Selasa 30 Apr 2013 06:48 WIB

Dakwah Kontemporer Uje

Ustad Jefri Al Buchori
Foto: REPUBLIKA/ YOGI ARDHI
Ustad Jefri Al Buchori

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Syamsul Hidayat

Jumat, 26 April 2013, umat Islam Indonesia ditinggalkan salah seorang dai yang memiliki penampilan khas dengan dakwah melalui potensi budaya masyarakatnya. Dakwah yang begitu santun sekaligus mengakar pada umat dan jamaahnya. Dialah al-Ustaz Jefri al-Buchori.

Berpulangnya ustaz yang akrab disapa Uje, insya Allah tidak akan meredupkan tumbuh dan kembang dakwah gaya baru yang sering disebut “dakwatainment”, yakni dakwah yang menghibur, mendamaikan hati, dan meringankan beban hidup. Setelah ini, diharapkan akan terus lahir “Uje-Uje” dengan lahirnya fikih dakwah baru.

Sejak era 2000-an Uje memang menjadi fenomena, khususnya di dunia dakwah. Dakwah santun serta menghibur membuatnya digemari oleh generasi muda. Beliau menggandeng artis-artis Muslim untuk ikut serta membumikan Islam di kalangan muda dengan bahasa anak muda.

Pada era 2000-an, tepatnya pada akhir 2000 dan awal 2001, Muhammadiyah melalui Sidang Tanwir di Denpasar Bali melahirkan gagasan dan konsep dakwah kultural. Metode ini menjadi upaya mengembangkan jaringan dan pendekatan dakwah yang akan menjadi langkah dakwah Muhammadiyah. Sebenarnya, di era itu pula lahir sosok dai yang bisa dikatakan sebagai the real dakwah kultural.

Muhammadiyah menyadari bahwa perkembangan masyarakat dengan segala potensi budaya dan kulturalnya, terlebih pada era multikultural, memerlukan berbagai pendekatan dakwah Islam. Artinya, dakwah Islam di samping harus selalu berpegang teguh kepada Alquran dan sunah, diorganisasikan dengan organisasi yang rapi dan tertib, juga harus disertai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengenal masyarakat dakwah. Karena, dengan mengenal karakter dan potensi yang ada pada masyarakat dakwah Muhammadiyah akan dapat menyentuh semua lapisan umat dan masyarakat.

Ustaz Jefri lahir dari keluarga yang memiliki komitmen kuat terhadap agama. Neneknya seorang kiai, ibunya seorang mubaligah, begitupun kakaknya, seorang dai yang banyak memberikan tausiyah kepada umat Islam. Uje lahir menjadi sosok dai atau mubaligh yang ditempa tidak saja oleh ilmunya dari keluarga dan pesantren, tetapi juga oleh pengalaman dan dinamika hidup sebagai seorang praktisi seni peran, bahkan pernah terperosok ke dunia kelam narkoba.

Namun, Allah telah mengangkat semua dinamika dan lika-liku pengalaman hidup itu menjadi potensi yang luar biasa dalam dakwah untuk menebarkan Islam di semua kalangan. Pengalaman hidup Uje dengan segala dinamikanya seolah menjadi inspirator bagi Uje sendiri untuk melahirkan langkah konkret dakwah kultural dalam arti yang sebenarnya.

Gagasan organisasional dakwah kultural yang dilahirkan oleh Muhammadiyah agaknya memperoleh bentuk konkret dalam sosok Uje. Artinya, kalau dai-dai seperti Uje ini dihimpun dalam jaringan organisasi dan manajemen yang rapi, kemudian satu sama lain bahu-membahu, tentu akan menjadi kekuatan untuk menghadirkan Islam yang lebih kompatibel bagi bangsa Indonesia.

Mungkin, praktiknya bisa dengan berbagi tugas dan peran sesuai dengan potensi masing-masing. Tapi, selalu ada komunikasi dan koordinasi sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dan konflik internal.

 

Fikih dakwah baru

Agaknya, perlu segera dilahirkan fikih dakwah dan tabligh baru yang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin kompleks. Fikih baru itu bukan untuk mengubah manhaj (kaidah) dan mabda (prinsip) dakwah Islam, melainkan untuk mengembangkan pendekatan dan memperluas jaringan dakwah.

Uje bisa menjadi inspirator bagi pengembangan fikih dakwah baru, khususnya dalam dalam bidang tariqah (metode dan pendekatan) dan uslub (gaya dan model) dakwah, dengan lebih memperhatikan potensi dan budaya yang dimiliki oleh sasaran dakwah. di samping itu, diperlukan perluasan jaringan dakwah dan itulah yang disebut dengan dakwah kultural.

Dalam dakwah kultural ala Uje, seorang dai telah melihat potensi anak muda dengan segala minat dan bakat. Dengan menyelami minat, bakat, dan potensinya, Uje bisa melaksanakan dakwah dengan bergaul dan bergumul dengan mereka tanpa jarak, sehingga pesan-pesan Islam benar-benar dapat diterima mereka dengan hati terbuka.

Ini tentu dapat diterapkan oleh para dai yang lain yang memiliki sasaran dakwah yang berbeda, misalnya, masyarakat petani di pedesaan atau anak jalanan dan sebagainya. Seorang dai dapat menyelami segala relung kehidupan dengan segala potensi, minat, dan bakat yang dimiliki masyarakat.

Kalau dalam riset ada sebutan riset aksi partisipatori, dakwah pun dapat dikembangkan menjadi dakwah partisipatori. Maka, dai sekaligus seorang peneliti yang hasil penelitiannya dapat digunakan untuk merancang tindakan nyata dakwah.

Dan, ini sebenarnya telah menjadi istilah lama dalam dunia dakwah, yakni dakwah bil hal atau lebih tepatnya dakwah bi lisanil hal. Selamat jalan sang maestro dakwah gaul. Meskipun jasadmu telah terkubur, gema dakwahmu akan tetap hidup. Nasrun minallah. n

Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Dosen FAI-UMS Solo

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement