Kamis 02 Aug 2012 15:10 WIB

Ramadhan dan Permasalahan Bangsa

Puasa Ramadhan/ilustrasi
Foto: timeanddate.com
Puasa Ramadhan/ilustrasi

Ramadhan adalah sebuah upaya ritual dalam rangka meningkatkan posisi kedekatan (taqarub) kepada Allah, Ilahi Rabbi. Semakin serius seseorang mengisi ramadhan dengan kegiatan ibadah, maka akan semakin dekat kepada Allah. Di mana akhirnya, semua akan dijalani dengan prinsip pengendalian diri dalam menjalani kehidupan ini.

Momen Ramadhan tahun ini, alangkah baiknya masyarakat Indonesia meningkatkan kualitas kedekatan kepada Allah. Hal ini dilakukan sebagai upaya keluar dari berbagai permasalahan bangsa yang bertubi-tubi. Mulai masalah korupsi, penegakan hukum, hak asasi manusia serta seabrek permasalahan sosial lainnya.

Jangan sampai kita yang sejak abad ke-7 H sudah mengenal Islam, justru belum mampu mengekspresikan dan mengapresiasikan makna ajaran agamanya masing-masing. Atau malah, kita belum mampu mengendalikan diri sendiri.

Hal tersebut diindikasikan dengan belum terlaksanakannya Rukun Iman yang kedua, yakni Iman kepada malaikat. Dalam Rukun Iman yang kedua ini, sebenarnya kita sudah meyakini bahwa semua amal baik dan amal buruk kita akan dicatat oleh dua malaikat; Raqib (pencatat amal baik) dan Atid (pencatat amal buruk).

Kalau rasa keimanan ini kita implementasikan dalam realitas kehidupan, sebenarnya terkandung makna pengawasan melekat dalam diri kita. Baik itu yang selalu mengendalikan, melihat, memerhatikan, semua gerak langkah kita sehari-hari, sampai terlepasnya energi kehidupan dari jasad kita.

Manusia shalat, zakat, shadaqah, tahajud, berpuasa, haji, sampai kepada mencuri, berzina, mencari rezeki, tidur hanya sekadar buang nafas, semua terawasi dalam pengawasan melekat Allah yang ada dalam diri kita. Ini didukung oleh Firman Allah di dalam Alquran, “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaaf: 16). 

Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud ayat tersebut adalah para malaikat, yakni bahwa para malaikat Allah lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya. Jelasnya, yang dikehendaki Allah dari makna ayat tadi adalah para malaikat, bukan Dia (Mukhtashar Ibn Katsir, III, hal. 373).

Pendapat tersebut didasarkan kepada firman Allah berikutnya, “yaitu, ketika dua malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri." (‘idz yatalaqa al-mutalaqiyaani ‘anil yamini wa ‘anis-syimali qa’idun Qaaf: 17).

Pengawasan sesuatu sangat penting, dalam konteks bangsa Indonesia dengan maraknya berbagai kasus kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Penggelapan, "penyunatan", kebocoran, korupsi, ijazah palsu dan lain sebagainya.

Ada sebuah ide menarik, bahwa hal-hal semacam itu terjadi dikarenakan kurangnya sistem kita dalam menerapkan sisi-sisi pengawasan. Baik pengawasan yang sifatnya eksterternal maupun internal.

Untuk itu, pengawasan yang diterapkan oleh sistem kita ternyata belum dapat maksimal. Entah itu pengawasan internal seperti lembaga inspektorat, atau eksternal dari BPK, BPKP, dan lain sebagainya.

Sudah saatnya melirik kepada sistem pengawasan yang diajarkan oleh ajaran agama kita, yaitu pengawasan internal, melekat, sesuai dengan keyakinan kita masing-masing. Seandainya sekarang dalam birokrasi di Indonesia banyak sekali badan pengawas, ini menunjukkan bahwa sebenarnya umat Muslim di Indonesia belum maksimal dalam menjalankan ajaran Agamanya.

Hal tersebut akan membutuhkan banyak sekali institusi untuk mengawasi birokrasi-birokrasi yang ada. Mulai dari BPK/BPKP, KPK, Komisi Yudisial mengawasi hakim agung, Irjen di setiap lembaga, ini ditambah lagi tumbuh suburnya LSM-LSM sebagai lembaga balancing pemberdayaan masyarakat. 

Setiap manusia dikawal oleh dua malaikat yang bertanggung jawab mencatat perbuatannya yang baik maupun buruk. Satu di sebelah kanan mencatat kebaikannya, satunya lagi di sebelah kiri mencatat keburukannya.

Sebenarnya Allah tidak butuh catatan dua malaikat, sebab Dia lebih mengetahui daripada keduanya. Tujuan pencatatan adalah, tersedianya buku catatan pada saat dibutuhkan, yaitu ketika penghitungan amal di hari kiamat.

Sebagaimana di dunia, kalau tidak ada bukti suatu kejahatan sulit diperkarakan. Jika manusia meninggqal dunia, buku catatan amalnya ditutup dan pada hari kiamat buku itu akan berbicara. “Bacalah buku catatan amalmu. Cukup dirimu sajalah hari ini sebagai penghisap bagimu."

Apabila seseorang mengetahui tujuan pencatatan amal disertai dengan kesadaran penuh, maka bertambahlah rasa cintanya kepada perbuatan baik dan menghentikan perbuatan yang buruk. Jika kesadaran seperti itu telah terbentuk, maka tugas pengawasan yang dilakukan terutama oleh instansi yang berwenang menjadi sangat ringan, bahkan tidak diperlukan lagi.

Upaya tersebut merupakan salah satu usaha, agar setiap orang mengendalikan diri dari perbuatan yang merugikan negara. Sekaligus menghindarkan keinginan mengambil keuntungan yang bukan haknya. Upaya ini sangat mulia dan diperlukan. Sebab, pasang surutnya Iman kadang-kadang dapat membuat orang melupakan jati dirinya, sebagai hamba yang selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Wa Allahu A’lam!

Asmawi Mahfudz

Pengasuh PP al-Kamal Kunir Blitar dan Pengajar di STAIN T agung

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement