Rabu 16 Jan 2013 16:28 WIB

Pilkada dan Korupsi di Era Otda (opini)

Red: M Irwan Ariefyanto
Pilkada (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Pilkada (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Paksi Walandouw (Dosen dan Peneliti FE Universitas Indonesia)

 

Era otonomi daerah (otda) memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia dan diharapkan dapat meningkatkan pemerataan kesejahteraan. Pemilihan kepala daerah (pemilukada) diterapkan dengan harapan tiap daerah memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola kekayaan daerahnya.

 

Namun, praktik otonomi daerah tidak serta-merta diikuti dengan peningkatan kapasitas serta integritas dan sumber daya manusianya. Hal ini terutama terlihat dalam meningkatnya praktik korupsi di daerah di era otonomi daerah.

 

Menjadi kepala daerah kerap dianggap sebagai jalan menuju kekayaan, karena kewenangan kepala daerah yang sangat besar di era otonomi daerah sehingga membuat celah untuk korupsi terbuka lebar. Tidak jarang calon kepala daerah tidak memiliki modal kuat, namun tetap memaksakan diri untuk maju, meminjam utang dari berbagai pihak agar dapat menempati posisi kepala daerah.

 

Situasi ini juga dikarenakan biaya politik Indonesia yang sangat mahal dan membuat banyaknya kader dengan kualitas diragukan, tetapi mempunyai modal yang kuat maju dalam pilkada. Konsekuensi dari situasi ini bisa memberikan dampak buruk bagi perkembangan ekonomi di daerah.

 

Bagaimana mungkin seorang kepala daerah bisa melayani publik jika fokusnya setelah terpilih menjadi kepala daerah adalah mengembalikan modalpilkada? Alih-alih menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik, para kepala daerah yang mempunyai integritas lemah menyalahgunakan kekuasaannya seperti mengorupsi Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) maupun menjalankan pungutan liar (pungli)

 

Situasi ini memicu ekonomi berbiaya tinggi yang terjadi di daerah-daerah, misalnya, harus membayar fee untuk mendapatkan proyek dari pemerintah, atau sekadar mendapatkan keamanan. Akibatnya, ekonomi menjadi tidak kompetitif karena banyaknya mafia di daerah.

 

Situasi ini bisa tergambarkan dalam kasus kerusuhan Buol yang terjadi pada September 2011. Aparat keamanan tampak tidak bisa meredam amukan massa sehingga mengganggu aktivitas ekonomi lokal dan menghentikan kegiatan operasional perusahaan yang aktif di sana. Pelaku bisnis setempat mengaku setelah membayar fee satu miliar rupiah, baru situasi mulai kondusif.

 

Kasus Buol menjadi tanda tanya besar apakah pemerintah pusat masih memiliki legitimasi untuk memberikan kepastian hukum di daerah-daerah. Ketidaksanggupan pemerintah dalam menangani konflik di daerah dapat memberikan preseden buruk bagi iklim investasi di Indonesia.

 

Di balik itu semua, pemerintah harus bisa memikirkan sudut pandang investor. Apakah investor masih mau berbisnis dan melanjutkan investasi di daerah tertinggal, setelah diperas, lalu dikriminalkan? Jika situasi seperti ini berlanjut bisa bahaya bagi iklim investasi jangka panjang. Ekonomi Indonesia akanmenjadi semakin tidak kompetitif karena ekonomi berbiaya tinggi dan diperparah dengan mentalitas kepala daerah yang hanya mementingkan diri sendiri.

 

Dalam jangka panjang, pemerintah pusat perlu memberlakukan mekanisme yang lebih ketat kepada daerah-daerah. Inspeksi mendadak (sidak) dan audit secara berkala bisa diberlakukan agar memberikan efek jera bagi kepala daerah nakal ataupun memberikan insentif bagi daerah yang berhasil meningkatkan transparansi dan menjalankan pemerintahan daerah yang bersih.

 

Di sinilah perlunya menyebarkan paham good governance di kalangan pejabat publik dan pegawai negeri sipil. Pelatihan dan capacity building perlu dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas dan mentalitas pelayan publik.

 

Pengawasan yang tidak menyeluruh dan sanksi yang kurang tegas akan membuat pilkada dianggap seperti kegiatan spekulatif seperti forex, high risk high gain. Para kader yang ada akan menjadi tidak berkualitas karena prioritas pertama setelah mendapat posisi kepala daerah adalah pengembalian modal.

 

Indonesia diprediksi akan menyalip perekonomian Jerman pada 2030. Namun, yang tidak kalah pentingnya, pemerintah bisa belajar dari pengalaman negara maju, bahwa yang menjadikan mereka unggul adalah birokrasi yang efisien, dan mentalitas pejabatnya yang berorientasi kepada publik. Tidak perlu menunggu sampai 2030 agar Indonesia mulai bertransformasi sehingga pemerintahannya sebersih Jerman. Hal itu bisa dimulai dari sekarang juga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement