REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rusli Halim Fadli*
Reformasi Indonesia telah bergerak hampir memasuki tahun ke-13. Tokoh-tokoh utamanya tak banyak lagi yang tersisa, sekalipun ada, energi mereka berbeda dengan 13 tahun yang lalu. Hal ini belum di tambah karakter sebagian tokoh yang mudah bergeser karena derasnya arus kekuasaan. Wajar bila sebagian telah melupakan tonggak perjuangan demokrasi Indonesia tersebut.
Hampir lupanya masyarakat Indonesia terhadap gerakan reformasi, bisa kita lihat dari sentimen yang terbangun pada saat rakyat memilih pimpinannya, baik dalam Pemilu atau Pilkada. Dibanyak tempat, pertimbangan reformis dan tidak reformis telah usai dan usang sebagai alat propaganda, cita-cita reformasi yang terangkum dalam 6 tuntutannya tidak lagi menarik menjadi agenda perjuangan partai politik.
Reformasi yang sejatinya merupakan seperangkat nilai dalam membangun demokrasi Indonesia telah terbunuh dari dalam. Reformasi tersandera secara politik hanya sebagai alat propaganda. Semangat ideologinya menjadi bias, lantaran telah terjadi kesepakatan politik dengan kelompok lama yang dahulu menjadi “musuhnya”. Akibatnya, ekspektasi rakyat yang tinggi akan gerakan ini, menemukan anti klimak yang kontra produktif. Prahara politik penjatuhan Gusdur adalah satu dari sekian kesepakatan tersebut.
Tulisan ini tidak bertujuan mengulas peristiwa jatuhnya presiden Indonesia keempat diatas, tetapi peristiwa penting ini mencerminkan betapa lemahnya konsolidasi gerakan kelompok reformasi. Kekuatan ini terlihat bimbang, karena sedari awal lupa menyiapkan instrument penyangganya. Sehingga menjadi wajar disetiap pemilu periode reformasi, kelompok ini selalu kalah, baik di pemilu 1999, 2004, dan terakhir 2009.
Identifikasi kelompok
Pada paragrap sebelumnya, penulis banyak menyebut kata “kelompok”. Walau penguraian definisi secara teoritik bermaksud menjernihkan maksud dari penulis, tetapi penulis menilai dalam tulisan ini kita tidak perlu menelusuri uraian Charles Horton Cooley, dalam Social Organization ( 1909 ), Smith (1945) dan karangan ilmiah lainnya yang mengkaji kelompok secara teoritis. Untuk konteks reformasi Indonesia, secara sederhana peta kelompok ini terbelah menjadi dua bagian, pertama kelompok pendukung, kedua kelompok yang berseberangan.
Kelompok kedua lni lebih mudah di identifikasi, karena setiap yang bersinggungan dengan kekuasaan lama, hampir dapat dipastikan masuk dalam kategori kelompok kedua. Justru yang menjadi persoalan adalah, siapa sesungguhnya bagian dari kelompok pertama.
Walau sudah banyak ahli sosiologi yang tidak sepakat terhadap pemetaan social yang ditulis Clifford Gerts dalam the religion of Java, tetapi teori bantahan yang muncul belakangan bukan merupakan teori yang autentik, melaikan teori pengembangan dari yang sudah di urai oleh Gerts. Sebut saja wacana “santri kota” yang sempat muncul di awal tahun 2000 oleh sebagian intelektual muda Muhammadiyah, merupakan pengembangan dari teori Gerts mengenai santri. Jadi, dari beragam wacana yang muncul hampir tidak ditemukan sesuatu yang baru.
Untuk menggarisbawahi pemetaan kelompok reformasi dalam tulisan ini, maka tidak ada salahnya teori Gerts kita jadilan sebagai landasan untuk memotret ragam kelompok yang ada, yaitu ; Santri, Abangan, dan Priyayi.
Dalam proses reformasi Indonesia, rekaman utama terhadap gerakan ini tertuju pada Mahasiswa yang memainkan peranan sentral dilapangan. Tetapi, gerakan mahasiswa ini tidak berdiri sendiri, dalam artian ada kelompok lain yang memberikan dorongan untuk terus bergerak. Kelompok ini dimainkan oleh intelektual bebas yang kritis, baik yang berasal dari kampus atau organisasi kemasyarakatan. Beberapa Tokoh yang tercatat sering berkumpul di markas para tokoh reformasi damai di Jalan Indramayu 14 Jakarta Pusat adalah M. Amin Rais, M. Malik Fajar, Nurcholish Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Danandjaya, Syafii Ma'arif, Djohan Effendi, dan H Amidhan. (Wikipedia.org)
Disamping tokoh kritis tesebut, peranan kelompok lingkaran istana yang “tercerahkan” juga memberikan sumbangsih yang besar terhadap proses reformasi, sebut saja Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga dan Tanri Abeng. Mereka adalah para Menteri Soeharto yang menyarankan agar Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden.
Dari rentetan tokoh yang disebutkan diatas, jika kita kembali kepada teori Gert, maka kelompok santri memainkan peran yang signifikan dalam gerakan reformasi. Dari kelompok Muhammadiyah ; M. Amin Rais, AM. Hendropriyono, M. Malik Fajar, M. Syafi’i Ma’arif, Emha Ainun Najib. Kelompok HMI ; Nurcholis Madjid, Akbar Tanjung, Djohan Efendi, Kelompok NU ; Amidhan, PII ; Utomo Danandjaya, dan ICMI ; Ginandjar Kartasasmita.
Jika dipetakan lebih lanjut, ternyata kelompok “santri modernis”, Muhammadiyah, HMI, ICMI, memiliki peran lebih dalam bergulirnya reformasi. Sehingga tidaklah heran jika M. Amin Rais, selaku Ketua PP. Muhammadiyah pada saat itu, banyak disebut sebagai lokomotif reformasi.
Fraksi Muslim Kota
Santri modernis adalah kelompok santri yang lebih mengedepankan pendekatan ilmu dan pengetahuan dalam mengurai persoalan kehidupan. Setidaknya, itulah yang membedakannya dengan kelompok santri tradisionalis. Dari segi basis kemasyarakatan, secara umum santri modernis lebih bergerak di jantung-jantung perkotaan dan menguasai berbagai posisi-posisi birokrasi di pemerintahan. Dari analisis itulah, penulis menyebut gerakan politik kalangan santri modernis ini sebagai “Fraksi Muslim Kota”.
Fraksi muslim kota ini tidak berhenti pada satu partai politik, tetapi menjalar keberbagai partai politik yang ada. Apakah yang berbasis Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), berbasis masa Islam seperti Partai Amanat Nasional (PAN), atau berbasis Nasionalis seperti Demokrat, Golkar, dan PDI-P.
Gerakan politiknya pun tidak melulu berbasis partai, terkadang kelompok Ormas Islam seperti Muhammadiyah sering myuarakan seruan-seruan politik yang produktif bagi alam demokrasi Indonesia.
Walau memainkan peran pilitik kebangsaan yang dominan, fraksi muslim kota sering tak sejalan antar sesama. Konsolidasi yang merupakan modal utama dalam setiap pergantian kepemimpinan, selalu menjadi kendala. Tengok saja di tahun 1999, ketika laporan pertangung jawaban Presiden BJ. Habibi ditolak oleh MPR, maka hampir seluruh fraksi di MPR menginginkan Amin Rais menjadi Presiden, tetapi karena proses konsolidasi yang lemah, Amin Rais justru menyerahkan kepemimpinan nasional kepada Gusdur.
Ditahun 2004, fraksi ini mengalami persoalan yang sama. Amin Rais yang maju untuk pertama kalinya sebagai calon presiden, tidak mendapat dukungan penuh dari kelompok ini, baik Partai atau Ormas.
Sehingga, untuk masuk putaran kedua pun, suara Amin Rais tidak mencukupi. Pemilu 2009 lebih tragis, kelompok Muslim Kota, walau jelas-jelas ada Jusuf Kalla sebagai alumni HMI, tetapi gagal mengkonsolidasikan kekuatan kelompoknya.
Kegagalan demi kegagalan kelompok ini, semestinya dijadikan pelajaran untuk menuju 2014. Jika dilihat dari ukuran sumber daya manusia, kelompok ini memiliki nama-nama besar. Dari partai politik, Sebut saja ; Hatta Rajasa (PAN/ICMI), Anas Urbaningrum (Demokrat/HMI), Hidayat Nur Wahid (PKS/Muhammadiyah) Hajriyanto Tohari (Golkar/Muhammadiyah), Priyo Budi Santoso (Golkar/ICMI) merupakan tokoh penting Republik ini. Di luar partai politik masih terdapat sejumlah nama, Din Syamsudin (Muhammadiyah), JImly As-siddiqi (ICMI), Irman Gusman (ICMI), semuanya memiliki peran kebangsaan yang tidak sederhana.
Seandainya semua kekuatan tersebut terkonsolidasi dengan baik, tentu akan menjadi energy yang luar biasa untuk meneruskan cita-cita reformasi. 2014 adalah tahun Fraksi Muslim Kota untuk tampil menjadi Pemimpin nasional Indonesia, tentu dengan catatan yang sama, harus mampu mengkonsolidasikan kekuatannya dari dalam. Jika tidak, kembali kekuatan ini hanya menjadi para pembantu yang hanya bekerja di pinggiran panggung Indonesia. Wallahu ‘alam
* Penulis adalah Ketua Umum DPP PARRA Indonesia/Mantan Ketua Umum PP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah