-sebut sebagai salah seorang yang berpengaruh dalam menyebarkan berita penggunaan kondom pada tahun 1600-an. Dari cerita yang berkembang, disebutkan bahwa raja Charles II menugaskan anak buahnya yang bernama Dr. Kondom, untuk mencari cara agar dirinya tidak terinfeksi penyakit menular seksual atau memiliki anak yang tidak diinginkannya.
Solusi yang ditawarkan Dr. Kondom ialah penggunaan sarung yang terbuat dari usus hewan. Masih diperdebatkan apakah penggunaan nama Kondom ini diambil dari nama Dr. Kondom atau dari bahasa latin “condum”, yang berarti untuk “melindungi”. Sayangnya, kondom yang digunakan Raja Charles II disebutkan bekerja tidak efektif, kemungkinan karena sang Raja tidak mencuci kondom yang sudah dipakai berulang kali saat berhubungan.
Titik balik perkembangan kondom
Titik balik dalam perkembangan kondom modern muncul pada tahun 1839, ketika Charles Goodyear menemukan proses vulkanisasi, sebuah proses yang memungkinkan karet menjadi elastis dan tahan lama. Penemuan tersebut memungkinkan kondom karet diproduksi secara massal pada tahun 1844.
Perkembangan kondom modern dilanjutkan oleh Julius Fromm, yang menemukan cara pembuatan kondom menggunakan cetakan kaca pada tahun 1912. Cetakan kaca ini dicelupkan berkali-kali ke dalam larutan karet mentah yang kemudian dikeringkan menggunakan udara panas. Produk kondom tang dihasilkan lebih tipis, lebih elastis dan tidak memiliki lapisan pada kedua sisi. Dan ini merupakan kali pertama manusia menciptakan kondom sekali pakai.
Zaman sekarang, kondom dibuat dari bahan lateks dan bahkan dari bahan plastik. Variasi kondom pun bermacam-macam, ada yang dibuat dengan aroma buah-buahan. Bahkan, ada pula kondom yang bergerigi. Cara menggunakan kondom pun berbeda-beda, mulai dari pasang manual sampai memasang kondom menggunakan mulut pasangan saat berhubungan. Sampai sekarang, kondom masih dipercaya menjadi salah satu cara efektif sebagai alat kontrasepsi sekaligus pencegah penyebaran IMS, HIV dan AIDS (Dipo Wicaksono, dalam Today 20/04/2011).
HIV dan kondom
HIV adalah sebuah virus yang menginfeksi, menghancurkan atau merusak fungsi sel-sel sistem kekebalan tubuh. Dengan berkembangnya virus ini di dalam tubuh, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tahapan paling akhir dari HIV yaitu AIDS.
HIV dan AIDS mulai mendapat perhatian dari kalangan kesehatan di Indonesia pada tahun 1987. Kasus pertama ditemukan dan diidentifikasi pada lelaki asing di Bali pada April 1987. Sementara, ditemukan orang yang meninggal karena AIDS di tempat yang sama, setahun setelahnya (Kementrian Kesehatan RI, 2002).
Sekarang, setelah lebih dari tiga dekade, jumlah kasus tiap tahun masih terus meningkat. Tren penularan HIV, bukan lagi berkonsentrasi pada kelompok risiko tinggi seperti IDU ataupun pekerja seks komersial, tapi mulai berkembang ke arah populasi umum, terutama ibu rumah tangga. Ibu rumah tangga berada pada kelompok tertinggi kasus kumulatif AIDS tahun 2011, yaitu sebanyak 288 orang (Kementrian Kesehatan RI, laporan trimester 3, 2011).
Peningkatan kasus AIDS pada ibu rumah tangga dari tahun ke tahun ini terkait erat dengan angka proporsi kumulatif faktor risiko AIDS tertinggi, yaitu hubungan seks yang tidak aman pada heteroseksual, sebanyak 78,8%. Pelaku hubungan seks tidak aman ini terutama adalah pada lelaki pembeli seks.
Pekerjaan seperti pengemudi truk, pelaut, tentara, dan pekerja migran yang sering menyebabkan mereka bermalam di tempat yang jauh dari rumah merupakan kelompok risiko tinggi (IBBS, 2011). Mereka menjadi jembatan utama penularan HIV dari pekerja seks ke populasi umum. Estimasi Depkes dan Biro Pusat Statistik nasional tahun 2002, terdapat sekitar 7-9 juta laki-laki di Indonesia menggunakan jasa seks dan 50%-nya telah menikah (Penyebaran HIV & AIDS pada Pasangan Tetap ODHA di Indonesia, 2011).
Praktek pencegahan penularan HIV & AIDS melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom masih rendah. Data Surveillance Terpadu Biologis dan Perilaku 2011 pada kelompok risiko tinggi menunjukkan penggunaan kondom pria hanya sebesar 14 persen. Dari sisi "laki-laki risiko tinggi" ini sendiri, tingkat pengetahuan secara komprehensif mengenai HIV & AIDS pada tahun 2011 masih rendah, dan kecenderungan menurun dibanding tahun 2007 lalu (IBBS, 2011). "Laki-laki risiko tinggi" ini sangat berpotensi menularkan HIV, namun paling sulit terjangkau program.
Perilaku seks tidak aman yang dilakukan oleh lelaki pembeli seks ini berhubungan dengan kultur budaya patriarki di masyarakat Indonesia. Kultur ini menempatkan wanita dalam posisi tawar rendah dibandingkan dengan lelaki, sehingga lelaki seringkali dianggap tidak bermasalah termasuk dalam hal perilaku seksualnya. Kerentanan wanita terhadap HIV ini berakibat pada ketidakmampuan untuk mengontrol perilaku seksualnya. Wanita menjadi tidak mempunyai kemampuan untuk mendiskusikan tentang seks yang aman dengan pasangan seksualnya, baik pada pasangan tetap (suami) ataupun kepada pelanggan (lelaki pembeli seks) (Pemberdayaan Perempuan dalam Pencegahan HIV & AIDS, 5, 2008 ). Padahal wanita-wanita tersebut bisa berisiko tertular penyakit seksual dari pasangannya.
Perlu dilakukan pendekatan kepada pihak "laki-laki risiko tinggi" ini agar melakukan seks secara aman dan bertanggungjawab. Perhatian diprioritaskan dengan pemberian informasi yang mendukung pemakaian kondom secara konsisten saat melakukan seks dengan WPS dan pasangan tidak tetap. Selain itu, perlu juga memperluas dan memperkuat strategi untuk turut mencapai pasangan tetap mereka. Program perlu melibatkan perusahaan-perusahaan tempat pria itu bekerja. Penggunaan berbagai media termasuk media massa diperlukan untuk mencapai cakupan yang luas (IBBS, 2007).
Sukma Citra Puspitasari
Mahasiswi Double Degree Program Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan Nasional
Master Program Promosi Kesehatan Kajian Kesehatan Reproduksi dan HIV/AIDS Universitas Diponegoro