REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Dr HM Din Syamsudin MA
Ada tiga orientasi keberagamaan: Pertama, Keberagamaan yang dinamis, ayat yang berhubungan dengan ibadah (termasuk ayat tentang puasa), selalu berbentuk dalam kata kerja, seperti: la’allakum tattaqun, illa liya’ budun, dll. Semua itu selalu berada dalam suatu proses yang tiada henti untuk beribadah.
Keunggulan dinamis ini menjadi lebih penting tidak hanya keunggulan komparatif (comparative advantage) atau keunggulan kompetitif (competitive advantage), namun sekarang masyarakat mengenal manajemen internasional sebagai keunggulan dinamis (dynamic advantage). Keberagamaan itu merupakan suatu gerak, oleh karenanya keberagamaan kita harus bergerak.
Sebuah gerakan haruslah memiliki dua dimensi utama, yaitu dinamika sistematika, sebuah proses yang dinamis dan sistematis untuk mencapai tujuan. Dinamika keberagamaan ini harus membawa kita pada orientasi kemajuan dan keunggulan. Perlu dipahami bahwa ibadah bukanlah tujuan dalam hidup kita, jika ibadah menjadi tujuan, maka selesai kita shalat, maka selesai juga segala urusan. Selesai Ramadhan, maka betul-betul “Lebaran” alias bubaran. Ibadah yang kita lakukan haruslah berproses, dan akhir dari ibadah itu sebenarnya merupakan suatu awal. Saat kita Salam ketika shalat, itu adalah awal. Akhir puasa atau Lebaran juga awal bagi kita untuk merealisasikan makna-makna ibadah itu di luar masa ibadah.
Kedua, Keberagamaan yang bersifat efektif (sebagaimana telah diajarkan dalam ibadah puasa Ramadhan), yang berdampak kepada perilaku dan kepribadian, bukan hanya sebagai sebuah ritual rutin. Oleh karenanya spiritualitas yang diharapkan terlahir dari ibadah kita adalah spiritualitas dinamis, bukan spiritualitas pasif atau statis, apalagi yang berorientasi individual (ke-aku-an). Ibadah-ibadah yang kita lakukan memang berorientasi kepada Tuhan, tapi juga harus ada orientasi ke dalam (kepada diri manusia) untuk mengembangkan kepribadian.
Dalam beribadah memang tujuan kita lillahi ta’ala (hanya untuk Allah), tapi bukan berarti kita beribadah hanya demi Tuhan untuk Tuhan, tapi juga dalam niat lillahi ta’ala, terkandung makna di dalamnya li an-nâs (untuk manusia). Bukan hanya lil mu’minin (untuk orang mukmin) atau lil muslimin (untuk orang muslim) saja, tapi untuk seluruh manusia, sebagai reduksi dari kata lil ‘alamin (untuk seluruh alam semesta). Maka, keberagamaan yang efektif adalah yang membawa dampak kepada kepribadian. Indikator ketaqwaan seseorang sangat jelas yaitu terletak paka perilaku yang antara lain cenderung untuk berbagi kepada sesama manusia dalam keadaan lapang maupun sempit.
Oleh karena itu, Islam mendorong peribadatan bukan hanya sekedar mencari ridho Allah semata. Hal tersebut dapat kita lihat dalam konsep penyelamatan. Dalam Islam penyelamatan merupakan keselamatan kolektif bukan hanya keselamatan individual, bahkan alam semesta juga harus dibangun kembali, di-restorasi, dan di-renovasi. Hal ini merupakan sebuah gerakan peradaban yang sangat besar.
Bila kita mengukur ketaqwaan dari sudut kejiwaan, jika kita menganalogkan pemikiran Imam Al-Ghazali dalam tahapan-tahapan dari jiwa; diawali dengan an-nafs al ammarah bi as-syu’, an-nafs al-lawwamah, dan yang tertinggi an-nafs al-muthmainnah. Jika kita lihat secara gradual, maka an-nafs al ammarah bi as-syu’ merupakan kecenderungan an-nafs, jiwa yang mendua atau berdimensi ganda (ambivalen).
Jiwa seperti ini kadang cenderung kepada kebaikan, tapi masih ada juga kecenderungan kepada kejelekan. Hal ini kemudian menjadi problema ambivalensi diri yang harus kita atasi dengan tarqiyatu an-nafs. Kemudian naik kepada tingkatan kedua an-nafs al-lawwamah, di mana dalam tingkatan ini seseorang yang berbuat kesalahan dan dosa masih ada rasa penyesalan dan kesadaran diri untuk segera kembali kepada kebaikan.
Dalam Alquran dijelaskan: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”. (Q.S. Ali Imran : 135).
Kemudian masuk kepada tingkatan yang tertinggi yaitu an-nafs al-muthmainnah yaitu jiwa yang penuh ketenangan dan kedamaian. Kita semua dapat menuju ke arah sana dengan sebuah keberagamaan yang dinamis, efektif dan fungsional. An-Nafs bukan hanya bermakna jiwa, tapi juga diri (self). Diri merupakan manifestasi ketika jasad dan ruh bertemu, jadi jasad yg berkembang dalam kandungan ibu kemudian ditiupkan ruh. Dalam ruh juga terdapat dimensi ilahi (divine dimension) dalam kekuatan-kekuatan yang diberikan kepada kita. Jadi dalam diri kita terdapat potensi-potensi insani yang berdimensi ilahi.
Ramadhan memang berdimensi penyucian jiwa (tazkiyatu an-nafs atau self refinement), tapi Ramadhan juga bermakna peningkatan jiwa (tarqiyatu an-nafs atau self empowerment). Maka Idul Fithri merupakan hari raya kesucian sekaligus hari raya kekuatan. Untuk itu perlu disempurnakan dengan saling silaturahim dan saling memohon maaf antar sesama manusia. Silaturahim yang dinamis adalah bagaimana kita menjalin kerjasama, menjalin silatu al-fikri dan silatu al-fi’li.
Ketiga, Keberagamaan yang fungsional, yaitu keberagamaan yang berfungsi bagi kehidupan, kebudayaan, dan peradaban. Hal itu dapat terjadi ketika kita dapat meraih prestasi dan keunggulan. Jadi keberagamaan fungsional memiliki proses yang dinamis, efektif, dan juga membawa dampak yang lebih luas, memiliki fungsi-fungsi sosial, kebudayaan, dan peradaban.
Itulah yang dapat dilakukan oleh umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah). Dalam Al-Qur’an, kata shirat al-mustaqim (jalan istiqamah) dapat diartikan sebagai jalan lurus, namun juga dapat bermakna jalan tengah. Maka orang beragama perlu keberagamaan yang pertengahan berdasarkan al-aqidah al-wasitiyyah (aqidah pertengahan).
Umat Islam disebut sebagai ummatan wasatho (umat pertengahan), selengkapnya dalam Alquran disebutkan: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian. (QS. Al-Baqarah: 143). Jadi kata shirat al-mustaqim dapat diartikan sebagai jalan lurus, jalan tengah, dan itulah jalan kemajuan yang mendaki.
Shirat al-mustaqim punya pengertian jalan tengah yang mendaki, bukan hanya linear datar saja. Sehingga apabila kita dapat dengan selamat dalam mendaki jalan lurus atau jalan tengah, maka kita akan mencapai keberhasilan. Jadi apa pun posisi kita, maka berbuatlah sesuai kemampuan kalian (i’malu ‘ala syakilatikum), karena hal itulah yang dianjurkan dalam Islam. Dengan tahun demi tahun kita merayakan ‘Idul Fithri, masing-masing kita hendaknya meningkatkan kapasitas diri (capacity building) yang kemudian akan dapat meningkatkan kerja dan kinerja.