REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Saleh Partaonan Daulay*
Dunia pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan. Kementerian yang dipimpin Mohammad Nuh itu dinilai gagal menyelenggarakan ujian nasional secara serentak. Masalah utamanya, pencetakan dan distribusi soal ujian tidak tuntas sampai batas waktu pelaksanaan ujian.
Kasus seperti ini tidak sepatutnya terjadi. Pasalnya, anggaran dan waktu pelaksanaan telah ditetapkan jauh hari sebelumnya. Lagi pula, UN adalah rutinitas tahunan yang menjadi program andalan pemerintah dalam mengevaluasi tingkat keberhasilan kegiatan belajar mengajar (KBM).
Ini bukan kali pertama kemendikbud menjadi sorotan publik. Sejak beberapa tahun terakhir, banyak pihak yang telah menyampaikan kritik dan penolakan terhadap UN. Namun, kemendikbud tetap bersikukuh untuk mempermanenkan penyelenggaraan UN.
Sarat Masalah
Setiap kali dilaksanakan, UN tidak pernah sepi dari masalah. Pada tahun 2012 lalu, publik dikejutkan dengan adanya pemberitaan tentang kebocoran kunci jawaban UN di Jombang, Jawa Timur. Menyikapi hal itu, mendikbud kala itu hanya menyatakan akan segera menurunkan tim verifikasi ke lapangan. Sementara hasil dari verifikasi itu tidak pernah disampaikan ke publik.
Kasus yang paling banyak disoroti terjadi pada tahun 2011 lalu. Ketika itu, seorang Ibu bernama Siami (32) membongkar kecurangan saat ujian nasional di sekolah anaknya, Alif (13), di SDN 2 Gadel, Surabaya. Atas upayanya itu, Siami dan Alif sempat diusir dari tempat tinggalnya. Kasus pengusiran itu merupakan bukti dimana masyarakat terpaksa 'menikmati' ketidakjujuran akibat kebijakan UN yang semakin ketat.
Selain kedua kasus di atas, masih banyak praktik penyimpangan dalam pelaksanaan UN yang diduga dilakukan secara sistematis oleh pihak sekolah dan oknum pejabat kemendikbud di daerah. Tidak salah bila banyak kalangan yang berkesimpulan bahwa UN justru menimbulkan ketidakjujuran di kalangan lembaga-lembaga pendidikan dan juga para peserta didik.
Sejauh ini, UN telah menjadi momok yang menakutkan bagi siswa dan juga para guru. Siswa takut UN karena khawatir tidak lulus. Sementara, guru takut dengan UN karena bila siswanya banyak yang tidak lulus otomatis akan menjatuhkan reputasi sekolahnya. Akhirnya, siswa dan guru menghalalkan segala cara agar bisa mendapat hasil maksimal pada UN. Akibatnya, para siswa dilegalkan dan bahkan dianjurkan menyontek.
Kasus Keterlambatan
Keterlambatan pencetakan dan pendistribusian soal UN pada 2013 bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Ada banyak faktor yang mengiringinya. Mulai dari persoalan teknis pembuatan soal dan lelang sampai pada masalah kebijakan baru kemendikbud.
Untuk UN kali ini, konon kemendikbud menyiapkan 30 versi soal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari praktik nyontek di antara sesama peserta ujian. Niat ini sepintas memang sangat bagus. Namun, kebijakan itu berdampak pada hal teknis lain.
Dengan 30 versi soal, pihak pembuat soal dipastikan akan mengalami kesulitan. Pasalnya, walau berbeda, tingkat kesulitan antara satu soal dengan soal lain harus setara. Untuk penyetaraan soal itu tentu dibutuhkan waktu lebih lama. Selain itu, dibutuhkan banyak tenaga ahli untuk menyelesaikannya.
Kesulitan lain akan terjadi pada saat proses pencetakan. Mencentak 30 versi soal bukanlah hal mudah. Selain menyiapkan lebih banyak master film pencetakan, pihak percetakan juga harus melakukan lebih banyak pekerjaan untuk mengklasifikasi semua lembaran-lembaran soal agar tidak campur aduk antara satu set versi soal dengan versi soal lain. Tugas lain yang tidak kalah penting adalah proses pendistribusian soal ke daerah-daerah. Luasnya jangkauan wilayah Indonesia menyebabkan pendistribusian soal UN memakan waktu lebih lama.
Kebijakan diversifikasi soal itu ternyata tidak mudah diimplementasikan. Kerumitan-kerumitan baru yang tidak diduga sebelumnya muncul. Niat agar para peserta UN tidak saling menyontek malah menyebabkan sebagian peserta terpaksa tidak bisa ikut ujian tepat waktu.
Ironisnya, kebocoran soal dan praktik kecurangan pada UN kali ini belum bisa diatasi. Beberapa orang teman yang berprofesi sebagai guru membenarkan hal itu. Walau belum terpublikasi, bukan berarti praktik kecurangan itu nihil. Hampir semua guru mengetahuinya. Mereka hanya TST (tahu sama tahu) tanpa berusaha mencegahnya.
Hapus UN
Di era kontemporer seperti saat ini, banyak metode evaluasi KBM lain yang bisa diterapkan. Untuk menguji kemampuan para siswa, tidak bisa disamaratakan secara nasional. Adalah fakta bahwa sarana prasarana pendidikan di daerah terpencil tertinggal jauh dari yang dimiliki oleh mereka yang belajar di perkotaan.
Selain itu, boleh jadi seorang anak lemah dalam matematika, bahasa Indonesia, dan IPA, tetapi bisa saja dia sangat menguasai kesenian. Lalu mengapa pemerintah harus memaksa dia untuk lulus matematika dan mengabaikan bakat alamiah yang dipunyainya? Berapa banyak orang yang bisa survive dan mendatangkan kebaikan dengan hanya menguasai kesenian?
Selain itu, evaluasi pendidikan semestinya dilakukan secara komprehensif. Seseorang tidak bisa dikatakan cerdas jika hanya memiliki kecerdasan intelektual. Kecerdasan spiritual dan emosionalnya juga penting dinilai. Dalam konteks ini, evaluasi pendidikan harus menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik secara bersamaan. Melalui UN, hal itu tidak mungkin dilakukan.
Karena itu, sangatlah beralasan bila banyak pihak yang menuntut agar pemerintah menghapus UN. Sebagai gantinya, evaluasi pendidikan bisa dikembalikan ke sekolah (school based evaluation). Para guru yang mendidik mereka setiap hari pasti mengetahui siapa di antara siswanya yang pintar, nakal, berbakat, dan lain sebagainya. Agar evaluasi berjalan seperti yang diinginkan, kemendikbud bisa saja memaksimalkan fungsi para pengawas sekolah. Dengan begitu, pihak sekolah juga tidak sembarangan melakukan evaluasi dan meluluskan para siswanya.
*Penulis adalah Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.