Oleh Haedar Nashir
REPUBLIKA.CO.ID, Pada zaman Nabi, seorang pencuri tertangkap tangan dan divonis potong tangan. Dia berasal dari keluarga bangsawan. Kepada Nabi dimintakan keringanan agar sang pencuri dibebaskan.
Rasul bersabda, “Orang-orang sebelum kamu telah binasa karena jika seorang bangsawan mencuri lalu dibebaskan, tetapi bila pencurinya orang miskin ia dihukum. Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, seandainya Fatimah anakku mencuri, akan kupotong tangannya.” (HR Bukhari).
Di negeri ini, protes publik meluas. Koruptor yang mencuri uang negara miliaran rupiah dihukum ringan dan tidak jadi dimiskinkan. Keganjilan pun menyeruak dan menjadi pemandangan umum yang paradoks. Terpidana korupsi merayakan kemenangan. Bahkan, ada yang sujud syukur. Inilah surga para koruptor.
Para hakim dihujat karena merobek rasa keadilan dan mematikan langkah pemberantasan korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak luput dari kritik karena lalai dengan dakwaan. Beragam sangka buruk berseliweran dan menjadi sumber fitnah.
Di luar sana, boleh jadi aktor-aktor utama pencuri uang negara menebar senyum dan yakin tidak akan dijerat hukum karena sukses mengubur alibi plus alat bukti. Inilah cermin negara gagal melawan gurita risywah.
Apa yang salah dengan negeri ini? Ratusan tahun para pejuang bangsa berdarah-darah melawan penjajah. Para pendiri negeri susah payah meletakkan fondasi negara yang sarat cita-cita luhur. Kini republik ini tumbuh menjadi sarang para penjahat ulung yang membangkrutkan negara.
Sistem apa pun menjadi sangat mudah dirusak oleh tangan-tangan kotor para petualang harta dan tahta yang hidup melampaui batas.
Orang beriman memang dilarang putus asa. Namun, manakala kebobrokan sistem telah bersenyawa dengan krisis akhlak para elite dan penegak keadilan, maka jangan salahkan jika rakyat patah harapan. Pencuri sandal, ayam, semangka, dan buah cokelat dihukum setimpal. Mengapa para pencuri harta dan kekayaan negara masih memperoleh perlakuan istimewa dan pemain-pemain utamanya sulit terjamah?
Jangan salahkan jika muncul logika salah, tapi faktual benar. Lebih baik korupsi daripada menjadi pencuri kelas teri. Pikiran kotor lantas berkembang. Mari berlomba-lomba korupsi.Pasti dijamin makmur masa depan. Dihukum satu dua tahun tak masalah, yang penting uang miliaran aman untuk hidup gemerlap sekian turunan. Hukuman berat pun akhirnya ringan karena bonus remisi.
Soal rasa malu? Apalah artinya malu jika dibandingkan dengan rekening tambun dan hidup serbamewah. Rakyat di negeri ini pun terbilang pelupa. Apalagi, jika para koruptor itu orang-orang ternama, pasti mudah dimaafkan.
Kalau suatu saat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, kepala daerah, bahkan presiden boleh jadi terpilih. Apa pun gampang menjadi lumrah di negeri ini. Hidup serbaboleh dan segala hal seolah dapat dipertukarkan dengan mudah dan murah.
Publik pun pesimistis. Hukum serbaverbal tak akan mampu menyeret aktor-aktor utama korupsi kelas tinggi. Pelaku yang sudah di tangan pun dihukum ringan, apalagi yang di luar.
KPK bahkan makin banyak musuh karena di banyak institusi, boleh jadi masih tersebar pemain-pemain korupsi yang supercerdik dan tak ingin di-Sukamiskin-kan atau di-Guntur-kan.
Inilah bukti kerentanan hukum yang serbadidewakan tanpa sikap kritis. Akhirnya, para pencuri berdasi dengan gampang bersembunyi di balik sangkar-besi negara hukum yang ternyata rapuh.