Tragedi jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak, Bogor, masih bernuansa kelabu. Beragam spekulasi mencuat. Ada pihak yang mengatakan bahwa pesawat yang merupakan keluaran Rusia itu tidak lulus uji, kelalaian pilot, gangguan sinyal oleh HP, terhalang awan, dan sebagainya yang menyebabkan ia menabrak tebing dan terjatuh.
Marzuki Alie, Ketua DPR RI, dalam wawancaranya dengan RRI (12/5), menyarankan kepada semua pihak untuk tidak mengeluarkan spekulasi bermacam-macam terkait kasus ini. Namun, masyarakat tetap saja penasaran. Sebab dari kecelakaan pesawat yang memakan puluhan korban jiwa itu hanya bisa ditebak, lantaran belum ada pernyataan resmi dari pihak berwajib.
Terdapat satu hal menarik yang juga muncul sebagai spekulasi dalam hal ini. Dikatakan, bahwa salah satu penyebab jatuhnya pesawat itu lantaran murahnya harga pesawat. Pesawat ini memiliki harga separuh dari pesawat Boeing yang biasa beroperasi di Indonesia. Harga Sukhoi Superjet 100, menurut beberapa media, berkisar 30 juta dolar per unitnya. Harga murah tersebut berkaitan dengan kualitas pesawat.
Lumrah beredar di masyarakat, pandangan bahwa segala sesuatu yang mahal membawa kualitas yang baik, begitu pun sebaliknya. Mulai dari barang kebutuhan harian, fashion, jasa, dll, masyarakat masih meyakini harga mahal menjadi tolak ukur kualitasnya.
Tak ayal, dua sektor besar negeri ini pun turut mengekor pandangan tersebut. Pertama, pendidikan. Siapa tidak tahu istilah SBI dalam dunia pendidikan. Standar kualitas yang sering digemborkan sekolah bertaraf internasional dinyatakan lebih tinggi daripada sekolah tanpa status SBI. Padahal, kenampakan yang lebih dominan dari perbedaan itu lebih kepada tingkat harganya.
Sekolah bertaraf internasional menuntut "bayaran" yang tinggi pada siswanya. Untuk itulah, tak heran bahwa pengelompokan pendidikan semacam ini, menyebabkan kesenjangan pemerolehan pendidikan berkualitas yang merata bagi masyarakat.
Kedua, perpolitikan dalam negeri. "Cost" yang harus dibayar oleh seseorang yang maju menjadi peserta pemilihan, baik di tingkat daerah hingga nasional (pusat), tidak tanggung-tanggung. Angka 3,5 triliun rupiah menyambangi pemilu DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serta presiden tahun 2004. Pada tahun 2009, melonjak drastis menjadi kisaran 47,9 triliun rupiah, gabungan dari dana APBN dan APBD.
Perpolitikan dalam negeri masih beraroma high cost dalam praktiknya. Menurut Pangi Syarwi (2012), ongkos politik yang membengkak disebabkan karena beberapa hal. Pertama, ongkos sewa parpol yang melonjak. Parpol mematok harga tinggi dalam memberikan tumpangan bagi calon yang akan maju ke pemilu. Kedua, biaya iklan, logistik, dan honor kelompok panitia kerja pemilu yang tinggi. Tidak dapat dinafikan, bahwa maju ke medan perpolitikan negeri ini membutuhkan perangkat-perangkat tersebut. Tanpanya, kandidat ibarat berperang dengan tangan kosong.
Tak heran jika prinsip "rego nggawa rupa", dalam bahasa Jawa, yang artinya harga menentukan kualitas terus hinggap dalam benak masyarakat. Terkadang, pemerintah sendirilah yang berperan melanggengkan prinsip tersebut. Ketidakpercayaan terhadap karya anak bangsa yang cenderung low cost menjadi salah satu indikasinya.
Sudah saatnya persepsi itu dirubah. Salah satu caranya, yakni dengan memberikan pembuktian berupa prestasi, karya dan inovasi bangsa. Apresiasi terhadapnya juga merupakan bagian dari menumbuhkembangkan kebanggaan negeri terhadap karya yang dihasilkan.
Harga memang salah satu indikator. Tapi ia bukan semata penentu kualitas setiap hal yang ada di sekitar kita. Saatnya berpusat bukan pada seberapa harga yang kita keluarkan. Pengarus utamaan pendidikan dan politik, semestinya pada pelayanan terbaik untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan mesyarakat. Lalu, bisakah dunia pendidikan maupun perpolitikan negeri menghilangkan prinsip "rego nggawa rupa"?
Sofistika Carevy Ediwindra
Aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)