REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Endang Zakaria
(Dosen Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Jakarta)
Di negara kita banyak orang mengucapkan Minal ‘Aidin wal Faizin saat Idul Fitri. Kata-kata tersebut merupakan asa dan doa yang senantiasa terucap saat kita berjabat tangan saat Idul Fitri. Dalam Alquran tidak ditemukan makna kata ‘Aidin. Namun dari aspek etimologi, Minal ‘Aidin dapat diartikan “Semoga kita termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah”, yang merupakan “asal kejadian” manusia.
Lain lagi kebiasaan di negara-negara Islam di Timur Tengah, mereka cukup mengucapkan Eid Mubarak sebagai bentuk tasyakur atas kemenangan umat Islam yang berhasil melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan.
Idul Fitri juga bermakna hari bersuka cita, maka pada hari besar itu kita harus terbebas dari kesusahan, kesedihan, dan jangan ada lagi orang yang meminta-minta. Saat itu, umat muslim yang mampu untuk membayar zakat fitrah kepada fakir miskin hendaklah mengeluarkannya sebagai bentuk kepedulian dalam berbagi kebahagiaan kepada orang yang tidak mampu agar bisa merasakan suka cita pada hari tersebut.
Pada saat Idul Fitri umat Islam bersalam-salaman dan saling memaafkan atas segala dosa dan kekhilafan. Yang muda meminta maaf kepada yang tua, anak meminta maaf kepada orang tua, adik meminta maaf kepada kakaknya, bawahan meminta maaf kepada atasannya, dan seterusnya.
Bagi yang belum saling mema’afkan atas segala kesalahan dan dosa, maka Allah Swt belum akan menerima ibadah mereka selama Ramadhan. Kita tentu masih ingat bagaimana dalam satu riwayat dijelaskan suatu ketika Rasulullah Saw bersama para sahabat selesai melaksanakan shalat ‘Idul Fitri, beliau mengucapkan kata Amin berulang-ulang hingga tiga kali, “Amin, Amin, Amin ya Allah”.
Mendengarkan ucapan tersebut, para sahabat bertanya-tanya karena mereka tidak melihat ada orang lain di sekitar mereka selain hanya Rasulullah. Lalu para sahabat memberanikan diri bertanya: “Wahai Rasulullah, baru saja kami mendengar¬kan engkau mengucapkan kata Amin sebanyak tiga kali, ada apa gerangan wahai Rasulullah?”
Mendengar pertanyaan itu, Rasulullah Saw menjawab: ”Wahai sahabatku, baru saja Malaikat Jibril datang menghampiriku dan meminta kepadaku untuk mengamini do’a yang dipanjatkan kepada Allah Swt pada kesempatan Idul Fitri ini”.
Mendengar jawaban tersebut, para sahabat tambah penasaran untuk mengetahui doa malaikat Jibril. Rasul menjelaskan isi do’a Malaikat Jibril sebagai berikut: ”Ya Allah, pada kesempatan ‘Idul Fitri ini janganlah Engkau menerima amal ibadah dari anak yang durhaka kepada orang tuanya sebelum ia meminta ma’af kepadanya.
Lalu aku mengucapkan “Amin”. Kemudian Jibril melanjutkan doanya: “Ya Allah, janganlah Engkau menerima puasa dan amal kebajikan lainnya dari seorang suami - isteri yang belum saling memaafkan di kesempatan ‘Idul Fitri ini. Aku pun menjawab “Amin”. Lalu Malaikat Jibril pun melanjutkan do’anya: “Ya Allah, jangan pula Engkau menerima amal puasa dan ibadah seorang muslim yang belum saling me¬maafkan di hari ‘Idul Fitri ini. Dan aku pun menjawab “Amin”.
Apakah kita termasuk dalam kelompok orang yang ada dalam ketiga doa tersebut? Jangan sampai kita merasa sebagai orang yang sudah mencapai kemenangan Idul Fitri, namun sebenarnya belum memperolehnya karena kita belum saling memaafkan. Bagaimana kunci agar kita bisa berlapang dada dalam memaafkan kesalahan orang lain? Allah Swt memberikan jalan, yaitu dalam Alquran: “Hendakah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur : 22).
Hendaklah kita saling berlapang dada, mengulurkan tangan dan saling mema’afkan seraya mengucapkan Minal ‘Aidin wal Faizin. Semoga kita dapat kembali menemukan jati diri kita dan semoga kita semua memperoleh ampunan, ridho, dan kenikmatan dunia dan akhirat.
Jika ibadah puasa Ramadhan kita lakukan dengan benar dan ikhlas, maka pada akhirnya dapat merubah mental seseorang menjadi bertaqwa sesuai dengan tujuan puasa la’allakum tattaqun. Taqwa dapat diartikan sebagai rasa takut kepada Allah Swt sehingga terwujud dalam bentuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Perintah dan larangan Allah kemudian mengalami penyempitan arti karena hanya mengaitkannya dengan hal-hal yang bersifat ritual individu atau ibadah individu, seperti: Salat, puasa, dan haji. Larangan-Nya seperti: bermain judi, minum arak, dan makan babi atau anjing.
Dalam arti yang paling sempit, orang yang bertaqwa bahkan digambarkan sebagai orang yang hari-harinya banyak diisi dengan aktifitas shalat dan dzikir kepada-Nya dan menggunakan simbol keagamaan yang bersifat lahiriyah saja, seperti: memakai sorban, baju koko, kopiah, dan berkening hitam. Kita tidak mengatakan bahwa semua itu salah.
Namun menurut Alquran, seseorang belum bisa disebut taqwa kalau tidak memiliki jiwa sosial atau melaksanakan ibadah sosial yang dampaknya dapat dirasakan oleh sesama manusia, seperti: mengeluarkan zakat, bersedekah, membantu orang lain, dan aktifitas sosial lainnya.
Momentum Idul Fitri merupakan saat penting bagi kita untuk merenungkan kembali makna kemenangan, hidup sukses, damai, dan tenteram yang sebenarnya menurut ajaran Islam. Mudah-mudahan kita termasuk orang yang hidup bahagia di bawah hidayah dan petunjuk Allah SWT. Wallahu a’lamu bi as-Shawab.