Selasa 29 May 2012 17:25 WIB

Sekali Lagi Tentang Lady Gaga

Sejumlah pengunjukrasa dari Forum Umat Islam (FUI) dan Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi menolak konser Lady Gaga di depan kantor MenkoPolhukam, Jakarta, Jumat (25/5). (Prayogi/Republika)
Sejumlah pengunjukrasa dari Forum Umat Islam (FUI) dan Front Pembela Islam (FPI) melakukan aksi menolak konser Lady Gaga di depan kantor MenkoPolhukam, Jakarta, Jumat (25/5). (Prayogi/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Prof Dr Hj Masyitoh, MAg

Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)

Lady Gaga; Kontroversi Bermula

Stefani Joanne Angelina Germanotta atau yang dikenal dengan nama panggung Lady Gaga adalah sesosok individu yang tidak terkait dengan persoalan moral sebagaimana individu lainnya.

Identitas pribadi selamanya tidak pernah bisa dibenturkan dengan persoalan kebenaran moral atau etika. Lady Gaga bukanlah cerminan nilai baik atau buruk. Inilah perspektif yang dapat kita lihat dari sosok Lady Gaga sebagai individu. Individu hanya menjadi pelaku bagi kebaikan dan keburukan, bukan kebaikan atau keburukan itu sendiri.

Sebagai figur, Lady Gaga adalah seorang penyanyi pop asal Kota New York, Amerika, yang tidak hanya bernyanyi lalu selesai tetapi berkampanye dan mempengaruhi banyak orang tentang nilai-nilai. Tak heran jika Majalah Time menabalkannya sebagai 100 selebriti paling berkuasa dan berpengaruh di dunia. Ia menjadi figur, selebriti dan idola bagi banyak penggemarnya. Di sinilah, Lady Gaga bisa dilihat sebagai nilai. Ia, tak ubahnya teks yang terbuka untuk ditafsir.

Di Indonesia dan beberapa negara lain, Lady Gaga adalah kontroversi. kontroversi yang melekat pada diri Lady Gaga bukan tanpa alasan. Beberapa titik fokus yang menjadi kontroversi mulai dari gaun yang terlalu terbuka yang dikenakan, lirik lagu yang merendahkan religiositas, sensualitas dan erotisme aksi panggung atau dalam video album, menyuarakan pandangannya mengeni biseksual hingga simbol-simbol illuminati yang sering muncul dalam album maupun pertunjukan Lady Gaga.

Adanya simbol-simbol tersebut menyiratkan pertanyaan apakah Lady Gaga seorang pemuja setan? Apapun itu, simbol-simbol itu dihadirkan bukan tanpa kesengajaan. Lady Gaga tidak hanya sedang bernyanyi tetapi menebar nilai-nilainya secara publik, terbuka dan terang-terangan.

Kontroversi itu lahir bukan saja karena persoalan pada Lady Gaga. Namun, banyak yang berkepentingan yang sejalan dengan Lady Gaga dengan mengatasnamakan seni dan kebebasan. Keduanya lalu digabungkan dengan konsep kebenaran relatif bahwa tidak ada kebenaran absolut di muka bumi ini. Lady Gaga adalah fragmen kebenaran yang lain. Kebenaran seni.

Pandangan dan Kelemahan Kaum Relativis

Setidaknya itulah yang dianut oleh kalangan yang percaya terhadap relativisme. Seorang professor sosiologi bernama Gregory Baum (1999) menemukan pandangan kaum relativis bahwa agama, juga, berada di bawah bayang-bayang relativisme. Baum memulai teorinya dari pemikiran seorang Sosiolog Sistemik Karl Manheim yang melihat peran penting lingkungan dalam membentuk cara berpikir setiap orang. Karenanya, keragaman tidak bisa dihindari.

Relativisme atau dalam pengertian Mohammad A. Shomali (2005) subyektivitas kolektif memiliki makna yang sedikit sama dengan subyektivitas yang ada pada individu. Pandangan tersebut menekankan adanya kebenaran (yang berbeda-beda) pada setiap individu, kelompok, agama dan keyakinan. Absolutisme atau kebenaran normatif, dalam bahasa Baum, adalah sesuatu yang harus ditolak. Tidak ada kebenaran manusia yang sama persis dengan kebenaran yang dimaksudkan Tuhan. Pandangan ini tidak saja meminta sikap toleran tetapi kebebasan dalam pengertian yang luas.

