REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sumaryana
(Kepala LP3AN dan Staf Pengajar llmu Administrasi Negara FISIP Unpad)
Popularitas Gubernur Banten mengalahkan artis dalam berita. Berangkat dari penangkapan adik kandung sang gubernur oleh KPK, dinasti politiknya mulai dikuak. Sejumlah sanak saudaranya, adik, anak, bahkan suaminya memiliki kedudukan penting dalam pemerintahan, baik di Banten ataupun di legislatif Jakarta. Publik pun menyorotinya sebagai bentuk nepotisme politik yang dilakukan untuk mengokohkan dinasti keluarganya.
Bisa jadi politik sudah menjadi perusahaan tersendiri yang mampu menyediakan lapangan kerja bagi orang dekatnya. Banyak parpol yang diisi oleh keluarga terdekat pendiri maupun elitenya. Bahkan, posisi pentingnya diisi oleh orang yang memiliki hubungan dekat dengan ketua parpol.
Bisa jadi awalnya dimaksudkan untuk melatih manajerial dan kepemimpinan sang kerabat dekatnya agar kelak dapat menerima estafet kepemimpinan di tubuh parpol tersebut. Dengan penggemblengan yang berlanjut, takhta pun tidak jatuh ke tangan orang lain.
Kendati nepotisme di atas terjadi, namun sejumlah aturan yang ada tidak dilanggarnya karena permainan nepotismenya disesuaikan dengan aturan yang berlaku. Gubernur Banten ataupun nepotisme di sejumlah parpol pun bisa tidak melanggar aturan termasuk si istri meneruskan takhta suaminya di sejumlah kabupaten/kota.
Bisa jadi, syarat yang ada membuka peluang terjadinya nepotisme tersebut. Dampaknya praktik seperti itu terlindungi aturan sehingga tidak dapat dipersalahkan. Bisa jadi, penjenjangan kebijakan seperti Gladden (1967) tuliskan tidak dijalankan oleh pemerintah sehingga kebijakan politik langsung dijalankan, bukan diterjemahkan dalam bentuk kebijakan eksekutif ataupun administratif.
Dari sisi yang berbeda, kebijakan politik tidak mampu mengakomodasi pandangan publik ketika disusunnya. Dalam konteks tersebut, partisipasi seperti dimaksudkan UNDP tidak dapat berjalan dengan sehat. Sejumlah RUU yang dipublikasikan dalam media massa atau blusukan ke sejumlah institusi yang ada, tidak mendapat koreksi dari publik.
Mungkin saja publik memiliki pengalaman jika hasilnya akan tetap sama kendati koreksi dari publik disampaikan keras dalam forum yang disediakan. Bila hal terakhir yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa oknum eksekutif dengan legislatif yang menyusun UU memiliki kepentingan yang ingin diperjuangkan dalam bentuk kebijakan tersebut.
Bila kebijakan di atas diterjemahkan dalam kebijakan eksekutif, administratif ataupun operasional, maka keselamatan kepentingan pembuatnya bisa terus dipertahankan karena kebijakan di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan kebijakan di atasnya. Dengan demikian, ketika publik menyoroti nepotisme, maka perlu diperbaiki mulai dari jenjang kebijakan yang ada. Bisa jadi perlu ada tim independen yang menguji sebuah rancangan kebijakan agar ketika diimplementasikan sejalan dengan semangat reformasi, bukan mengokohkan kenepotismean.
Memperbaiki konteks di atas tidaklah mudah. Diperlukan courage seperti Moelyono (2004) sebutkan. Bukan saja berani menegur bawahan yang sedang mengantuk atau ngobrol tatkala ceramah pimpinan berlangsung, namun juga keberanian menegakkan visi dan values agar nepotisme tidak melanda dirinya.
Hanya, membuat kebijakan yang bebas nepotisme serta menegakkannya, bukanlah perbuatan mudah. Lingkungan terdekat bisa menjadi pengganggu yang paling kuat. Kast (1981) menganggap lingkungan sosial dan kerja merupakan lingkungan yang bisa mendominasi para pembuat keputusan sehingga melenceng dari tujuan mulianya.
Tidak heran jika nepotisme pun terjadi dalam politik karena kedua lingkungan di atas. Jika ayah/ibunya ketua parpol atau petinggi pemerintahan, anak dan kerabatnya bisa terlibat di dalamnya. Mungkin saja penguasa tidak menghendaki, namun tekanan lingkungan tersebut dapat meluluhkan hatinya untuk berubah pikiran. Kondisi masyarakat yang tradisional dapat dijadikan alasan untuk melibatkan keluarganya dalam politik. Tidak berlebihan dalam ketradisionalan, anak-istri bisa mendapat dukungan masyarakat untuk menjadi penerusnya.
Memilih figur tertentu sering berdasarkan pertimbangan pemukanya, ketimbang pemikiran kritis dirinya. Demikian halnya tatkala melihat figur yang dianggap familiar dengan dirinya, otomatis dirinya akan merasa terwakili oleh figur tersebut tanpa mempertimbangkan kapasitas figur yang tampil.
Dengan demikian, hubungan emosional pun tampak erat dalam masyarakat seperti itu. Tidak heran jika selain gelar akademik yang dipajangkan, hubungan kekerabatan dengan sejumlah elite terkenal pun dapat dijadikan media keberhasilan dalam karier politik seseorang.
Tidak heran jika ketradisionalan di atas menyebabkan pengabaian pada konsepsi demokrasi. Jika konsepsi Ranny (1996) digunakan, maka popular sovereignity bisa menjadi bancakan karena masyarakat terima beres atas apa yang diperjuangkan anggota legislatif ataupun penguasa. Dengan kondisi ini abuse of power bisa berpotensi terjadi.
Tidak heran jika popular consultation pun hampir jarang dijalankan karena kehadirannya di tengah masyarakat lebih mengedepankan succes story memperjuangkan kepentingan publik. Bila kondisi seperti itu bertahan, maka untuk menjadi elite publik ataupun wakil rakyat, tidaklah diperlukan kapasitas, kapabilitas, serta personality jempolan seperti ditulis Sulistyani (2008).
Mengekang nepotisme tersebut menuntut pencerdasan kehidupan rakyat seperti pesan UUD 1945 sangatlah penting. Lembaga pendidikan sebagai pilar intelektual jangan terseret kepada praktik sesat seperti penyelewengan dana BOS atau DAK pendidikan. Bila hal ini terjadi, maka pencerdasan dan pembentukan moral yang baik bisa semakin jauh dari harapan.
Demikian halnya dengan sejumlah oknum ustaz yang memihak kepada yang berani membayar, bisa jadi kesesatan sedang berkembang pula. Oleh sebab itu, membersihkan dunia pendidikan dari praktik sesat perlu lebih gencar dilakukan agar pendidikan anak bangsa lebih maju dan menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas intelektual, emosional, serta spiritualnya. Bila hal seperti ini bisa diwujudkan, nepotisme politik pun dapat diakhiri. Semoga.