REPUBLIKA.CO.ID, Aqwam Fiazmi Hanifan
Di masa-masa awal Revolusi Islam, ada tiga hal yang heboh di kalangan wanita Iran; pakaian yang diatur dengan ketat, pekerjaan yang sulit didapat, dan larangan menonton sepakbola pria di stadion.
Tetapi seiring dengan derasnya arus globalisasi, sejak era Presiden Rafsanjani awal tahun 1990-an liberalisasi di Iran mulai sedikit terasa, aturan kewajiban memakai Chadur (kain hitam yang di selebungkan ke seluruh tubuh namun tak menutupi muka) mulai ditinggalkan, berganti dengan kerudung yang dipasang seenaknya.
Hal sama juga terjadi pada lapangan pekerjaan, para wanita kini diberi sedikit kebebasan untuk bekerja di berbagai sektor. Namun untuk soal “bola” kebebasan itu sampai sekarang masih terkungkung. Tahun 1979 di tahun awal Revolusi Islam, wanita dilarang untuk menonton sepak bola baik itu secara langsung maupun lewat televisi. Tetapi aturan ini diubah tahun 1987, Fatwa Khoemeini membolehkan wanita menonton sepakbola di televisi.
Sama seperti negara-negara Arab lainnya, Iran memberlakukan aturan ketat terkait dengan soal larangan ber-Khalwat (Bercampur baurnya pria dan wanita dalam satu tempat). Alasan inilah yang membuat perempuan dilarang datang ke pertandingan sepakbola pria.
Tetapi apakah aturan ini ditaati? Tentu saja tidak, muncul fenomena baru gadis-gadis muda dan wanita pada umumnya adalah fanatik dari sepak bola dan mengikuti berita sepak bola bahkan mungkin lebih dari rekan-rekan pria mereka.
Aksi-aksi nekat dengan mengempiskan payudara, memotong rambut dan menyamar jadi pria kerap melakukan agar bisa masuk kestadion. Tak jarang tindakan nekat ini dilakukan keturunan para penguasa dan ulama ternama.
Fenomena ini digambarkan oleh Jafar Panahi dalam film berjudul Offside tahun 2006. Film ini banyak mendapatkan penghargaan di beberapa festival film eropa, namun di dalam negeri Panahi malah diberi hukuman penjara selama enam tahun dan di-banned 20 tahun membuat film, berbicara kepada pers, dan pergi ke luar negeri.
Kendati begitu, rezim tak melarang 100% wanita untuk bermain dan menonton sepak bola. Sejak tahun 2009, di Teheran, ada stadion khusus berkapasitas 40.000 kursi untuk menggelar pertandingan-pertandingan sepak bola wanita. Yang boleh masuk tentunya hanya wanita baik itu pemain, ofisial tim atau suporter, di luar dari itu maka haram.
Maka jangan heran, ketika pertandingan digelar, di luar stadion terlihat beberapa pria yang mondar-mandir kebingungan sembari sesekali berusaha mengintip jalannya pertandingan. Bisa ditebak, pria tersebut adalah salah satu pelatih tim sepak bola wanita yang bertanding.