REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Achmad Zamroni*
Islam adalah agama dari Allah SWT yang berisi ajaran-ajaran yang luhur dan suci. Di dalamnya terdapat aturan-aturan yang menuntun hidup manusia menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Aturan-aturan yang ada dalam agama Islam tidaklah sama dengan aturan perundang-undangan buatan manusia, karena berbagai aturan dalam islam adalah aturan buatan Tuhan Sang Pencipta, sehingga manusia wajib untuk menjalankan dan menegakkan aturan-aturan tersebut meskipun tak ada orang yang mengetahuinya, kapanpun dan dimanapun.
Ajaran-ajaran Islam yang suci dan membawa manusia menuju kebahagiaan tersebut harus disebarkan kepada seluruh umat manusia melalui jalan dakwah. Dakwah pada intinya adalah mengajak manusia dari kesesatan menuju petunjuk Allah SWT dengan cara-cara yang baik.
Dakwah Islam sering diidentikkan dengan ceramah saja, padahal ceramah hanyalah salah satu bentuk dari dakwah. Dakwah islam dapat dilakukan dengan berbagai media, baik itu media lisan, tulisan, maupun perbuatan. Di zaman modern ini, dakwah ajaran islam dapat berkembang dengan pesat karena adanya media cetak dan elektronik yang dapat menembus jarak ruang dan waktu.
Salah satu media dakwah yang akhir-akhir ini cukup banyak digunakan adalah dakwah melalui sinetron di televisi. Jika dulu sinetron religi hanya dapat kita temui saat bulan Ramadhan, akhir-akhir ini hampir setiap hari kita dapat menonton sinetron-sinetron bertemakan religi di putar di berbagai stasiun televisi.
Dakwah melalui sinetron ini cukup diminati oleh berbagai lapisan masyarakat, dari mulai masyarakat elit sampai masyarakat biasa. Dakwah jenis ini mulai mampu menyaingi model-model dakwah klasik dengan ceramah, sehingga tidak jarang pula terjadi penggabungan metode dakwah antara metode ceramah dan metode cerita dalam sinetron.
Dakwah melalui sinetron ini mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dakwah dengan metode ceramah. Dakwah jenis ini lebih mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk kalangan anak muda yang biasanya agak “alergi” dengan ceramah-ceramah panjang lebar yang mereka anggap membuat ngantuk.
Dakwah jenis ini juga lebih terlihat menarik karena menggabungkan unsur seni musik dan seni sastra, sehingga “jama’ah sinetron” tidak mudah bosan. Dakwah melalui sinetron juga lebih bisa mempengaruhi masyarakat karena pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah penikmat setia sinetron dan konten dakwahnya akan lebih mudah ditangkap karena langsung diperankan melalui berbagai adegan dan ekspresi, yang semua itu tidak didapat dari dakwah melalui ceramah.
Namun, ada beberapa sisi negatif juga dari dakwah melalui sinetron di televisi. Jika kita mengamati beberapa sinetron religi yang tayang di beberapa stasiun televisi akhir-akhir ini, maka akan kita jumpai beberapa sinetron yang justru menyudutkan golongan atau lembaga tertentu.
Misalnya kita lihat ada sebuah sinetron religi yang menampakkan sisi negatif dari orang yang sudah haji. Seorang yang sudah menunaikan ibadah haji seharusnya menjadi manusia yang lebih baik akhlaknya, namun dalam sebuah sinetron justru ditampilkan seorang haji yang sangat buruk akhlaknya. Memang maksudnya adalah menyampaikan kritik dan pelajaran bagi kaum musli yang sudah haji, namun jangan sampai caranya berlebihan.
Ada juga sebuah sinetron religi yang agak menyudutkan pesantren sebagai lembaga pendidikan islam. Dalam sinetron tersebut pesantren menjadi tempat pacaran dan ajang pencarian jodoh, padahal pesantren seharusnya menjadi tempat para santri dalam menuntut ilmu dan membina akhlak mulia.
Selain itu, kebanyakan sinetron-sinetron religi juga mengabaikan beberapa ajaran islam yang penting, misalnya menutup aurat bagi muslimah dan larangan bersentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Di beberapa sinetron religi kita lihat bahwa ada beberapa perempuan muslim yang tidak memakai kerudung dan bahkan memakai pakaian yang ketat, transparan, dan “kurang bahan”.
Selain itu, hampir di semua sinetron religi membiarkan terjadinya persentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bahkan sampai adegan-adegan yang menyimpang dari ajaran Islam, misalkan bergandengan tangan, berangkulan, bahkan sampai berpelukan.
Memang dalam konteks itu mereka sedang menjadi mahram, namun masyarakat juga tahu bahwa sebenarnya mereka bukanlah mahram. Dari semua realita tersebut maka muncul pertanyaan, haruskah kagiatan yang bertujuan untuk dakwah, dilakukan dengan mengorbankan syari’at-syari’at islam ?
Dengan membandingkan sisi posifif dan negatif dari penggunaan sinetron sebagai media dakwah tersebut, maka alangkah baiknya jika cara dakwah seperti itu ditinjau ulang. Jika kita melihat sisi positifnya, tentu saja kita berharap sinetron-sinetron religi tersebut akan terus ada dan diharapkan mampu menggeser sinetron-sinetron yang tidak mendidik.
Namun jika kita melihat sisi negatifnya yang lumayan banyak, maka kita menganjurkan bahwa penggunaan sinetron-sinetron tersebut sebagai media dakwah harus diditinjau ulang dan diperbaiki agar tidak merendahkan golongan umat islam tertentu dan tidak melanggar syariat-syariat Islam, karena jika sisi-sisi negatif tersebut terus ada dalam sinetron-sinetron religi, maka hal itu juga akan ditiru oleh masyarakat sehingga akan terjadi percampuran antara yang haq dan yang batil dalam pengamalan ajaran islam di masyarakat.
*Penulis Mahasiswa Semester 4 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta