Senin 02 Sep 2013 12:22 WIB

Mengapa Menolak Miss World?

Miss World
Miss World

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Mariyam*

Indonesia telah didaulat sebagai tuan rumah perhelatan pemilihan Miss World  2013. Euforia terhadap perhelatan dunia yang diusung untuk pesan komersialisasi di Indonesia tersebut semakin gegap gempita dipublikasikan oleh pihak penyelenggara.

Media juga tidak mau ketinggalan mengambil peran publikasi di dalamnya. Akan tetapi, penyelenggaraan acara itu perlu kita sikapi secara kritis. Kita dapat melihat dari berbagai sisi, banyak sekali hal-hal yang berkaitan dengan  ajang tersebut yang bertentangan dengan kearifan lokal maupun secara prinsip kemanusiaan yang sifatnya asasi. 

Dimulai dari latar belakang sejarah munculnya acara ini adalah untuk kegiatan komersial dimana salah satu perusahaan bikini ini mempromosikan produk pakaian renang dengan tajuk Festival Bikini Contest yang dimotori oleh Eric Morley pada tahun 1951 di Inggris. Selanjutnya media menyebut acara ini dengan sebutan `Miss World`. Dengan menampilkan perempuan-perempuan yang mengenakan bikini sebagai salah satu sesi yang wajib dilalui dalam kontes ini.

Pada awal-awal publikasi kegiatan ini sudah mendapat perlawanan dari kaum feminis dalam aksi demonstrasi penentangan penyelenggaraan acara tersebut. Kemudian Morley mengemas dan memunculkan slogan baru Beauty With Purpose. (Sumber: http://www.mypopzone.com/2012/12/miss-world-dari-masa-ke-masa.html)

Melihat latar belakang tersebut bisa kita tinjau bahwasanya pesan komersialisasi adalah yang utama dari kegiatan ini. Kekeliruan yang terjadi adalah ketika perempuan menjadi objek komoditas yang dipertontonkan. Sejatinya perempuan sebagai seorang manusia yang dengan segala kekhasan penciptaan atas dirinya secara artifisial tidak patut dijadikan objek ajang kompetisi.

Akan tetapi dengan mempertontonkan citra perempuan secara fisik, maka secara langsung telah merendahkan martabat perempuan sebagai manusia yang harus dihargai dan diperlakukan sama. Melakukan penilaian dan kompetisi terhadap citra fisik perempuan sama halnya dengan membanding-bandingkan penciptaan perempuan sebagai sosok yang terlahir dengan citra fisik unik.

Oleh sebab itu, secara prinsip manusia tidak memiliki otoritas melakukannya. Mari kita lihat analogi di dalam keluarga, antara satu anak dengan anak lain tentu tidak akan bisa menerima apabila orang tua membanding-bandingkan mereka. Atau misalnya di dalam masyarakat adalah tidak dibenarkan apabila kita memandang orang yang berkebutuhan khusus, cacat fisik dan lain sebagainya dibanding-bandingkan dengan yang terlahir secara normal dan menganggap yang satu lebih baik dari yang lain.

Selain itu penilaian terhadap citra fisik perempuan tentu akan menyinggung isu SARA. Penilaian kecantikan fisik tidak memiliki standar mutlak sehingga hal itu berpotensi menimbulkan kesenjangan di antara perempuan. Definisi cantik bukanlah milik juri atau penyelenggara acara serupa. Karena manusia di dunia berasal dari rumpun ras yang berbeda, dengan keunikan masing-masing yang harus dihormati.

Kecantikan bukanlah sesuatu yang bisa dipertontonkan dan diperlombakan apalagi menjadi alat komersialisasi. Faham materialisme telah menggeser keberadaan manusia dengan mengagungkan penampilan fisik sebagai kelebihan atau kekurangan seseorang atas orang lain untuk dihargai. Masyarakat dibentuk paradigmanya tentang definisi cantik yang sangat artifisial. Berat badan, tinggi badan, dan semua skala fisik yang ditentukan oleh segelintir orang bagaimana mungkin bisa disepakati sebagai standar yang bisa diterima global.

Di lain sisi opini yang mengatakan bahwa penyelenggaraan acara ini akan memberikan pengaruh besar terhadap ekonomi suatu negara hanyalah asumsi yang perlu dipertanyakan. Dapatkah mereka memberikan bukti bahwa tuan rumah yang menyelenggarakan event tersebut mengalami pengaruh positif yang signifikan terhadap kondisi ekonomi? Bagaimana tingkat investasi tumbuh akibat acara tersebut? Demikian juga dengan promosi pariwisata. Apakah berbanding lurus peningkatan jumlah wisatawan yang datang yang disebabkan oleh negara tertentu menjadi tuan rumah? Tidak ada data yang bisa mereka berikan.

Bahkan di beberapa negara yang pernah menjadi tuan rumah justru kondisi ekonomi berbanding terbalik dengan asumsi yang dibuat. Negara-negara tersebut mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi maupun jumlah wisatawan tidak memiliki peningkatan yang berarti bahkan menurun.  Untuk ini kita bisa melakukan riset sederhana dengan melihat data pertumbuhan ekonomi maupun pariwisata negara-negara yang pernah menjadi tuan rumah.

Negara Indonesia memiliki slogan Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, penyelenggaraan Miss World  yang memposisikan perempuan dinilai dan dihargai berdasarkan citra fisik mereka telah mengkhianati prinsip kebhinekaan yang merupakan kearifan budaya bangsa. Keanekaragaman etnis dan entitas budayanya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipertentangkan dan diadu. Sementara ajang Miss World telah menyebabkan kesenjangan dalam menjaga keutuhan pemahaman terhadap keragaman khasanah budaya bangsa.

Apalagi kalau kita melihat dari nilai-nilai agama, tentu kalau kita merujuk pada referensi kitab suci yang menjadi pedoman agama akan kita dapatkan bahwa ajang Miss World adalah suatu yang tidak bisa dibenarkan karena akan bertentangan dengan hakikatnya sebagai makhluk yang diciptakan sempurna. Secara khusus penulis mengambil contoh dalam agama Islam.

Dalam Islam tidak boleh seorang perempuan direndahkan dengan menjadikannya alat promosi dengan menampilkan keindahan fisiknya untuk mempengaruhi penilaian pasar. Tidak juga dibenarkan seorang perempuan menjadi pusat perhatian khalayak publik yang tidak berhak memandangnya. Hal itu akan merendahkan martabat perempuan. Itulah sebabnya Islam sangat menjaga martabat perempuan dari penilaian-penilaian subjektif terhadap pencipataan fisik yang sejatinya unik dengan keistimewaan masing-masing.

Belum lagi pelecehan yang dilarang di dalam Islam ketika perempuan dikondisikan membuka auratnya, dipertontonkan dan dinilai adalah hal yang sangat memalukan. Islam mengajarkan perempuan untuk menutupi dan menjaga auratnya. Maka penampilan Miss Word akan menimbulkan kesenjangan dalam upanya penanaman nilai-nilai agama yang ditanamkan ke generasi muda. Permisifnya masyarakat terhadap pengaruh buruk suatu budaya akan berdampak pada pembentukan paradigma baru generasi muda yang lebih permisif.

Penyelenggaraan ajang Miss Word meninjau pelaksanaan yang sudah pernah dilakukan tidak lepas dari sesi-sesi yang sarat pornografi dan pornoaksi. Hal ini tentu akan melanggar aturan yang berlaku di negara kita sebagaimana di atur oleh UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi. Sebagaimana pasal 4 dalam UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi tersebut adalah dilarang mempublikasikan segala sesuatu yang menampilkan ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan.

Melihat aspek norma kesopanan dan budaya timur yang dianut oleh Indonesia adalah tidak pantas menampilkan ketelanjangan yang dikemas dalam acara kompetisi seperti yang dikemukakan di atas. Sesi penilaian menggunakan bikini misalnya sebagaimana dilakukan pada kompetisi ini di penyelenggaraan yang telah lalu, adalah bertentangan dengan norma yang berlaku di negeri ini.

Dan yang perlu dicermati pula adalah efek jangka panjang yang akan melanda bangsa ini. Generasi muda yang menyerap pengaruh budaya yang masuk akan menjadi sasaran terutama kaum hawa. Perempuan diajak menuhankan kecantikan dan dibuat frustasi untuk tanpil cantik secara artifisial disebabkan informasi yang keliru yang telah dikampanyekan oleh kegiatan ini. Dilihat dari sisi manfaat dan kualitas perempuan, ternyata secara signifikan tidak berarti apa-apa.

 Kegiatan ini secara politis sendiri tidak mampu menampilkan sosok perempuan yang mumpuni terjun mengatasi persoalan bangsa dan kemanusiaan.  Lagi-lagi perempuan hanya dipasang sebagai pemanis, atau pada umumnya lebih banyak dari mantan peserta kontes kecantikan serupa itu menjadi penghias layar kaca sebagai bagian dari entertainment menjadi selebritas.

Dari uraian di atas dapatlah penulis menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pemilihan Miss World tidak layak diselenggarakan dan diikuti. Apalagi menjadikan rumah kita “Indonesia” sebagai tuan rumah penyelenggaraan Miss World, sama saja merendahkan martabat bangsa. Kita sebagai bagian dari Indonesia berhak menolak sesuatu yang bertentangan dan berpotensi merusak nilai-nilai karifan budaya bangsa.

Dan kepada penyelenggara semestinya memperhatikn apa yang disuarakan oleh elemen masyarakat Indonesia. Bersikap membiarkan terhadap segala potensi yang merusak bangsa adalah sama seperti tindakan meruska itu sendiri.

Kubu Raya- Kalimantan Barat, 31 Agustus 2013

Wassalam

*penulis adalah Mantan Korpus PII Wati Pelajar Islam Indonesia 2010-2012

 Wakil Sekjend Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia Periode 2013-2018

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement