REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Azis Anwar Fachrudin*
Gejolak politik yang terjadi di Turki belakangan ini, menjadi ujian bagi pemerintahan Recep Tayyib Erdogan. Lebih tepatnya, ini ujian bagi rezim Islamis, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), dalam menghadapi kaum sekularis. Sebab, gejolak ini bisa diukur bagaimana respons Islamis berhadapan dengan tantangan “kebebasan”.
Gejolak di Turki itu bermula dari Taman Gezi, alun-alun Taksim, Kota Istanbul. Sekelompok warga Turki menentang penggusuran Taman Gezi, yang hendak diganti oleh pemerintah dengan replika barak militer zaman Utsmani.
Muncul kecurigaan bahwa di Taman Gezi juga akan dibangun perumahan elite dan pusat perbelanjaan. Aktivis peduli pelestarian lingkungan protes. Polisi merespons dengan tindakan represif. Lalu aksi protes itu merebak luas ke hampir tiap penjuru Turki.
Ada ratusan demonstran di 67 titik sejak munculnya insiden Taman Gezi. Lebih dari 1.000 orang yang ditangkap. Beberapa tewas dan ratusan terluka. Protes meluas dan merembet ke kritik terhadap kebijakan politik Erdogan dan menuntutnya untuk mundur.
Taksim menjadi simbol medan persaingan politik. Taksim pernah mengalami beberapa perombakan sebagai metafora tentang representasi dari rezim di negeri itu, baik sekularis, militer, maupun yang sekarang, Islamis. Ketika AKP menang pada 2002, rezim Erdogan berkehendak melakukan perombakan terhadap Taksim.
Momentum perlawanan
Argumen di balik upaya perombakan itu, antara lain, Taksim pernah menjadi ruang hegemonis kelompok Kemalis. Oposisi utama, Partai Rakyat Republik (CHP), yang berkecenderungan kiri juga berbasis di Taksim.
Dengan merombak Taman Gezi menjadi masjid dan simbol Utsmani, rezim Erdogan hendak mengubah konstelasi ruang publik: membendung hegemoni dan memori tentang sekularisme-Kemalis. Gejolak di Taman Gezi masih tentang perseteruan lama: Islamis vs sekularis.
Yang terjadi kemudian, gejolak di Taman Gezi itu berubah menjadi momentum perlawanan bagi kaum oposisi. Rentetan demonstrasi membawa kepentingan yang beragam. Para suporter bola dan ibu-ibu, bahkan kaum tua, dikabarkan ikut turun ke jalan. Bentrok dengan polisi semakin menambah dramatis aksi protes itu. Singkatnya, aksi protes menuntut agar Erdogan segera turun tahta.
Hal ini, di antaranya, disebabkan sikap politik Erdogan yang represif dan mengekang kebebasan. Tentu saja ini berdasar paham sekularisme yang memprivatisasi agama dari ruang publik.
Sikap represif itu didukung beberapa alasan. Pertama, tiadanya proses dialogis dengan pihak pemerintah terhadap aksi kekerasan polisi. Kedua, adanya undang-undang tentang pembatasan alkohol di malam hari, yang diberlakukan sejak sepekan sebelum aksi protes meledak. Kaum Kemalis menolak undang-undang yang bertentangan dengan asas sekularisme itu.
Yang jelas, respons balik yang berlebihan dari pemerintah menjadikan kekerasan polisi itu sebagai momentum untuk menyatukan berbagai orientasi politik dalam satu kepentingan: melawan Islamisme AKP.
Di tubuh para demonstran, sebenarnya ada beragam irisan kelompok: dari kalangan aktivis lingkungan sampai oposan. Islamis menjadi musuh bersama. Islamis juga ditafsirkan sebagai simbol otoritarianisme yang dilawan oleh pluralitas rakyat Turki.
Yang agak disayangkan, komentar dari rezim Erdogan menampakkan sikap berlebihan. Erdogan menyatakan aksi protes itu dipicu, antara lain, terlalu bebasnya penggunaan jejaring sosial, sehingga rentan dipakai untuk memobilisasi massa. Sikap reaktif dari rezim AKP ini hampir sama dengan sikap rezim-rezim diktator Arab yang sudah lengser keprabon.
Arab Spring?
Pertanyaannya: apakah Arab Spring (musim semi Arab) itu kini hendak menjalar ke Turki? Terlalu dini untuk menjawab 'ya'. Meski itu menjadi gerakan protes terbesar sejak AKP memerintah Turki, “jasa” AKP masih cukup besar membayangi alasan untuk menuntut mundur Erdogan.
Selama ini, AKP berhasil meningkatkan kesejahteraan ekonomi Turki. Gaya politik Erdogan yang kharismatik, membuatnya memiliki banyak loyalis. Apalagi, jejaring Islamis AKP cukup kuat di akar bawah. Militer tenang di baraknya, tak bisa dilepaskan dari upaya AKP.
Dalam soal kebijakan luar negeri, Turki kini layak dianggap sebagai pemain baru yang mampu berperan penting dalam geopolitik Timur Tengah. Posisi ini tentu membawa nilai tawar besar bagi AKP. Erdogan masih bisa percaya diri untuk meredam riak-riak protes dan menguatnya oposisi.
Hanya saja, aksi protes di Taksim itu tak bisa dianggap angin lalu oleh rezim AKP. Betapapun bagusnya catatan rapor AKP, aksi protes itu adalah alarm (peringatan) bagi Turki bahwa kebijakan politisnya perlu ditinjau kembali.
Belakangan sikap politik AKP mulai cenderung monolotik. Hingga artikel ini ditulis pun belum ada tawaran solusi dari Erdogan yang mampu memuaskan kedua belah pihak. Sebaliknya, Erdogan menanggapinya dengan keras. Pendekatan monolitik yang demikian bisa menjadi “amunisi” bagi oposisi untuk menyudutkan gaya Islamisme AKP. Artinya, politik represif AKP terhadap kebebasan berekspresi ala sekularisme menjadi batu sandung bagi stabilitas AKP sendiri.
Maka, pilihan solusi yang terbentang di depan AKP ada dua. Pertama, AKP akan memaksakan kebijakan Islamisnya yang hendak mengikis hegemoni Kemalis via manuver Taksim itu. Opsi ini bisa berujung pada perlawanan keras dari kaum sekularis, terutama para oposan kiri, mungkin juga sebagian kelompok militer.
Opsi kedua, AKP mengendurkan manuver represifnya dalam kasus Taksim itu. Opsi ini terkesan pragmatis dalam hitungan idealisme Islamis. Namun demikain, opsi inilah yang relatif menjamin stabilitas politik Turki di bawah AKP.
Kedua pilihan itu bukan hal yang mudah diambil. Islamis ala AKP Turki yang sedang dilirik banyak partai Islam di negara-negara Muslim sedang diuji.
*Koordinator Forum Studi Arab dan Islam (FSAI). Pengajar di Ponpes Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta.