Rabu 24 Oct 2012 16:54 WIB

Refleksi Sumpah Pemuda: Rekonsiliasi Nasional

Red: Miftahul Falah
Pemuda (ilustrasi)
Foto: ugm.ac.id
Pemuda (ilustrasi)

Meskipun sudah 84 tahun berlalu, Sumpah Pemuda tetap relevan untuk kita refleksikan bersama mengingat kondisi dan permasalahan bangsa, khususnya terhadap para pemuda sekarang. Pemuda adalah tonggak sejarah sebuah bangsa. Hal ini diamini oleh Ben Anderson, seorang Indonesianis, dalam bukunya Java in a Time of Revolution: Occupation & Resistance (1944-1946), bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah pergerakan pemuda.

Sederetan penggerak perjuangan bangsa rata-rata adalah pemuda. Kartini ketika menyuarakan Cri de Coueur (jeritan hati nurani) berusia 20 tahunan. Soekarno juga baru berusia 26 tahun ketika menjadi pemimpin Partai Nasional Indonesia. Tan Malaka mulai aktif di pergerakan saat berusia 16 tahun. Mohammad Hatta belum genap 25 tahun usianya saat mendirikan Perhimpunan Indonesia di Belanda. Begitu juga Sutomo, Gunawan Mangunkusumo beserta tokoh-tokoh yang lain mendirikan Boedi Oetomo saat berusia 20-25 tahun. HOS Tjokroaminoto saat memimpin Syarikat Islam juga berusia 25 tahun. Wikana, Chaerul Saleh, dan Soekarni saat memaksa Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia juga berusia 25-30 tahun.

Pemuda pada masa-masa tahun 1928 merupakan pemuda yang bangkit rasa nasionalismenya. Lalu mereka yang berasal dari latar belakang beragam organisasi seperti Jong Java, Jong Batak, Jong Ambon, Jong Islamiten Bond, Jong Celebes, Jong Sumatera, Jong Borneo, dll., merasa terpanggil untuk melakukan rekonsiliasi dan bersatu melawan penjajah.

Sebelumnya, mereka terkotak-kotak ke dalam organisasi pemuda kesukuan tersebut. Mereka masing-masing berjuang dengan corak perlawanan kedaerahan. Hal inilah yang justru memperlemah kekuatan sehingga Kolonial Belanda dengan mudah mematahkan perlawanan-perlawanan mereka.