REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr Rahmat Hasanuddin*
Jika ingin mengambil peran kesejarahannya yang begitu menonjol dan dahsyat di awal ke-20 M, maka kebangkitan Syarikat Islam haruslah menjadi pelopor kebangkitan nasional tahap kedua.
Itulah yang penulis tangkap pada waktu menghadiri Seminar Nasional yang bertema gugatan terhadap hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei yang dilaksanakan pada 28 Agustus 2013 di Makassar. Hasil seminar yang kemudian dikukuhkan sebagai rekomendasi Mukernas Syarikat Islam yang dilaksanakan pada dua hari berikutnya itu bagai sebuah petasan nyaring yang mengisyaratkan bahwa sebuah kebangkitan nasionalisme tahap kedua perlu kembali dilakukan dalam semangat kebangsaan, cinta tanah air, keadilan, kemanusiaan dan kemerdekaan sejati.
Mengikuti seminar yang bertema kebangkitan dan kemudiaan menggugat Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei itu memang bukan semata-mata dimaksudkan untuk mengungkit keputusan politik masa lalu, tetapi lebih dari pada itu upaya untuk mengingat dan menggali kembali ideologi Syarikat Islam yang masih relevan untuk diakutualisasikan saat ini.
Kaum Syarikat Islam rupanya menyadari bahwa Program Azas dan Program Tandhimnya masih relevan dalam konteks kekinian dan secara retorik digambarkan bahwa Indonesia masih jauh dari pencapaian yang disebut “kemerdekaan sejati”.
Selain itu, kaum Syarikat Islam yang kini secara sadar memosisikan diri sebagai organisasi kemasyarakan itu - kini dipimpin oleh seorang nasionalis religius, Rahardjo Tjakraningrat, - rupanya ingin mengembalikan kharisma kepejuangan para tokoh pendiri Syarikat Islam yang berkiprah dan berjuang dengan motif dan semangat seorang nasionalis sejati dengan basis keislaman yang kuat.
Tentu sangat disadari bahwa Syarikat Islam saat ini sangat susah – hampir mustahil - untuk menemukan tokoh-tokoh sekaliber H Samanhudi yang memiliki keberanian dan kepeloporan, HOS Tjokroaminoto, organisator dan pemimpin yang dijuluki sebagai guru para pendiri bangsa dan KH Agussalim yang jenius.
Tetapi dalam konteks kekinian, mengambil peran yang pernah hilang hanya dapat diperoleh melalui sebuah organisasi modern yang dipandu oleh rencana-rencana yang terukur setelah mengenali semua fenomena-fenomena penyelenggaraan negara yang menyimpang dari cita-cita bangsa sebagaimana yang jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah menjadi cita-cita Syarikat Islam.
Dan nampaknya Syarikat Islam bukan saja menemukan momentum untuk mengukuhkan eksistensinya sebagai pelopor kebangkitan nasionalisme di Indonesia tetapi juga untuk bangkit dan mengambil peran kesejarahannya kembali dalam trace Indonesia yang telah 68 tahun merdeka.
Bagi Syarikat Islam, paling tidak, ada ada sejumlah fenomena kebangsaan dan manajemen negara yang telah menjadi realitas sehingga memerlukan sebuah gerakan kebangkitan nasional baru. Pertama, bahwa sebagai sebuah bangsa yang besar (secara demografis dan potensi sumber daya alam) Indonesia sekarang ini masih terjajah secara ekonomi dan politik.
Liberalisme dan kapitalisme yang berbungkus keniscaan dalam globalisasi (suka atau tidak suka, mau atau tidak mau) telah membawa Indonesia ke posisi ketergantungan yang semakin tinggi (hutang luar negeri meningkat dari tahun ketahun). Konperensi Tingkat Tinggi APEC yang baru berakhir di Bali jelas menunjukkan bahwa panglima ekonomi masih akan berada ditangan negara-negara besar dan maju.
Indonesia dalam jangka menengah dan panjang masih akan menjadi penikmat diskriminasi ekonomi yang dilegitimasi denga n bungkus kerja sama ekonomi regional. Menurut Ahmad Erani Yustika bahwa selama dekade yang lalu, krisis dunia yang erjadi nyaris tak memberi kesempatan bernafas bagi sebagian besar negara (termasuk Indonesia, penulis) untuk menjalankan kegiatan ekonomi secara tenang termasuk Tiongkok sekalipun.
Negara berkembang didikte untuk menjalankan manajemen ekonomi yang hati-hati, tetapi negara maju malah mempraktekkannya secara amburadul (Pos Kota Senin 7/10). Kedua, bahwa sebagai bangsa yang telah 68 tahun merdeka yang konon dinilai sebagai negara yang sangat sukses melakukan lompatan demokrasi ternyata menuai paradoks dengan kenyataan-kenyataan baru : korupsi yang semakin meluas, ketidak patuhan hukum, kemiskinan, kekufuran, ketidak amanan, kerapuhan pangan (bukan ketahanan pangan), krisis energi, ancaman kedaulatan, pengangguran (sehingga harus ekspor TKI) , terakhir ini krisis kelembagaan dan lain-lain krisis yang semuanya menunjukkan bahwa cita-cita kesejahteraan untuk rakyat secara merata masih jauh dari harapan.
Tentu saja Syarikat Islam tidak menutup mata terhadap kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa ini. Tetapi Syarikat Islam rupanya menyadiri pula bahwa diperlukan sebuah kepemimpinan kuat untuk mengawal dan memimpin sebuah kebangkitan baru untuk meluruskan arah cita-cita kebangsaan seperti yang telah dicantumkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perspektif inilah wajib hukumnya bagi kaum Syarikat Islam untuk secara moril mendorong seorang pemimpin nasional tampil untuk memimpin bangsa ini dengan sejumlah syarat. Syarat-syarat inilah yang perlu dirumuskan oleh Syarikat Islam apabila ingin mereaktualisasikan kembali cita-cita perjuangannya.
Sebagai organisasi kemasyarakatan, Syarikat Islam kini sudah terbebas dari beban perjuangan secara politik meskipun kaumnya tersebar dan terserak-serak pada hampir semua organisasi politik. Tentu saja kehadiran mereka secara individual dalam organisasi politik dan mungkin berhasil menjadi legislator mewakili partainya diharapkan dapat membawa cita-cita dan misi perjuangan Syarikat Islam.
Dalam konteks ini maka Syarikat Islam perlu melakukan konsolidasi perkauman agar anggota-anggotanya itu mampu membawa jati dirinya sebagai pejuang dari pada sebagai politisi. Paling tidak mereka diharapkan untuk tidak terkontaminasi oleh penyakit menjijikkan yang menjadi musuh Syarikat Islam yang melanda untuk tidak menyebut mewabah dikalangan politisi, pejabat dan para penyelenggara negara yang memiliki tanggung jawab publik sekarang ini.
Tugas internal Syarikat Islam ialah menyemai kader yang berakhlak mulia, menjauhi praktik-praktik tercela dan membangun kepemimpinan untuk menjadi negarawan pejuang. Sungguh berat untuk memulai sesuatu kebangkitan karena sejatinya Syarikat Islam sendiri harus memulai dari dirinya.
*Penulis adalah Rektor Universitas Cokroaminoto Makassar
Ketua Panitia Milad ke-108 Syarikat Islam