REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Arilin Indah Kurnia Suaidy
Mengajarkan nasionalisme, sering kali dianggap mengajarkan sesuatu yang tidak perlu bahkan kadangkala dianggap mengerikan sebab kedekatannya dengan penyemaian kekuatan komunal(baca: komunis, marxis) yang identik dengan massa bawah.
Padahal dalam sejarahnya ,nasionalisme bangsa --terutama Indonesia, hingga berdirinya negara republik ini, nasionalisme dan penyemaiannya justru diakukan dan dimulai dari mereka yang berada di tataran borjuasi.
Hampir tidak ada tokoh nasional dan pendiri bangsa ini yang bukan berasal dari kalangan borjuasi. Tidak kurang dari Soekarno, Hatta, Syahrir, bahkan tokoh komunis internasional Tan Malaka sekalipun berasal dari keluarga borjuis.
Namun pendidikan nasionalisme yang mereka dapatkan, dalam berbagai bentuk entah agama, suku, idelologi merupakan penyemaian yang tepat, sehingga proses berdirinya bangsa ini mendapatkan penyatuan kekuatan yang sangat besar.
Meski sebagian besar kemudian harus bertarung pada tataran politik praktis ,namun gerakan nasionalisme Indonesia berhasil berujung pokok pada pembentukan negara merdeka.
Sementara saat ini pendidikan nasionalisme hampir tidak tersentuh. Pengajaran sejarah yang seharusnya bisa menjadi pintu masuk, saat ini hanya muncul sebagai pengetahuan tekstual--anual. Anak-anak kita hanya dikenalkan pada nama kejadian, tanggal, tempat, great person, jumlah dan alat yang dipergunakan.
Pengajaran sejarah tidak memberikan ruang bagi pertanyaan apa, mengapa, bagaimana. Siswa hanya diharapkan untuk menghapal episode-episode mentah yang disajikan dalam teks baku. Sementara ribuan fakta yang seharusnya bisa didapatkan dari berbagai sumber justru ditinggalkan, apa lagi dibicarakan di ruang kelas.
Sementara itu , kembali membicarakan tentang pengajaran nasionalisme, bahkan sekedar mengenalkan Nusantara, Indonesia, saat ini hanya dilakukan mereka yang bergerak mengajar di desa-desa, pedalaman, kaum proletar.
Anak-anak kita di kota, sebagai pusat borjuasi, bahkan lebih mengenal Eifel di Prancis, tembok Besar China ,Liberty di New York sampai pusat keuangan Wall Street dibandingkan Borobudur yang menjadi candi terbesar di dunia atau bahkan kapal pinisi yang ribuan tahun menjelajahi separo dunia sebelum Eropa.
Sedangkan negara ini hanya akan dikelola oleh tidak lebih dari 10 persen penduduknya yang menguasai 80 persen sumber daya dan infrastruktur negeri ini. Dengan kata lain, hanya kaum borjuasi yang akan mengendalikan negara ini, bukan yang lain.
Dengan demikian, pengajaran dan penyemaian nasionalisme seharusnya bertumpu lebih besar pada mereka calon-calon pengelola negeri ini. Bukan berarti berbicara nasionalisme hanya kepada kaum borjuasi saja, tetapi kita sampai saat ini sering lupa, ada anak-anak bangsa di langit borjuasi yang terlelap lupa kita kenalkan tentang Indonesia.
Sekedar berkaca pada pengalaman saya, ketika mengajar sejarah di sebuah sekolah internasional, ternyata menyemaikan nasionalisme sangat penting ditujukan bagi generasi borjuasi negeri ini.
Mencoba mengkodifikasi realitas dalam sekolah internasional tersebut, tulisan ini inginmenunjukkan ada kesempatan nesar untukmenyemaikannasionalisme di kalangan generasi borjuiasi di negeri ini. Sekolah dengan metode internasional yang berkembang marak saat ini menjadi lokasi terbesar generasi borjuis mengenyam pendidikan dan memperolehpengetahuan.
Penyemaian nasionalisme di kalangan siswa sekolah internasional menjadi penting, karena ada banyak ruang kosong dalam kultur pemikiran dan perikehidupan generasi borjuis , khususnya yang mengambil pendidikan di sekolah internasional.
Salah satunya adalah kecenderungan pengetahuan, informasi, budaya, bahasa global yang dienyam selama ini berbeturan dengan realitas bahwa meraka masih harus berhadapan dengan hukum, status warga Negara dan kehidupan social di Indonesia.
Generasi borjuis ini masih sangat tahu dan yakin bahwa mereka hidup di Indonesia dan suatu saat harus bekerja, berkarya di tempat meraka dilahirkan dan berkembang ini. Retakan yang muncul dalam alam pikir generasi borjuis kita ini adalah “Apa yang harus saya kerjakan untuk negara ini,”
Bertitik tolak dari retakan generasi borjuis tersebut pelajaran sejarah bisa menjadi pintu masuk penyemaian nasionalisme Indonesia pada generasi ini. Pilar utamanya adalah bagaimana memberikan ruang bagi generasi borjuis ini bahwa mereka juga bagian dari bangsa dan Negara Indonesia.
Kultur global yang lebih terbuka atas fakta dan informasi serta semangat adventure atas pengetahuan di generasi borjuis adalah jalan utama penyemaian nasionalisme. Sementara penyajian wacana dan fakta sebanyak-banyaknya dalam narasi yang menarik, tentunya ditambah diskusi terbuka , adalah metode yang cukup tepat.
Semoga , bila penyemaian nasionalisme ini terjadi, maka kekhawatiran Indonesia akan menjadi Negara gagalpun bisa sedikit banyak terobati. Sebab masih akan ada generasi yang berkehendak menjadikan Negara ini, maju tak tertandingi. Semoga.
Penulis pernah mengajar mata pelajaran Sejarah pada Senior High School “Sekolah Ciputra” Surabaya.