Pembangunan yang diharapkan adalah pembangunan yang berpihak pada masyarakat, bukan pada sekelompok orang, termasuk pembangunan bidang kesehatan. Gizi merupakan salah satu faktor yang berperan bagi kesehatan manusia. Gizi berkontribusi besar terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Berbagai penelitian telah menunjukkan adanya hubungan erat antara kurang gizi dengan kualitas sumber daya generasi penerus. Anak yang mengalami kurang gizi pada masa pembentukan otak (masa janin sampai dengan usia 2 tahun), akan memberikan pengaruh yang kurang baik bagi perkembangan fungsi otak.
Suatu hal yang miris bahwa Indonesia masih dihadapkan dengan permasalahan gizi setelah 67 tahun Indonesia merdeka. Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 dan 2010, menunjukkan prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 18,4% dan 17,9%.
Walaupun data tersebut menunjukkan penurunan kejadian gizi kurang dan buruk dibanding tahun sebelumnya, namun angkanya masih cukup tinggi. Prevalensi tersebut masih di atas target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014, yaitu 15% dan Millenium Development Goals pada 2015, yaitu 15,5%.
Dari media televisi maupun surat kabar, juga diperoleh informasi mengenai kasus gizi kurang dan buruk pada balita di berbagai daerah maupun kota besar seperti Jakarta. Bahkan, balita tersebut tidak tertolong. WHO menyatakan kematian balita di negara berkembang, 60%-nya disebabkan gizi buruk.
Di sisi lain, Indonesia dihadapkan dengan permasalahan penyakit infeksi yang kembali muncul dan mulai meningkatnya kejadian gizi lebih. Hal ini menunjukkan kebijakan kesehatan, khususnya gizi masih belum mampu mengatasi permasalahan gizi yang ada di Indonesia.
Bila dibandingkan permasalahan gizi di Indonesia dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia tertinggal dari Thailand, Philipina dan Malaysia bahkan Vietnam. Menurut World Bank (2005), selain menghadapi permasalahan gizi kurang, Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan gizi lebih. Sedangkan negara Asia Tenggara lainnya hanya dihadapkan dengan permasalahan gizi kurang, sementara kejadian gizi lebih memiliki prevalensi lebih rendah.
Penyebab terjadinya gizi kurang pada balita sudah dipahami bersama. Salah satu konsep yang menjelaskan penyebab kejadian gizi kurang adalah konsep Unicef. Konsep ini menjelaskan gizi kurang pada balita secara langsung disebabkan oleh asupan gizi yang tidak terpenuhi dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung, keadaan ini disebabkan tidak tersedianya makanan di tingkat rumah tangga, pola asuh yang kurang baik dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai.
Penyebab mendasar adalah ekonomi masyarakat yang rendah, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan makanan. Meskipun demikian, permasalahan gizi kurang di masing-masing daerah disebabkan oleh penyebab tidak langsung yang berbeda. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu program gizi, perlu dilakukan survei awal untuk mengetahui penyebab terjadinya gizi kurang sehingga dalam mengatasi permasalahan lebih tepat sasaran, sesuai kenyataan yang ada.
Sejak dulu pemerintah, khususnya institusi kesehatan, sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi permasalahan gizi. Salah satu program yang dijalankan yakni pemberian makanan tambahan (supplementary feeding) dengan target utama adalah balita gizi buruk.
Pemberian makanan tambahan dilaksanakan dalam kegiatan Posyandu dengan melibatkan PKK. Kegiatan ini disertai penyuluhan gizi bagi ibu-ibu balita, sehingga diharapkan pengetahuan gizi ibu meningkat dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dari evaluasi dan penelitian, menunjukkan pemberian makanan tambahan ini masih belum efektif mengatasi permasalahan gizi. Keterbatasan keterampilan tenaga dalam penyediaan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi balita, serta belum maksimalnya kegiatan penyuluhan, turut mempengaruhi keberhasilan program ini. Selain itu, program ini dilaksanakan untuk jangka pendek, sehingga apabila program sudah habis maka berakhir pula pemberian makanan tambahan pada balita.
Tahun 2010, Kementerian Kesehatan memperkenalkan program "1000 Hari Pertama Kehidupan", sejak dicanangkan Gerakan Scalling-up Nutrition di tingkat global. Program ini merupakan upaya sistematis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan khususnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat untuk memberikan perhatian khusus kepada ibu hamil sampai anak usia 2 tahun, terutama kebutuhan pangan, kesehatan, dan gizinya. Kebijakan yang ditetapkan antara lain:
- Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kehamilan dan persalinan;
- Melakukan sosialisasi dan pemantauan pelaksanaan UU nomor 36/2009 tentang Kesehatan dan PP nomor 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif;
- Meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan melalui penyediaan dukungan tenaga, penyediaan obat gizi dan suplementasi yang cukup;
- Meningkatkan kegiatan edukasi kesehatan dan gizi melalui budaya perilaku hidup bersih dan sehat;
- Serta dengan meningkatkan komitmen berbagai pemangku kepentingan terutama lintas sektor, dunia usaha serta masyarakat untuk bersama-sama memenuhi kebutuhan pangan tingkat keluarga.
Harapan terbesar adalah program "1000 Hari Pertama Kehidupan" bukan hanya suatu "gaung" saja, tapi dapat dilaksanakan secara maksimal. Sehingga, mampu mencapai tujuan yang diharapkan terutama menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Evaluasi terhadap program terdahulu, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas program yang dilaksanakan. Perlu dilatih terus tenaga kesehatan, sehingga terampil dalam melaksanakan kebijakan, termasuk menyampaikan informasi gizi kepada masyarakat. Program-program yang bersifat promosi dan preventif juga diutamakan tidak hanya program kuratif dan rehabilitatif.
Perlu dipertimbangkan sasaran program tidak hanya fokus pada balita dan ibu-ibu hamil, tapi juga fase sebelum kehamilan. Masa remaja merupakan salah satu masa kritis dalam siklus kehidupan manusia. Remaja putri yang memiliki status gizi kurang, berisiko tinggi untuk melahirkan bayi kurang gizi. Program preventif berupa promosi gizi ke sekolah atau ke masyarakat perlu ditingkatkan lagi frekuensi dan kualitasnya.
Berhasil atau tidaknya suatu program, tergantung komitmen pemerintah dalam menjalankan program tersebut. Manajemen yang baik dan dukungan sumber daya yang memadai diperlukan dalam keberhasilan program.
Permasalahan gizi bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, terutama bidang kesehatan. Kerja sama lintas program dan sektor secara aktif harus terus dilaksanakan dalam mengatasi permasalahan ini. Dukungan dunia usaha diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan, selain membuat produk fortifikasi dan peran dalam meningkatkan pengetahuan konsumen. Masyarakat sebagai sasaran dalam kegiatan pun turut andil dalam keberhasilan suatu program, melalui partisipasi aktif dalam kegiatan, terus berupaya meningkatkan pengetahuan gizi, memiliki motivasi kuat dan menerapkan perilaku gizi yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Program untuk mengatasi permasalahan gizi membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Kalaupun anggaran yang dimiliki terbatas, perlu lebih terencana dalam menyusun suatu program dan dilaksanakan dalam manajemen yang terampil.
Adalah suatu ironi jutaan balita mengalami gizi kurang bahkan meninggal karena permasalahan gizi, yang sebenarnya dapat diatasi dengan intervensi yang sederhana dan dapat diupayakan. Pemegang kebijakan harus memberikan prioritas pada strategi yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang belum teratasi, salah satunya masalah gizi kurang pada balita. Sehingga, adanya ungkapan "anak merupakan generasi penerus bangsa" tidak hanya sebuah ungkapan semata, tapi sesuatu yang diupayakan.
Azrimaidaliza
Staf Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Padang