Rabu 09 May 2012 12:28 WIB

Dilema Nikah Siri (1): Ketiga Dimensi dalam Ikatan Pernikahan

Ijab kabul dalam pernikahan (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Ijab kabul dalam pernikahan (ilustrasi).

Pernikahan adalah sebuah ikatan perjanjian (komitmen) antara laki-laki dan perempuan untuk menjalani hidup berumah tangga dalam mencapai tujuan bersama, yaitu bahagia di dunia dan akhirat. Lembaga perkawinan ini sudah menjadi peradaban bagi umat manusia, sebagai makhluk sosial yang tidak bisa menjalani kehidupannya tanpa bantuan orang lain (zoon politicon). 

Untuk memenuhi kebutuhannya, baik fisik maupun biologis, manusia harus hidup bersama-sama dengan orang lain. Tanpa adanya kebersamaan dengan orang lain, maka akan terjadi kesulitan dalam kehidupannya. 

Seiring dengan dinamika perjalanan manusia, tatacara perkawinan juga mengalami perkembangan sesuai dengan lingkungan yang mengikatinya. Dalam konteks ke-Indonesiaan, institusi perkawinan ini tidak dapat dilihat dengan satu atau dua perspektif saja, karena masyarakat Indonesia hidup dengan berbagai dimensi.

Mereka adalah umat beragama yang mempunyai aqidah (keyakinan), sebagai Warga Negara Indonesia, juga menjadi anggota masyarakat yang berbudaya. Maka, sebuah ikatan pernikahan yang dijalani oleh orang Indonesia juga harus sesuai dengan ajaran-ajaran teologis (agama), dimensi sosiologis (adat), maupun yuridis formal (hukum positif). 

Ketiga dimensi dalam ikatan pernikahan tersebut, merupakan standar pelaksanaan pernikahan yang terjadi di Indonesia. Misalnya seseorang yang menginginkan nikah, dia harus memenuhi syarat dan rukun agama (kedua mempelai, wali perempuan, 2 orang saksi, akad dan mahar), dirayakan sesuai dengan tradisi di lingkungannya, juga harus dicatatkan pada pelaksana pencatat nikah kantor urusan Agama (PPN KUA). 

Dengan dipenuhinya ketiga hal tersebut, seseorang baru dinyatakan sah menurut agama dan hukum yang berlaku di Indonesia, juga telah menyosialisasikan pernikahannya kepada orang lain. 

Tetapi, kadang kala ketiga dimensi pernikahan tersebut tidak dipahami oleh masing-masing pasangan perkawinan. Akibatnya, perkawinan (pernikahan) dijalani sesuai dengan keinginan masing-masing, tanpa mengindahkan norma agama, adat maupun hukum positif. 

Akibatnya, suatu tempo terjadi ketidak cocokan antara kedua belah pihak, jaminan hak dan kewajiban antara pasangan suami istri tidak bisa diproteksi (dijaga). Akhirnya, suatu pernikahan yang pada awalnya bertujuan untuk menciptakan perdamaian, ketenteraman, serta ketenangan hidup (sakinah mawaddah wa rahmah), malah menyebabkan permusuhan dan konflik yang berkepanjangan antar anggota masyarakat.

Memang masyarakat Indonesia, dilihat dari struktur sosialnya, mayoritas merupakan penganut  kultur patriarchi. Yakni, sebuah sistem sosial di mana klan laki-laki lebih dominan dibanding dengan klan perempuan. Laki-laki mengambil peran-peran publik, sedangkan perempuan diposisikan sebagai pelaku dalam bidang-bidang domestik (dapur, kasur, sumur ). Laki-laki lebih berperan sebagai pemimpin sebuah keluarga, dan wanita sekadar pendamping hidup. 

Civil effect dari budaya ini memposisikan kaum Hawa/perempuan sebagai pihak makhluk kelas dua di bawah superior laki-laki/kaum Adam. Perempuan hanya sebagai obyek dari kepentingan laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang tidak jarang mendapatkan perlakuan tidak adil atau bahkan semena-mena oleh perlakuan kaum Adam. 

Maka dari itu, tinjauan sosiologis akibat perkawinan yang di lakukan di bawah tangan (siri) merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan. Hal ini dalam rangka memberikan pemahaman dan rasionalisasi kepada masyarakat tentang status gender, serta untuk meminimalisir kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). 

Dengan adanya pemahaman bersama tentang hak dan kewajiban, antara laki-laki dengan perempuan dalam menjalani kehidupan bersama, akan menciptakan sebuah budaya baru (new cultur) yang memposisikan kaum Adam dan Hawa sebagai partner. Sehingga, masing-masing dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan kodrat Tuhannya. Tentunya, tanpa ada sikap saling merendahkan dan menomorduakan pihak lain, yang berakibat pada runtuhnya ikatan perkawinan serta rusaknya struktur budaya yang bernilai luhur.

Asmawi Mahfudz

Pengajar Hukum Islam di STAIN Tulungagung

Pascasarjana STAIN Tulungagung

Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung

Pengasuh Ponspes al-Kamal Kunir Blitar

PP al-Kamal Kunir, Wonodadi, Blitar

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement