REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Irsyad DS Suhaeb
Serangan bom saat perlombaan lari marathon di Boston, AS, (15/4), telah menewaskan tiga orang dan mencederai lebih dari 140 orang. Indikasi serangan tersebut sebagai sebuah kegiatan terorisme telah diungkapkan oleh beberapa senator AS, namun pernyataan pertama Obama atas serangan tersebut justru tidak menggunakan kata teroris.
Hal ini mendapat tanggapan, baik dari dalam maupun luar AS, khususnya mengenai bagaimana pendapat Obama terhadap persoalan terorisme. Pada saat itu, seorang pejabat Gedung Putih langsung menyatakan bahwa apa yang dimaksudkan oleh Obama atas serangan ini sebenarnya adalah tindakan teroris, yang kemudian diiyakan oleh Obama pada pernyataan keduanya.
Menarik untuk dibahas ketika muncul pertanyaan mengapa Obama pada pernyataan pertama tidak menyebut kata teroris itu. Terlepas dari perdebatan yang menyatakan bahwa serangan tersebut sebagai aksi teror dengan pernyataan yang menerangkan bahwa Obama berhati-hati dalam pernyataannya, itu memperlihatkan bagaimana garis besar kebijakan AS terorisme saat ini. Untuk melihat gambaran ini, akan lebih mudah bila dibandingkan kebijakan terorisme pada pemerintahan Bush dan Obama.
Administrasi Bush-Chenney merumuskan kebijakan terorisme AS yang mendunia dengan war against terrorism, yang berubah menjadi global war on terrorism. Oleh Byford (McDonnell:2010), pengungkapan istilah ini dianggap tidak tepat dan hanya merupakan kegiatan retorika yang dibesar-besarkan serta berimplikasi untuk disalahgunakan secara berlebihan.
Untuk istilah itu sendiri, ia menyatakan, "Wars have typically been fought against proper nouns (Germany, say) that proper nouns can surrender… not to do it again. Wars against …poverty, crime, drugs… less successful. Such opponents never give up. The war on terrorism, unfortunately, falls into the second category".
Namun demikian, bagi Bush-Chenney, program ini memberi pembenaran untuk membuat kebijakan terorisme yang lebih bebas dan keleluasan penggunaan militer. Selain itu, program ini juga dibuat sebagai justifikasi AS ketika menyerang Irak dengan alasan bahwa Saddam Hussein adalah pendukung Alqaidah meski banyak fakta memperlihatkan Saddam justru dibenci oleh Usamah bin Ladin atau oleh fundamentalis Alqaidah lainnya seperti Al-Zawahiri.
Meski pada awalnya program ini dikumandangkan oleh AS, masyarakat negara tersebut dan komunitas internasional gembira akan harapan penanggulangan terorisme dan tingkat keamanan membaik, implementasi war on terrorism justru sering tidak mengindahkan aturan hukum internasional. Pelaksanaan program tersebut juga sering dianggap berlebihan, sehingga justru dikhawatirkan menjadi bumerang bagi tingkat keamanan masyarakat AS itu sendiri serta tidak menuntaskan kegiatan terorisme internasional. Terlebih ketika masyarakat internasional menduga bahwa AS ternyata mempunyai maksud penguasaan potensi minyak ketika menyerang Irak.
Kebijakan terorisme AS
Buruknya reputasi AS dalam program war on terrorism diupayakan berubah oleh administrasi Obama dengan mencoba memberi kesan positif dalam penyelenggaraan kebijakan terorisme. Upaya Obama untuk menutup Penjara Guantanamo Bay serta menjanjikan kegiatan CIA untuk tidak menggunakan penyiksaan pada tahanan Guantanamo di tahun pertama pemerintahannya ternyata efektif memberi citra yang lebih baik bagi AS dalam kebijakan terorisme serta perlindungan hak asasi manusia.
Selain itu, Obama juga memperbaiki hubungan dengan negara-negara berpenduduk Muslim untuk membantah pandangan yang selama ini mengatakan bahwa Islam sebagai akar terorisme, serta tidak banyak mempertontonkan promosi kebijakan AS dalam menumpas kegiatan terorisme. Kebijakan terorisme yang dijalankan oleh Obama ini justru membingungkan kalangan politik AS sebab tidak memperlihatkan arah yang lebih jelas.
Hal ini terlihat dengan tidak jelasnya bagaimana bentuk penanganan para bekas tahanan terorisme dari Guantanamo Bay. Selain itu, Obama juga tidak merespons dengan baik ketika ada argumen untuk memperbarui keputusan kongres untuk Justifikasi Penggunaan Tindakan Militer (AUMF-2001) dalam menghadapi tindakan terorisme bagi masa depan AS karena cenderung bertentangan dengan rule of law.
Sehubungan dengan serangan bom di Boston, Obama kembali memperlihatkan bagaimana tidak jelasnya kebijakan AS dalam hal terorisme ini dengan berhati-hati menyatakan bahwa serangan tersebut sebagai tindakan terorisme pada awal komentarnya. Dari gambaran ini, dapat dilihat dari alasan bahwa, pertama, Obama kembali memperlihatkan upaya AS dalam memperbaiki reputasi Amerika sebagai negara yang tetap menindak upaya terorisme namun sesuai dengan hukum internasional serta penghormatan pada hak asasi manusia.
Hal ini dilakukan agar euforia war on terrorism-oriented policy seperti yang dilakukan pada pemerintahan Bush-Chenney yang cenderung berdampak negatif tidak terulang. Kedua, mungkin ada kekhawatiran Obama bila menggunakan kata teroris akan memperlemah kebijakan yang telah pernah diambilnya sehubungan dengan tidak gencarnya kebijakannya dalam mengawasi ancaman terorisme, yang sekaligus akan memperlihatkan kerapuhan tingkat keamanan AS.
Ini tentunya akan mengganggu stabilitas politik dan ekonomi AS. Namun demikian, bila hasil penyelidikan serangan bom di Boston dinyatakan sebagai tindakan terorisme, maka dapat diestimasi bahwa eskalasi kebijakan terorisme AS di bawah administrasi Obama akan mengalami perubahan.
Fokus kebijakan Obama terhadap ancaman terorisme yang tadinya hanya bersifat simbolis semata akan berubah pada substansi kebijakan yang lebih jelas. Dapat pula dibayangkan bahwa konteks dan lingkup kebijakan terorisme AS seperti yang tercantum dalam AUMF akan menjadi lebih luas dan jelas. n
Dosen Universitas Negeri Makassar