Kamis 17 Jan 2013 16:13 WIB

Etika Perniagaan Nabi Muhammad

Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)
Foto: smileyandwest.ning.com
Kaligrafi Nama Nabi Muhammad (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak*

Sebelum memulai tugas kerasulan, Nabi Muhammad SAW berprofesi sebagai pedagang. Dari aktivitas perdagangan inilah, karakter dan moral seorang anak muda bernama Muhammad bin Abdullah, dikenal oleh banyak kaum.

Moral perdagangan yang dipraktikkan Nabi Muhammad dianggap “diluar kewajaran”. Praktik perdagangan yang “wajar” pada saat itu adalah eksisnya tipu muslihat dan alfa-nya kejujuran.

Namun, seorang Muhammad justru muncul dengan praktik perniagaan yang “tidak wajar”, nilai-nilai moral luhung seperti kejujuran, komitmen kuat terhadap pelayanan dan penghargaan kepada konsumen, justru dipraktekkan secara utuh oleh Nabi Muhammad.

“Ketidakwajaran” itu pun tersiar dari mulut ke mulut, bak marketing modern yang paling efektif, menjadi trigger peningkatan popuritas dan integritas seorang pedagang muda bernama Muhammad, sampai suatu saat popularitas dan integritas ini pun mengundang ketertarikan seorang investor dan konglomerat perempuan saat itu, Siti Khadijah.

Syahdan. Jadilah, Muhammad dari pedagang biasa menjadi seorang saudagar besar yang mengendalikan perniagaan Siti Khadijah, yang dalam sejarah kelak menjadi Istri terbaik bagi Muhammad Sang Pedagang.

Etika Moral Perdagangan

Nabi Muhammad menjadi model terbaik praktik perniagaan, bahkan sebelum beliau menjadi Rasul dan sebelum Alquran turun. Nabi Muhammad keluar dari “standar” bertindak dan berpikir pedagang kebanyakan pada masa itu yang penuh dengan tipu muslihat dengan berbagai motif dan modus kecurangan perdagangan.

Beliau muncul, dengan “standar” baru yakni, perdagangan yang jujur dan saling menguntungkan. Sadar atau tak sadar, pada saat itu, sebelum diangkat sebagai Rasullulah, Nabi Muhammad telah melakukan tugas profetiknya.

Rasulullah SAW  menyuntikkan nilai-nilai baru dalam tatanan jahiliyah pada saat itu, yakni nilai-nilai etika moral perdagangan, dimana perdagangan itu harus selalu dilandasi  saling percaya, dan memberikan keuntungan kepada kedua belah pihak yang melakukan transaksi, kepercayaan (trust) muncul, apabila pada prakteknya, sang pedagang mampu menunjukkan kapasitas kejujurannya dalam praktik perniagaan.

Pada masa yang lalu sampai masa kekinian, era model perdagangan modern berkembang, “kejujuran” tetap menjadi asset yang sangat berarti  dan penentu bagi eksitensi dan perkembangan perdagangan, yang dalam teori modern sering disebut sebagai “Social Capital”. Mengutip Francis Fukuyama, TRUST, menjadi modal yang sangat penting bahkan paling penting dalam pergaulan ekonomi global.

Nabi Muhammad sudah mempraktekkan dan mengajarkannya kepada umatnya, sebelum teori-teori modern melihat unsur moral ini sangat penting dalam perekonomian, sayangnya kebanyakan dari kita alpha terhadap pesan perdagangan yang diajarkan Rasullulah.

Kejujuran yang Absen

Krisis ekonomi dengan berbagai kausalitasnya membuktikan bahwa kehadiran kejujuran dalam perekonomian dicampakkan. Sehingga praktik spekulasi dan tipu muslihat menjadi bagian integral dalam peradaban ekonomi manusia kekinian, seolah menjadi de javu jaman Jahiliyah hadir dalam bentuk yang berbeda, dan lebih variatif, bahkan berani menggunakan simbol-simbol keagamaan.

Mulai yang terkecil, pasar tradisional tempat transaksi perniagaan rakyat dilakukan, nilai kejujuran sulit diidentifikasi, sampai proses perniagaan besar nilai-nilai kejujuran seringkali terpaksa absen hanya karena alasan jangka pendek yakni keuntungan (profit), padahal fakta empirik menunjukkan bahwa eksitensi entitas bisnis yang sering mengabaikan komitmen moral kejujuran dalam jangka panjang eksitensinya akan terpuruk, sebaliknya entitas bisnis yang mengedepankan komitmen moral kejujuran dalam setiap transaksi yang dilakukan, eksitensinya makin ekspansif dan profitable.

Agaknya, pengembangan ekonomi Islam harus memulai mengisi kekosongan nilai-nilai etika moral ini, yang justru makin tergerus dengan berbagai variasi praktek kapitalistik yang abai terhadap kehadiran nilai kejujuran namun secara massif justru mengedepankan “ketamakan”, dalam prakteknya.

Eksitensi Perbankan Islam sebagai salah satu simbol praktik ekonomi Islam menjadi taruhan yang sangat mahal, sedikit saja praktik moral hazard terjadi, maka reduksi essensi ekonomi Islam bisa mencemari nilai-nilai Islam itu sendiri.

                        

* Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement