Jumat 29 Mar 2013 06:10 WIB

Politisasi Sepak Bola di Negeri Para Mullah (5)

Khodadad Azizi, 'sang pahlawan', merayakan kemenangan atas Australia di playoff Piala Dunia 1998 dengan para suporter Iran.
Foto: fifa.com
Khodadad Azizi, 'sang pahlawan', merayakan kemenangan atas Australia di playoff Piala Dunia 1998 dengan para suporter Iran.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Aqwam Fiazmi Hanifan

Kabar gembira datang dari Melbourne, pada suatu hari di bulan November 1997, dua gol yang dicetak ke gawang Australia membuat Iran lolos ke piala dunia pertama kalinya dalam sejarah mereka. Tak pelak, jutaan rakyat Iran turun ke jalan merayakan euphoria atas pencapaian yang didapat.

Cristopher Dickey dalam sebuah jurnal di Newsweek menggambarkan public seolah melupakan moralitas resmi negara. Tarian, minuman dan musik Barat yang biasanya bersifat privasi kini jadi perayaan umum. Masalah utama adalah banyak perempuan muda yang merobek jilbab mereka dan menari-nari, bercampur baur dengan yang lain.

Rezim pun resah, seluruh anggota tim kesebelasan diintruksikan untuk jangan pulang dulu ke Teheran sebelum kondisi mereda. Di sisi lain, pesan-pesan melalui televisi dan radio terus didengungkan kepada rakyat agar tak melakukan pesta berlebihan. Kepada para wanita dihimbau juga untuk tak turun ke jalan dan diam di rumah selama penyambutan

Akhirnya waktu yang ditunggu datang juga, 100 ribu pria hadir di perayaan yang di fokuskan di Stadion Azadi. Menariknya, di pintu gerbang masuk stadion, suhu menggigil minus 2 derajat tak mengerutkan semangat menggelora 5.000 perempuan yang menuntut untuk bisa masuk ke dalam. “Kami juga bagian dari bangsa ini, kami ingin merayakannya juga!! Kami bukanlah semut!" teriak mereka.

Karena luluh, rezim akhirnya memberi ruang terpisah di stadion guna menampung 3.000 orang dari mereka. Sementara itu 2.000 wanita lainnya yang merasa diasingkan, melakukan resistensi dengan berusaha mendobrak masuk kedalam. Untuk mencegah terjadi kericuhan besar-besar, akhirnya polisi mengaku kalah dan membiarkan ribuan wanita berpesta di Stadion bersama kaum pria.

Terkadang, hal larangan wanita ke Stadion, dimanfaatkan para politikus sebagai target menjaring massa. Tahun 2006 saat dimana Iran mendapatkan tekanan internasional atas kebijakan nuklirnya, untuk menggaet kalangan moderat secara mengejutkan Presiden Mahmod Ahmadinejad mencabut larangan wanita untuk datang ke Stadion. Tapi kemudian, para mullah marah besar dan meminta Ahmadinejad menarik ucapannya itu. Ia pun kalah dan sampai saat ini wanita tetap dilarang ke Stadion.

************************************************

Politik dan sepakbola di Iran tidak dapat terpisahkan. Seperti yang dikatakan mantan Jubir Kementerian Luar Negeri Iran Hamid-Reza Asefi. Ia mengatakan Olahraga dan politik di dunia ini adalah fenomena yang paling populer, dan keduanya memang memiliki ikatan erat. Di iran, mereka yang menganjurkan depolitisasi olahraga akan menderita kegagalan. “All around the world, sports have a political agenda; that’s a reality,” katanya tegas.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement