Akhir-akhir ini muncul di media tentang perseteruan antara Eyang Subur dengan artis Adi bing Slamet. Dilanjutkan dengan kajian Indonesa Lawyer Club (ILC) tentang santet dan ilmu hitam.
Dua moment tersebut mengisyaratkan adanya respons masyarakat Indonesia terhadap kejadian-kejadian luar biasa, di luar kemampuan manusia biasa. Memang di bumi Indonesia, masalah santet merupakan isu yang kerap kali menjadi perdebatan panjang di tengah-tengah masyarakat. Baik dilakukan oleh akademisi, ahli hukum, ahli sosial, ahli agama dan supranatural.
Masing-masing mempunyai perspektif sendiri-sendiri dalam menyikapi masalah santet sesuai dengan latar belakang masing-masing. Dari perdebatan panjang tentang santet itu, acapkali tidak menemukan jalan keluar untuk menjawab problematika santet. Misalnya para Teolog mengatakan bahwa santet termasuk sihir dan dihukumi haram untuk digunakan.
Berbeda dengan teolog para ahli hukum juga mendebatkannya, hasilnya tidak dapat ditinjau dari sisi hukum dikarenakan diluar jangkauan kemampuan indra manusia, yang pada akhirnya tidak dapat dibuktikan secara hukum. Demikian pula dari sisi sosiologis, hampir semua klan atau suku di Indonesia mempunyai tradisi tentang santet.
Misalnya, orang Jawa Barat menyebut santet dengan teluh ganggaong atau sogra, di Bali terkenal dengan desti, leak, atau teluh terangjana, di Maluku dan Papua dengan suangi, di Sumatra Utara begu ganjang, di Sumatra Barat puntianak, dan masih banyak yang lain lagi. Sebagai pembanding, di belahan benua yang lain pada masyarakat Afrika santet dikenal voodoo.
Di belahan Eropa, orang mengenal tukang sihir. Masih banyak istilah dengan teknik dan cara kerja yang sama dengan santet dipraktikkan di negara-negara lain, selain Indonesia. Artinya fakta-fakta adanya santet dengan berbagai terminologi sebenarnya telah dikenal oleh masyarakat diberbagai belahan dunia, baik mereka yang dikenal dengan negara maju (modern country) atau masyarakat negara berkembang (developmen country) seperti Indonesia sampai kepada negara tertinggal.
***
Dari perspektif akademis, santet juga menjadi kajian yang cukup hangat, dinamis. Misalnya, Prof Dr Tb Ronny Nitibaskara, menyatakan santet termasuk sorcery (ilmu tenung) atau witch craft (ilmu sihir).
“Keduanya masuk dalam black magic atau ilmu hitam. Baik tenung maupun sihir dikatakan ilmu hitam karena tujuan penggunaannya mencelakai dan menjahati orang lain. Dia juga menyebutkan bahwa santet adalah tindakan yang merusak kesejahteraan orang lain dengan motif balas dendam atau sakit hati. Tindakan ini mengakibatkan sakit, kematian, dan berbagai bentuk penderitaan lain."
Dari kajian sejarah Islam, kita juga mengenal kejadian-kejadian yang menyebutkan tentang adanya santet dengan berbagai derivasinya. Misalnya Nabi Musa AS pernah menghadapi tukang sihir Fir’aun yang kemudian dikalahkannya dengan mukjizat (kejadian luar biasa dari Allah yang diberikan kepada para utusannya) berupa tongkat yang berubah menjadi ular dan memakan ular-ular dari tukang sihir Fir’aun.
Dan masih banyak lagi kejadian misticisme dalam Islam yang dilakukan para penentang Rasul (kafir). Sehingga Nabi Muhammad Saw. Mensignalir dalam Haditsnya untuk mengantisipasi orang-orang Islam supaya menjauhi santet atau sihir. Nabi Saw menggolongkan santet atau sihir masuk di antara tujuh perkara yang merusak. Kata Rasul, "Jauhilah tujuh perkara yang merusak Para sahabat lantas bertanya: apa (tujuh perkara) itu, wahai Rasulullah?, Jawab Rasul: Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang dilindungi Allah kecuali dengan cara yang haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari menghindar saat berkobarnya perang dan menuduh zina wanita yang dilindungi yang beriman dan yang lupa (yang tidak pernah membayangkan untuk melakukannya). (diriwayatkan oleh Bukhari).
***
Dari Perspektif sosiologis masyarakat Indonesia, banyak atribut santet atau sihir kadang diatributkan kepada masyarakat tertentu. Sehingga dalam pemenuhan atau pencapaian tujuan yang dicapainya selalu menggunakan pendekatan magic atau mistis. Misalnya orang yang menginginkan mendapatkan wanita idamannya meggunakan sihir yang mereka sebut dengan jaran goyang.
Mereka yang ingin naik pangkat atau jabatan berusaha dengan meminta bantuan dukun atau spranatural tertentu. Orang yang menjalankan bisnis perdagangan, supaya dagangannya laris juga memakai bantuan ahli supranatural dengan memakai penglaris. Orang yang sedang menghadapi permusuhan atau kompetisi dalam meraih sesuatu, juga sering kita dapati di masyarakat menggunakan sihir atau santet dalam menghadapi musuhnya.
Maknanya dalam strutur sosial masyarakat Indonesia ini, santet sudah menjadi sebuah fakta sosial sehari-hari dalam berbagai bidang kehidupan. Baik bidang akademis, politis, bisnis ekonomis, teologis, maupun yuridis dapat berhubungan langsung dengan yang namanya santet atau ilmu hitam. Atau memang sebenarnya santet memang sudah menjadi budaya atau tradisi masyarakat Indonesia. Tesis ini berangkat dari fenomena yang ada di masyarakat kita sekarang ini, yang semakin maju negara kita, semakin cerdas masayarakat Indonesia, seolah-olah perspektif misticisme semakin menyatu dengan masyarakat.
Menurut penulis hal itu merupakan kecenderungan setiap manusia akan sandaran kepada sesuatu yang maha agung di luar diri manusia. Naluri spiritual sebenarnya selalu ada dalam setiap diri manusia, bagi yang manyadari terhadap dirinya sendiri. Atau kata lain pada dasarnya manusia secara umum pada nularinya terdapat agama dan kepercayaan akan adanya kekuatan di atas kekuatan manusia.
Hal ini dapat disimak bahwa pada masyarakat yang bagaimanapun corak peradabannya ternyata nilai-ilai misticisme merupakan kebutuhan yang fundamental untuk menuntaskan problematika dalam hidupnya. Sehingga tidak heran seandainya banyak masyarakat kita menyelesaikan problematika kehidupannya dengan jalan yang irasional. Dikarenakan, jalan yang rasioanal dianggap sudah tidak mampu untuk menyelesaikannya.
***
Hanya saja yang perlu di cermati oleh para pembuat regulasi di negeri ini adalah penggunaan media mistis tersebut jangan sampai meresahkan, atau menimbulkan penderitaan atau bahkan kebinasaan bagi yang lain. Untuk itu penting untuk mencermati terobosan tentang rancangan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan, orang yang berupaya menawarkan kemampuan magisnya bisa terancam pidana lima tahun penjara.
Aturan ini dituangkan pada Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum yang secara khusus dicantumkan dalam Pasal 293. Lebih jelasnya kutipannya sebagai berikut: (1) Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV;
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga."
Regulasi yang tercantum dalam perubahan KUHP tentang santet tersebut patut didukung, karena hal itu merupakan terobosan penting dalam menjalankan fungsi hukum yang mengakomodasi setiap dinamika yang ada dalam masyarakat.
Hanya saja yang menjadi persoalan adalah pembuktian santet atau sihir sulit dilakukan. Dengan sulitnya pembuktian dapat berakibat kepada subyektifitas produk hukum tentang santet.
Maka dari itu diharapkan KUHP tentang santet nanti dapat mencarikan solusi dari sekian problematika santet(ilmu hitam) yang semakin hari semakin akut, dengan mengedepankan obyektifitas produk hukumnya.
Penulis adalah Pengasuh PP al-Kamal Blitar dan Pengajar Pascasarjana STAIN Tulungagung