Tawuran antar pelajar menelan korban lagi, seperti dialami Alawi Yusianto Putra siswa kelas 10 SMAN 6 pada Senin (24/9/2012). Siswa SMAN 6 tersebut diserang oleh sekelompok siswa yang berasal dari SMAN 70. Alawi yang saat itu berada di TKP harus menjadi korban penusukan tepat di bagian dada. Luka tersebut membuat Alawi menghembuskan nafas terakhir.
Tentu kasus ini bukan kali pertama dalam wajah pendidikan Indonesia. Sebelumnya, Ahmad Yani siswa kelas 1 SMK 39 Cempaka Putih Jakarta Pusat juga menjadi korban tewas tawuran, kemudian ada Jasuli kelas 9 SMPN 6 dan Deddy Triyuda siswa SMK Baskara Depok. Selain sesama pelajar, tidak jarang tawuran tersebut harus merenggut nyawa orang sekitar, misalkan Rahiman seorang tukang pangkas rambut keliling.
Jika dikronologikan, korban tawuran antar pelajar berawal dari bulan Agustus, yakni Jeremy Hasibuan (SMA Kartika), kemudian bulan september ada Jasuli (SMPN 6 Jakarta), Dedi Triyuda (SMK Baskara), Ahmad Yani (SMK 39 Cempaka Putih), Alawi Yustianto Putra (SMUN 6 Jakarta). Jumlah korban tawuran tidak sedikit dan anehnya terjadi secara berturut-turut.
Sekolah dan pencitraan
Rencana langkah yang akan diambil pejabat Kemendikbud untuk menurunkan status SMAN 70 menjadi non-RSBI, nampaknya tidak akan berpengaruh signifikan. Persoalan tawuran bukan wilayah sekolah formal saja. Melainkan juga wilayah otoritas pribadi pelaku sendiri.
Menurunkan status sekolah hanya akan menciptakan alur berpikir yang justru berbahaya untuk dunia pendidikan ke depan. Andai semua sekolah menjaga “citra” dan mempertahankan segala pencapaian administrasi demi sebuah “status” karena terdorong oleh rasa was-was, akan mendapatkan penalti berupa penurunan status. Maka, mereka dengan pasti akan menciptakan sistem baru yang memungkinkan terjadinya seleksi peserta didik secara membabibuta.
Sekolah dilahirkan untuk mendidik siswa, bukan sekadar mengembangkan potensi mereka saja. Mendidik siswa, berarti mengangkat siswa dari kubangan wawasan yang sempit menjadi luas dan terbuka. Sehingga pribadi-pribadi ini siap membawa bangsa menuju perubahan positif.
Muncul juga pendapat serupa untuk melakukan kerja sama antar tiap kepala sekolah, agar menolak menerima siswa yang dianggap “pelaku tawuran”. Di sini kejanggalan terjadi. Mengapa? Karena tidak ada kesepakatan pasti mengenai "siapa yang disebut pelaku tawuran". Siswa yang kebetulan berada di lokasi tawuran bisa jadi bukan pelaku. Sementara, siswa yang tidak berada di lokasi tapi bisa saja menjadi “otak” tawuran.
Solusi di antara dilema
Jika bicara mengenai seberapa efektifnya upaya persuasif dalam mencegah perbuatan asusila, nampaknya semua akan setuju bila dikatakan kurang efektif. Namun, tidak berarti upaya persuasif tidak bermanfaat sama sekali. Tetap ada pengaruh penyampaian persuasif bagi siswa, tapi apa yang sesungguhnya alternatif lain dalam menyelesaikan persoalan tawuran pelajar?
Munculnya sejumlah alternatif pemecahan tawuran pelajar, melulu terjadi dalam lingkaran yang tidak menyentuh substansi masalah. Misalkan muncul tawaran, agar sekolah mengeluarkan siswa yang termasuk sebagai pelaku tawuran, atau kerja sama lintas sekolah untuk tidak menerima setiap siswa yang melakukan tawuran.
Solusi-solusi tersebut nampak sangat menjanjikan, tapi menyisakan pertanyaan mendalam. Bagaimana nasib siswa yang “dibuang” alias di-"alien"asi-kan dari lingkungan pendidikan formal itu? Bukankah solusi ini justru akan menciptakan "monster-monster" masyarakat baru? Terus, bagaimana menuntaskan kepuasan batin keluarga yang menjadi korban? Serta bagaimana pula menjaga agar kebiasaan tawuran tidak menjangkiti siswa lain?
Solusi alternatif di atas, dianggap mampu meminimalisir tawuran pelajar. Akan tetapi, lagi-lagi efek jangka panjangnya yang menjadi titik kekhawatiran. Siswa sebagai individu mengalami fase psikologis, di mana ia selalu berada dalam kebimbangan antara dunia keluarga dan dunia kekerabatan (teman sebaya).
Dalam dunia keluarga, banyak nasehat normatif yang berfungsi untuk membekali diri dari ancaman luar. Namun, hampir seluruh pengalaman empiris siswa terjadi bersama rekan sebaya.
Saat siswa mendapatkan kenyamanan atau menemukan “sesuatu” yang dapat menjadi pelampiasan hasratnya, boleh jadi ia tergerak untuk melakukannya walau besar risikonya. Tawuran merupakan medan pembuktian kesetiakawanan dan medan pembuktian diri dalam rangka mencari identitas. Fakta ini memang sulit diterima oleh akal sehat, namun begitulah keadaannya.
Menghentikan tawuran pelajar harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan tersebut. Memberikan sanksi kepada sekolah jelas tidak menyentuh substansi masalah. Karena tawuran terjadi, tidak hanya di dunia fisik (sekolah) tapi juga terjadi di dunia psikis (jiwa).
Menghentikan tawuran sama artinya dengan menghentikan insting destruktif manusia. Sehingga, menghentikan tawuran berarti harus memangkas bentuk-bentuk insting destruktif manusia.
Perploncoan di lingkungan pendidikan formal, diindikasikan sebagai arena pemupukan insting destruktif. Komentar-komentar “pedas” pendidik kepada siswa, juga bisa jadi memberi pengaruh tersendiri bagi pemupukan insting destruktif ini. Maka, solusi paling tepat dalam menghentikan tawuran ini selain mendorong sekolah agar melakukan upaya-upaya kreatif dalam membina siswa, sekolah juga harus memangkas segala bentuk perilaku yang bisa memicu munculnya insting destruktif tersebut.
Fauzan Anwar Sandiah
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta