REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Agussalim*
Pemilihan Presiden ke-11 Republik Islam Iran yang berlangsung pada Jumat 14 Juni 2013 secara mengejutkan dimenangi oleh Hassan Rowhani dengan raihan suara 18,6 juta atau 50,68 persen. Raihan suara mayoritas ini secara otomatis mengantarkan yang bersangkutan sebagai presiden Iran menggantikan Mahmud Ahmadinejad.
Kemenangan Rowhani, sosok yang dikenal sebagai seorang ulama moderat, sederhana, dan reformis atas tujuh pesaingnya dalam pemilihan presiden Iran sesungguhnya dalam persektif studi internasional tidak ada jaminan akan terjadinya perubahan politik luar negeri pada negara para Mullah tersebut. Terpilihnya Rowhani tentu saja memunculkan harapan dan tanggapan positif dari Amerika Serikat dan negara-negara sekutu lainnya di Uni Eropa.
Mereka menaruh harapan besar terhadap presiden terpilih Iran untuk kemudian membuka peluang jalur komunikasi yang lebih akomodatif terhadap dunia luar pada masa yang akan datang, lebih-lebih pada negara yang salama ini berseberangan dengan Iran. Respons dunia internasional yang diwakili oleh Gedung Putih terbaca lewat ucapan selamat atas kemenangan Rowhani, semakin menunjukkan sinyal kuat akan adanya solusi diplomatik untuk proyek nuklir Iran.
Dalam rilisnya, Gedung Putih menyatakan penghormatan setinggi-tingginya atas pilihan rakyat Iran dan mengucapkan selamat kepada mereka dalam proses politik serta keberanian mereka, sehingga membuat suara mereka didengar. Ini merupakan harapan besar masyarakat dunia bahwa Pemerintah Iran akan mengindahkan kehendak rakyatnya dan membuat pilihan yang bertanggung jawab dalam menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Iran.
Hal senada diungkapkan pula oleh negara-negara Uni Eropa atas kemenangan Rowhani. Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton menyampaikan komitmennya untuk bekerja sama dengan pemimpin baru Iran melalui solusi diplomatik atas isu nuklir. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius menyampaikan hal yang seirama bahwa komunitas internasional punya harapan dan kesiapan untuk bekerja sama dengan presiden terpilih Iran, terutama mengenai program nuklir dan keterlibatannya di Suriah.
Pergantian presiden di Iran tidak serta-merta dapat mengubah kebijakan luar negeri Iran dari konfrontatif menjadi akomodatif terhadap Barat. Setidaknya ada dua isu utama politik luar negeri Iran yang segera dihadapi oleh Rowhani. Pertama, isu nuklir yang akan berhadapan langsung dengan AS dan para sekutunya. Kedua, isu regional khususnya konflik Palestina versus Israel dan dukungan negara tersebut pada presiden Suriah Bashar al-Assad.
Dalam isu nuklir, sepertinya tidak akan terjadi perubahan mendasar di bawah kepemimpinan Rowhani, mengingat sistem politik yang berlaku di Iran, terutama struktur kekuasaan tertinggi bukanlah dipegang oleh seorang presiden, tetapi ditempati oleh supreme leader (SL). Hingga saat ini, SL pertama adalah Ayatullah Ruhullah Khomeini dan ketika wafat digantikan oleh Ayatollah Ali Khamenei.
Menurut konstitusi Iran, SL berperan untuk menjaga dan mengawasi kebijakan umum Republik Islam Iran dan secara implementatif merancang dan mengarahkan politik dalam negeri dan luar negeri Iran. Khamenei sehari sebelum pemilihan presiden sudah menegaskan bahwa siapa pun presiden Iran mendatang harus menolak berkompromi dengan Barat, karena itu tidak akan meredakan ketegangan sengketa nuklir mereka dan juga meminta para calon presiden berjanji untuk tidak mendahulukan kepentingan asing dari kepentingan rakyat Iran.
Khamenei menjadi pengambil keputusan tertinggi di Iran dan memiliki hak penuh dalam memutuskan berbagai hal, termasuk program nuklir. Sementara Rowhani dalam kampanyenya juga mengatakan bahwa sanksi yang dipimpin Amerika Serikat dan Barat terhadap Republik Islam Iran selama ini adalah kejam dan tidak dapat dibenarkan. Maka, bisa dipastikan sikap politik Iran terhadap isu nuklir tidak akan mengalami perubahan yang serius.
Perubahan barang kali terjadi dalam aspek diplomasi yang lebih halus dan tidak terlalu konfrontatif seperti yang dilakukan oleh Ahmadinejad sebelumnya. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan Rowhani dalam kampanyenya bahwa interaksi dengan dunia luar berdasarkan logika, bukan dengan kasar dan kekerasan.
Dalam konteks isu regional, politik luar negeri Iran lebih pada posisinya dalam konflik Palestina/Arab versus Israel dan persoalan Suriah. Berbeda dengan sejumlah negara di kawasan Arab yang moderat mendukung perundingan damai yang disponsori Amerika Serikat. Sedangkan Iran memandang bahwa keberadaan negara Zionis Israel merupakan konspirasi negara-negara Barat untuk menjajah negara-negara Islam dengan memasang negara boneka Israel persis di jantung Timur Tengah.
Karena itulah, Iran tidak pernah menyokong proses perundingan dengan Israel. Demikian pula halnya dalam hal konflik Suriah, di mana Liga Arab melihat solusi satu-satunya untuk menyelesaikan konflik di Suriah adalah Bashar Assad harus mundur dari takhta kepresidenan. Sedangkan Iran, bersama dengan Rusia dan Cina, justru pendukung utama rezim penguasa Presiden Assad.
Bahkan, Khamenie dengan tegas mengatakan bahwa konflik Suriah bukanlah konflik antara Syi’ah dan Suni, namun yang terjadi adalah konflik antara pendukung dan penentang perlawanan anti-Zionis. Dengan demikian, terlihat bahwa masalah-masalah krusial, seperti program nuklir Iran, posisinya dalam konflik Arab/Palestina versus Israel dan dukungan negeri itu atas Suriah, masih merupakan wewenang pemimpin tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Meskipun Rowhani sendiri melihat kemenangannya sebagai kemenangan dari suatu kebijakan, kemenangan kelompok moderat, kemenangan sebuah komitmen atas ektremisme, bagaimanapun kebijakan luar negeri Iran sangat tergantung pada sikap dan pandangan supreme leader dalam hal ini adalah Ayatollah Ali Khamenei.
Dengan berpegang dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip konstitusi, dapat dipastikan bahwa kebijakan luar negeri Iran di bawah Rowhani tidak akan mengalami perubahan mendasar dibanding dengan presiden sebelumnya. Meskipun Iran dengan presiden baru tetap saja dengan menampakkan wajah lama dalam politik luar negerinya. n
*Dosen Ilmu Hubungan Internasional UPN "Veteran", Kandidat Doktor International Studies di Universiti Utara Malaysia