REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Fatin Rohmah Nur Wahidah
Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan bangsa Indonesia pun salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka tidak ada alasan negara untuk mengelak dari amanat undang-undang tersebut. Didukung oleh pasal 31 dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang. Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Dasar hukum dari undang-undang telah jelas. Artinya pendidikan adalah hal utama bagi setiap warga negara Indonesia.
Disebutkan bahwa pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan yang dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, diharapkan dapat memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Artinya, sebuah pendidikan dirancang untuk dapat mencerdaskan kehidupan bangsa hingga memajukan peradaban serta kesejahteraan umat. Bila maksud yang baik dari pendidikan ini tidak dilaksanakan, maka bisa jadi tidak ada lagi kemajuan peradaban bangsa yang cerdas dan sejahtera.
Guna mewujudkan hal tersebut, salah satu kebijakan pemerintah yang kini tengah diupayakan adalah menyelenggarakan program wajib belajar 12 tahun, yang menurut undang-undang sistem pendidikan nasional pasal 1, program ini harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia. Menteri pendidikan dan kebudayaan, Muhammad Nuh, dalam sambutannya di acara Peringatan Hari Guru Nasional 2012 dan HUT ke-67 PGRI pun mengatakan bahwa agenda yang sedang dibuatnya kini adalah memperluas akses semua anak bangsa dalam dunia pendidikan. Semua anak bangsa berarti semua anak yang menjadi bagian dari bangsa Indonesia dimana pun ia berada, tak terkecuali anak-anak yang berada dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, jumlah narapidana anak (anak didik pemasyarakatan) meningkat dari 5.630 anak pada Maret 2008 menjadi 6.308 anak pada awal tahun 2010. Selama menjalani hukuman, banyak anak kehilangan berbagai haknya, seperti hak kebebasan, hak tumbuh kembang, termasuk hak memperoleh pendidikan.
Pada hakikatnya warga binaan pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia harus diperlakukan dengan baik, termasuk terpenuhi hak pendidikan bagi anak-anak di Lapas. Meskipun mereka berada pada lembaga permasyarakatan tetapi hak pendidikan mereka tidak boleh diabaikan. Memperkuat sekolah di Lapas dengan membuka akses bagi penghuni khususnya Lapas anak adalah hal yang patut diperhatikan agar anak-anak tetap dapat menimba ilmu dan melanjutkan pendidikannya.
Bila anak Lapas tidak mendapat pendidikan yang memadai, mereka tidak dapat memiliki bekal ilmu yang baik setelah menghirup udara bebas untuk menghadapi dunia di luar penjara yang kompetitif. Mereka akan terisolasi, tidak dapat mengaktualisasikan diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menjadi bodoh dan tertinggal sehingga kemungkinan besar mereka dikucilkan dan tidak dapat diterima sekembalinya mereka ke tengah-tengah masyarakat.
Dampak besar dari itu, Indonesia akan kekurangan individu dan sumber daya yang baik, berkarakter, dan mampu memajukan peradaban serta kesejahteraan umat dikarenakan tidak mampu memperluas jangkauan pendidikannya hingga Lapas Anak.
Keberadaan guru sebagai pengajar menjadi salah satu faktor penting yang patut diperhatikan. Sebagaimana disebutkan juga oleh M. Nuh yang menekankan dua hal yang perlu diperhatikan agar pendidikan semakin berkualitas, yaitu kurikulum dan guru. Guru tidak dapat dilepaskan dalam proses pendidikan.
Dalam kelas, ia membantu siswa memahami materi pelajaran dan melakukan pembinaan pada anak didiknya. Ia juga dijadikan pantan sebagaimana yang diungkapkan masyarakat Jawa bahwa guru itu ‘digugu lan ditiru’. Artinya digugu adalah dipercaya, diikuti, dijadikan rujukan sedangkan ditiru artinya dicontoh atau menjadi panutan.
Santrock menyatakan bahwa guru berkontribusi dalam proses belajar siswa. Ia dapat menjadi memberi penjelasan terkait materi, mengembangkan pengetahuan siswa dengan pertanyaan-pertanyaan, memberikan tugas yang dapat menambah pengetahuan siswa, memberikan motivasi belajar, menjadi teman bagi siswa, menjalin komunikasi yang baik dengan siswa, dan membantu meningkatkan pemahaman serta pengetahuan siswa.
Bila mengacu pada tujuan pendidikan nasional Indonesia, dapat ditambahkan bahwa guru yang baik juga setidaknya mampu mengupayakan anak didiknya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Salah satu prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan menurut Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
Dalam hal ini prinsip penyelenggaraan pendidikan sudah dijelaskan dengan memberi teladan, memotivasi, dan mengembangkan diri siswa. Artinya, keberadaan guru semakin penting dirasakan sebagai salah satu pihak yang turut berperan mewujudkan hal tersebut.
Namun pada kenyataannya, adanya guru untuk mengajar pendidikan di Lapas berkualitas rendah masih sedikit. Jangan dulu bicara masalah guru yang harusnya melakukan tugas dan perannya karena jumlahnya saja masih minim. Kualifikasi dan jumlah guru di Lapas tidak memadai. Guru yang ada bukan berasal dari lulusan keguruan karena rata-rata lulusan SMA/sederajat.
Jumlah guru di Lapas ini hingga 2005 untuk SD, SMP, dan paket C sebanyak 40 orang dengan jumlah siswanya sebanyak 284 anak. Yang mendapat tugas sebagai guru bagi anak-anak penghuni Lapas di Tangerang berusia di bawah usia 15 tahun adalah sejumlah pegawai Lapas Anak Tangerang dan beberapa anggota masyarakat. Pihak Lapas tidak bisa mendatangkan guru karena keterbatasan dana sehingga pihak Lapas ini bekerja sama dengan sekolah lain sebagai induknya.
Guru, tentu menjadi hal penting yang dibutuhkan kini di Lapas Anak. Kualitas guru yang baik dan tentunya kuantitas yang memadai, akan dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan di Lapas Anak. Sehingga anak-anak Lapas juga semakin memiliki harapan masa depan. Dibutuhkan upaya serius pemerintah maupun masyarakat untuk menyelesaikan masalah kekurangan guru di Lapas Anak. Satu lagi pe-er masalah bangsa yang perlu diselesaikan. Semoga kita dapat menjadi bagian dalam pemecahan masalah bangsa tercinta ini. Semoga.
Mahasiswa Fakultas Psikologi UI