Oleh karena itu, dalam konteks konser Lady Gaga yang rencananya akan digelar pada 3 Juni mendatang ini mendapat dukungannya dari para relativitis dan liberalis, selain dari para hedonis yang berpikiran dangkal. Mereka menilai bahwa pencekalan terhadap konser merupakan upaya kediktatoran tafsir tunggal atas kebenaran dan menghambat ekspresi seni.

Pandangan tersebut menurut kedua pemikir di atas memiliki kelemahan yang cukup fundamental. Bagi Baum bahwa kebenaran agama yang seringkali disangkutpautkan dengan relativisme berada pada wilayah normatif-transendental yang sulit sekali didialogkan. Satu-satunya jalan memahami kebenaran ini adalah melalui apa yang telah disampaikan Tuhan pada setiap zaman. Kita mengenalnya dengan sebutan Firman Tuhan.

Somali melihat kecenderungan akan terbukanya nihilisme dan anarki jika relativitas nilai-nilai dipahami secara begitu saja dalam wilayah yang sensitif yakni agama. Relativisme bisa dilihat dalam konteks budaya dan kehidupan sosial. Soal kebenaran absolut, Somali, mempercayai akan keberadaannya karena aspek kemanusiaan yang universal, bukan fragmentasi sosio-kultural. Relativisme hanya akan membawa kepada perilaku tanpa kontrol dan inilah yang memungkinkan terjadinya kondisi tanpa nilai (nihil) dan anarki karena setiap orang merasa kebenarannya masing-masing.

Di luar diskusi ini, kehadiran Lady Gaga merupakan pertunjukkan bisnis hiburan yang dihadapkan dengan nilai-nilai agama. Sebagian orang menganggap jika bisnis hiburan dan agama tidak saling terkait; pandangan sesat inilah yang berkembang saat ini. Lagipula, kehadiran Lady Gaga sama sekali tidak membawa manfaat bagi bangsa ini. Aneh rasanya jika segelintir orang bersikeras mendatangkannya.

Bangsa ini tidak butuh Lady Gaga, bangsa ini butuh para ilmuwan, para pakar, para cendekiawan dan seterusnya darimanapun asalnya. Jika hiburan menjadi alasan, itu hanya hiburan yang bisa dinikmati sedikit orang dalam sedikit waktu. Bayangkan jika para ilmuwan yang terus didatangkan? Bangsa ini akan mengalami perubahan besar.

Tolak Konser Lady Gaga di Indonesia

Indonesia punya alasan kuat untuk menolak kedatangan Lady Gaga yang hendak mempertontonkan dan menunjukkan ketersesatannya. Penolakan ini tidak melulu karena alasan agama tapi sejauh ini agamalah yang paling berperan dalam mengamankan kultur dan tradisi negeri ini, bukan sebaliknya. Budaya Indonesia adalah budaya yang dilandasi agama-agama, kepercayaan-kepercayaan.

Kebebasan berekspresi kerap kali digunakan sebagai satu-satunya dalil bagi setiap pertunjukkan yang bertentangan dengan budaya bangsa ini. Padahal jika kita jeli, ekspresi itulah yang harus menyesuaikan dirinya dengan budaya setempat. Dimana langit dijunjung disitu bumi dipijak. Begitupun dengan Lady Gaga, jika tidak sesuai dengan budaya maka tidak bisa diterima dan bangsa ini tidak bisa dipaksakan untuk menerimanya.

Kebebasan berekspresi yang dibalut argumen relativisme tentu saja membuka ruang bagi masuknya nihilisme dan anarkisme di negeri ini. Jika konser Lady Gaga bersikeras digelar maka ini akan menyakiti budaya yang telah dibangun berabad-abad lalu. Tidak ada alasan lain, konser ini harus ditolak.

Dalam perspektif Islam, konser Lady Gaga tidak lebih dari hura-hura kemunkaran belaka. Lady Gaga tidak memperlihatkan toleransi dalam keberagaman dan perbedaan tetapi menginjak-injak nilai budaya dan agama yang ada. Oleh karena itu, Islam berkepentingan melarang atau menghentikan kemunkaran tersebut (nahi munkar).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement