REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hery Sucipto*
Konflik di Suriah yang telah memakan korban lebih dari 100 ribu jiwa dalam dua tahun terakhir membuat masyarakat dunia kian khawatir akan jatuhnya korban lebih besar lagi. Kekhawatiran itu semakin diperkuat dengan rencana Amerika Serikat (AS) yang akan melakukan serangan 'terbatas' ke Suriah, sebagaimana diungkapkan Presiden Obama, pekan lalu.
Bagi AS, opsi militer tampaknya dipilih setelah Suriah diduga kuat menggunakan persenjataan kimia untuk memberantas kelompok pemberontak dan oposisi. Kebijakan itu juga sekaligus menunjukkan AS di bawah Obama tetap memilih mengedepankan tindakan militer, sebagaimana ditempuh para pendahulunya. Irak dan Afghanistan adalah contoh potret kebijakan luar negeri Washington yang lebih fokus pada opsi militer terhadap satu negara yang dinilai AS 'membandel', ketimbang perundingan damai.
Perang terbuka
Upaya damai sebenarnya sudah dilakukan berbagai pihak, termasuk AS. Namun, upaya itu tampaknya masih jauh panggang dari api. Sayangnya, belakangan ini yang menguat justru opsi militer. Sikap negara-negara Arab sendiri mendukung tindakan militer. Bahkan, organisasi regional Arab, Liga Arab, dalam sidangnya akhir pekan lalu mendukung, bahkan meminta AS menyerang Suriah.
Negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab (21 negara), di bawah komando Arab Saudi, punya kepentingan dan alasan khusus. Pertama, kepentingan ideologis. Suriah yang minoritas Syiah, memimpin kaum Suni sejak 50 tahun terakhir dan diduga banyak melakukan penindasan terhadap mayoritas. Syiah Suriah menjadi kepanjangan Syiah di Iran yang mayoritas. Dari sisi ideologis jelas tidak ketemu di sini dengan Saudi, sehingga memunculkan solidaritas kesunian.
Kedua, kepentingan politik. Secara geopolitik, negara-negara Arab memiliki kesamaan, bahkan menjadikan Suriah semacam musuh bersama, terutama sejak rezim Bashar Assad berkuasa. Ketika ayah Bashar, Hafez Assad, berkuasa, Suriah relatif bisa diajak kerja sama di antara negara-negara Arab. Namun, di bawah rezim Assad, Suriah semakin tunduk dan menjadi kaki tangan Iran di Timur Tengah. Ketidaknyamanan inilah, antara lain, mengapa Liga Arab mendukung opsi militer.
Alasan geopolitik juga yang menjadikan Rusia, Iran, dan Cina 'melindungi' Suriah. Dari sisi geografis, Suriah adalah negara kecil, dengan jumlah populasi tak lebih dari delapan juta jiwa, yang meliputi Syiah 30 persen selebihnya Suni (70 persen). Namun, secara geopolitik sangat penting, setidaknya bagi Iran bertemu di aspek ideologi dan dapat dijadikan batu loncatan 'menghadapi' Israel, sementara bagi Rusia kepentingan bisnis persenjataan dan ideologi politik, yakni sosialis, sedangkan dalam perspektif Cina bertemu di kepentingan bisnis secara umum, dan gas serta minyak. Cina dan Rusia memiliki hak veto di DK PBB, sebagaimana AS.
AS dan Rusia sudah mengirimkan kapal-kapal perangnya. Iran dengan lantang menyatakan kesigapannya terlibat langsung, sementara sekutu AS, yakni Israel, sudah menyiagakan tank-tank tempur di dataran tinggi Golan, perbatasan dengan Suriah. Karena itu, dapat dibayangkan jika AS jadi menyerang Suriah, maka potensi perang terbuka akan benar-benar menjadi kenyataan. Suriah akan menjadi panggung pertunjukan persenjataan canggih dan mutakhir.
Efek global
Perang terbuka di Timur Tengah secara signifikan akan membawa dampak pelik dan negatif bagi masyarakat internasional secara umum. Keamanan energi menjadi sektor yang paling terkena dampak. Sebagai ladang minyak terbesar di dunia, di mana Arab Saudi dan negara-negara Teluk memasok lebih dari 45 persen minyak dunia, pasar akan merespons negatif terhadap perang Timur Tengah. Ketika terjadi Arab Spring yang melanda dunia Arab tiga tahun lalu, harga minyak dunia bahkan mencapai lebih 120 dolar AS/barel.
Stabilitas keamanan internasional jelas terimbas. Indonesia juga tidak lepas dari kemungkinan itu, lebih-lebih kita sebagai negara pengimpor minyak. Dampak lanjutannya, keamanan nasional di berbagai negara menjadi melemah dan sangat rentan bagi munculnya gejolak sosial. Rakyat yang terhimpit oleh mahalnya kebutuhan pokok yang melambung akibat harga minyak dan dolar AS yang naik, sangat mudah meluapkan kemarahannya.
Bagi Indonesia, hal semacam ini harus sigap diantisipasi karena dampak langsung akan dirasakan oleh negeri ini jika perang benar-benar pecah. Setiap hari Indonesia mengimpor minyak mentah rata-rata 300-400 ribu barel/hari. Stabilitas ekonomi, sosial, keamanan, dan energi ditumpukan pada tersedianya energi tak terbarukan ini. Lain cerita jika kita pengekspor minyak.
Walhasil, harapan mewujudkan tata dunia baru yang damai dan sejahtera akan sia-sia belaka. Perang, di manapun, hanya menjadikan rakyat tak berdosa dan tak mengerti apa pun, harus menanggung dosa. Mereka pihak pertama yang menjadi korban adu canggih persenjataan modern. Mestinya, dengan kecanggihan teknologi senjata dan berlebihnya uang dari minyak seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk, diperuntukkan bagi kemaslahatan kesejahteraan dan perdamaian dunia, bukan malah untuk menghancurkan perdamaian dunia.
* Direktur Pusat Kajian Timur Tengah dan Dunia Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta