REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dahnil Anzar Simanjuntak*
Seluruh ahli ekonomi sadar dan tahu betul bahwa konsep pertumbuhan ekonomi atau PDB/PNB, atau ditingkat regional sering disebut PDRB (produk domestik regional bruto) tidak ideal sebagai ukuran kinerja ekonomi sebuah negara atau daerah.
Selain didominasi oleh parsialitas abai distribusi sehingga tidak menggambarkan kesejahteraan dalam perekonomian, juga dalam perhitungan abai menghitung kegiatan underground economy maupun sektor informal.
Untuk negara berkembang seperti Indonesia, kegiatan tersebut mendominasi kegiatan ekonomi masyarakatnya. Tetapi, bagi saya kelemahan konsepsi PDB/PNB justru menjadi alat analisis yang berguna bagi pembangunan ekonomi, apabila digunakan dengan maksud dan tujuan pembangunan ekonomi bagi kepentingan rakyat kebanyakan.
Misal, melalui data PDB /PNB justru pemerintah, politisi, akademisi dan masyarakat umum dapat melihat tingkat ketimpangan pembangunan yang terjadi, baik secara sektoral, maupun teritorial.
Faktanya, selama ini kita tahu, bahwa PDB/PNB kita menjadi kontributor terbesar yang dibentuk oleh tingkat konsumsi masyarakat. Melalui PDB kita pun tahu sektor-sektor mana saja yang pertumbuhannya melambat atau justru mengalami peningkatan. Melalui PDB/PNB pula kita bisa tahu, secara teritorial daerah mana yang memiliki kontribusi besar maupun kecil bagi pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, kebermanfaatan data PDB/PNB itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya sebagai sarana perencanaan pembangunan ekonomi, tetapi lebih sebagai justifiksi prestasi kinerja ekonomi pemerintah.
Di sinilah letak permasalahan dimulai. Keusangan konsepsi PDB/PNB pun dirasakan oleh Presiden Perancis Nicolas Sarkozy. Tak heran jika Sarkozy mengumpulkan beberapa orang ahli ekonomi dimotori Peraih Hadiah Nobel Ekonomi, Amartya Sen. Mereka berembuk menemukan indikator baru kinerja ekonomi.
Miskin Tapi Bahagia
The Economist majalah ekonomi terkemuka di dunia, pada versi onlinenya (25/02/12), merilis hasil survei IPSOS -- sebuah lembaga survey dunia yang secara periodik melakukan sigi tingkat kebahagian penduduk di suatu negara.
Yang mencengangkan, hasil survei mereka bertolak belakang dengan konsepsi ekonomi selama ini yang beragumentasi bahwa ”tingkat pendapatan yang tinggi akan membuat orang bahagia”.
Dari 24 negara yang mereka survei dengan responden sebanyak 19 ribu orang terlepas dari perdebatan akurasi survei Ipsos tersebut, di tengah kesuraman pertumbuhan ekonomi dunia, ditemukan fakta bahwa orang-orang merasa lebih bahagia saat ini dibandingkan sebelum krisis.
Dan yang lebih mencengangkan, Indonesia dinobatkan sebagai negara yang penduduknya “Paling Bahagia”, yakni 51 persen orang Indonesia merasa bahagia saat ini.
Disusul India yang sebanyak 42 persen penduduknya merasa paling bahagia saat ini dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Setelah itu disusul secara berurutan oleh Meksiko, Brazil, Australia, Amerika Serikat dan pada urutan paling buncit yakni 24 adalah Korea Selatan.
Padahal, apabila dilihat dari sisi daya beli per kapita (Purchasing Power Parity), Indonesia sebesar 4.700 dolar, hanya lebih baik daripada India sebesar 3.700 dolar.
Sehingga apabila diurutkan berdasarkan daya beli per kapita (Purchasing Power parity), maka Indonesia berada pada urutan 23 paling rendah satu tingkat di atas India yang berada pada urutan 24.
Mari kita bandingkan dengan daya beli per kapita Amerika Serikat yang mencapai 48.100 dolar, Australia 40.800 dolar, Jerman 37.000 dolar, Inggris 36.000 dolar, Prancis 35.000 dolar, Jepang 34.400 dolar, Korea Selatan 31.800 dolar, Italia 30.200 dolar, Arab Arabia 24.100 dolar, Rusia 16.700 dolar, Brazil 11.800 dolar, Meksiko 15.100 dolar dan Cina 8.400 dolar.
Jadi jelas, berdasar survey Ipsos tersebut, kemampuan ekonomi penduduk disebuah negara tidak berbanding lurus dengan tingkat kebahagiaannya.
Terlepas dari perdebatan indikator kebahagian tersebut, yang jelas konsepsi PDB mulai diganggu-gugat kesahihannya sebagai konsepsi ideal untuk mengukur kinerja ekonomi sebuah negara atau dunia.
Ilmu pengetahuan sebuah seharusnya menemukan teori-teori baru yang aplikatif yang bisa digunakan bagi kemajuan peradaban manusia. Tetapi sebagai konsepsi ilmu pengetahuan, bagi saya, PDB tidak dimanfaatkan sebagaimana seharusnya oleh pembuat kebijakan dibanyak belahan dunia, khususnya negara berkembang seperti Indonesia.
Konsepsi PDB berhenti digunakan sebagai alat justifikasi prestasi kinerja ekonomi, padahal dengan skala ekonomi seperti Indonesia maka secara alamiah pertumbuhan ekonomi pastilah akan lebih baik dan lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju yang skala ekonomi telah dimaksimalkan sejak awal.
PDB tidak digunakan sebagai peta kerja ekonomi untuk merancang perencanaan kebijakan ekonomi yang lebih baik yang mampu melahirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Penggunaan justifikasi prestasi juga menular kepada pemerintah daerah. Kegemaran, menggunakan data makro ekonomi sebagai justifikasi keberhasilan juga dilakukan oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Indonesia yang konyolnya banyak kepala daerah yang sama sekali tidak paham konsepsi PDRB tetapi koar-koar menggunakan indikator itu.
Bahkan untuk daerah-daerah yang kekuatan sipilnya tidak berperan, kelompok intelektualnya sedikit, orang-orang kampusnya bersembunyi di belakang tembok, akrobasi dan manipulasi angka indikator makro ekonomi menjadi hal yang biasa sebagai alat ukur prestasi kinerja pemerintah daerah.
Yang lebih menyedihkan lagi jika intelektual dan ekonom-nya ikut serta membantu manipulasi dan akrobasi tersebut. Semoga perkembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu ekonomi dengan para ahli yang berdedikasi di masa yang akan datang untuk memperbaiki konsepsi indikator yang ada saat ini, tidak selalu menjadi bajakan bagi para pembuat kebijakan politik dinegeri ini. Semoga.
*Pengajar pada Fakultas Ekonomi Universitas Sultan Ageng (Untirta) Banten