REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Aqwam Fiazmi Hanifan
Untuk menyaring tayangan yang menampilkan kemolekan suporter wanita, biasanya Iran yang siarannya delay beberapa detik mengeditnya dengan stok gambar yang lebih sopan. Maka jangan heran, ketika menonton piala dunia 1998, kita akan menyaksikan gambar penonton yang bermantel tebal padahal di Prancis sedang musim panas.
Dalam hal kebebasan berekspresi, di Iran sekarang, stadion sepak bola hampir sama pentingnya dengan internet. Protes lebih dilakukan di sana karena polisi tidak bisa menangkap ribuan orang sekaligus. Siaran televisi tentang sepakbola biasanya digunakan sebagai panggung untuk resistensi. Mereka menunjukkan spanduk ke kamera dan nyanyian lagu-lagu protes yang kenapa dalam beberapa pertandingan selalu disiarkan tanpa suara.
Resistensi di lapangan, tak hanya dilakukan para suporter saja, pemain Iran pun melakukannya saat pertandingan digelar. Tahun 2009, empat pemain Iran melakukan aksi protes saat melawan Korea Selatan dengan memakai gelang berwarna hijau yang identik dengan warna partai oposisi pimpinan Hossein Mousavi, yang waktu itu bersama dengan ratusan ribu orang turun ke jalan memprotes hasil pemilu presiden yang dimenangkan Ahmadinejad.
Tanpa ampun, Ali Karimi, Mehdi Mahdavikia dan dua pemain lainnya di-banned seumur hidup dari dunia sepakbola oleh rezim akibat keputusannya memihka Mousavi.
Franklin Foer mungkin benar, para ulama Konservatif hanya bisa melakukan upaya sebatas menyensor, membatasi dan mengurangi. Tapi mereka tetap tak dapat menyensor para pemain dan pertandingannya itu sendiri. Karenanya, pesan-pesan kebebasan yang selama ini dibanggakan oleh Barat, cepat atau lambat telah dan akan mempengaruhi bangsa Iran. Tergantung para Mullah menghadapinya. Dengan resistensi atau kooperatif.